Prinsip, Standar, Praktek dan Laporan
Oleh Bambang Kussriyanto
Semakin banyak perusahaan melakukan tanggungjawab sosialnya dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Semakin banyak perusahaan ingin menyampaikan gambaran kepada para pemangku kepentingan, sejauh mana perannya dalam usaha mewujudkan keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) dan dukungan kepada Pembangunan Berkelanjutan.
Training Corporate Sustainability menyampaikan Prinsip, Standar, Praktek dan Laporan keberlanjutan perusahaan dalam mendukung Pembangunan Berkelanjutan, menggunakan perspektif Standar AA1000 dan GRI Sustainability Reporting System. Tidak semua aktivitas tanggungjawab sosial layak untuk dikemukakan dalam laporan tahunan. Perlu pengujian atas materialitas, validitas kinerja atas indikator-indikator keberlanjutan, serta audit pendukung.
SEMAI (Social, Ecolonomic Management Institute) menyelenggarakan training Corporate Sustainability dalam rangka menyampaikan pemahaman menyeluruh dan best practices untuk benchmarking bagi perusahaan-perusahaan yang bermaksud melengkapi Annual Report mereka dengan Sustainability Report.
Peminat silakan hubungi email: lembagasemai@gmail.com
Trainer, Consultor, Researcher, Capacity Development Expert
Tampilkan postingan dengan label sustainability. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sustainability. Tampilkan semua postingan
Kamis, 25 Juli 2013
Rabu, 13 Maret 2013
Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable
Development)
FX Bambang Kussriyanto
Mula-mula kita dengar
istilah “sustainable development” (pembangunan berkelanjutan)
sebagai wacana tingkat tinggi di forum politik dan web-site
perusahaan raksasa multinasional. Kemudian kalangan academia ramai
mengumandangkannya, menjadikan “sustainable development”
(pembangunan berkelanjutan) semacam gagasan wawasan mutakhir yang
ampuh dan bahkan menjadikannya jurusan khusus.
Istilah sustainable
development (pembangunan berkelanjutan) mulai marak di akhir
1980-an, setelah digunakan dalam risalah Our Common Future, atau The
Brundtland Report. Suatu komisi PBB yang menyarankan “agenda global
untuk berubah” dalam konsep maupun praktek pembangunan, laporan
Brundtland memberi tengara tentang mendesaknya pemikiran ulang atas
cara kita hidup dan cara mengatur segala sesuatu. Kita memerlukan
cara baru dalam mempertimbangkan soal-soal lama termasuk kerjasama dn
koordinasi internasional dalam usaha “mencapai tujuan dan
mewujudkan aspirasi manusia secara bertanggungjawab”.
Komisi Brundlandt resminya
bernama Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mereka
menarik perhatian dunia pada fakta “kerusakan yang makin cepat dari
lingkungan hidup manusia dan alam, dan akibat-akibatnya terhadap
perekonomian dan kehidupan sosial”. Disodorkan dua wawasan yang
bertautan:
~ Kesejahteraan hidup
manusia berkaitan erat dengan situasi lingkungan alam dan
perekonomian.
~ Pembangunan berkelanjutan
(Sustainable development) menuntut kerjasama berskala global.
Pembangunan berkelanjutan
menyangkut integrasi: pembangunan dengan cara yang menghasilkan
manfaat seluas mungkin di pelbagai sektor, lintas batas, bahkan antar
generasi. Dengan kata lain, keputusan pembangunan harus
mempertimbangkan dampak potensial atas masyarakat, lingkungan hidup
dan perekonomian seraya mengingat bahwa semua tindakan kita akan
mendatangkan akibat di masa depan.
Kita biasa mengatur berbagai
hal dengan membagikannya dalam kotak-kotak menurut bidang-bidang
khusus, maka ada departemen, urusan dan seksi, pemerintah dan
masyarakat. Rumahtangga pun jarang yang dibangun secara menyeluruh
(holistic systems). Kementrian melakukan kegiatan khusus di bidang
masing-masing maka ada menteri pertanian, menteri keuangan, menteri
dalam negeri, menteri luar negeri. Kita membagi-bagi hidup kita yang
satu sehari-hari: waktu kerja, waktu istirahat, waktu
bersenang-senang dan berlibur. Anggaran Negara, perusahaan bahkan
rumah tangga pun lebih mencerminkan pembagian-pembagian atas dana
yang satu, dipecah-pecah. Kita jarang melihat semua persoalan itu
dalam satu kesatuan. Pembicaraan sektoral paling umum terselenggara,
tetapi wacana koordinasi komprehensif jarang diadakan. Kita lebih
sering memerhatikan pohon-pohon ketimbang hutan sebagai keseluruhan.
Konsep sustainable
development mengartikulasikan beberapa pergeseran yang mendasar dari
perspektif tata hubungan kita dengan dunia sekeliling, dan karenanya,
pemerintah-pemerintah harus menyusun kebijakan sesuai dengan
pandangan baru itu.
|
Pertama-tama ada kesadaran
bahwa pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan GDP) saja tidak memadai:
aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dari setiap tindakan
saling berkaitan. Jika hanya salah satu saja yang dipikirkan,
pertimbangannya akan pincang, dan hasilnya akan “unsustainable”
di masa depan. Jika tindkan hanya memikirkan laba misalnya, sejarah
menunjukkan akibat jangka panjang berupa terjadinya kerusakan sosial
dan lingkungan hidup yang membebani seluruh masyarakat. Sebaliknya,
mengutamakan lingkungan dan pelayanan kesejahteraan hidup rakyat juga
menuntut pengorbanan perekonomian..
Selanjutnya, inter-koneksi,
hubungan yang saling bergantung dalam sustainable development
menuntut koordinasi strategi dan keputusan lintas batas baik
geografis maupun kelembagaan. Masalah-masalah tidak bisa
diselesaikan hanya dalam yurisdiksi satu bidang pemerintahan, atau di
satu lingkungan rumahtangga saja, dan solusi yang cerdas menuntut
kerjasama banyak pihak.
Sebagai contoh, untuk
mengusahakan tanaman pangan hasil rekayasa genetik (jagung, kedelai,
dll), misalnya, memerlukan bukan saja pertimbangan menteri pertanian,
tetapi juga mentri lingkungan hidup, mentri perdagangan, mentri
kesehatan dan mentri riset suatu negara. Dan karena benih GMO itu
diimpor dari negara lain, maka memerlukan internasional juga,
mengingat peraturan nasional yang berbeda-beda mengenai GMO.
Akhirnya, tindakan manusia
mempunyai akibat antar masa: gampangnya, pikirkan akibat pilihan
tindakan kita dalam jangka panjang. Jika pembabatan hutan
besar-besaran hanya dilakukan demi laba segera saja, maka akan
ditanggung kerugian yang jauh lebih besar di masa depan: kerugian
karena tidak ada produksi lagi dari hutan bersangkutan dalam periode
yang panjang di masa depan, kerugian karena hilangnya keragaman
hayati, kerugian berkurangnya kemampuan penyerapan karbon dioksida,
timbulnya bencana banjir dan tanah longsor karena air hujan di tanah
tidak tertangkap akar tumbuhan hutan dan meluncur deras, misalnya.
Maka sudah sepantasnya dipertimbangkan keadilan antar generasi,
jangan sampai generasi masa depan cucu-cicit kebebanan kerugian
besar, sedang generasi sekarang enak-enak menikmati keuntungan.
Pada intinya “sustainable
development” menuntut sikap yang setara atas tiga pilar
bersama-sama dalam satu hubungan: masyarakat, ekonomi dan lingkungan
hidup, di setiap konteks.
Kesadaran akan kompleksitas
hubungan dan saling taut di antara ketiga pilar itu selanjutnya
menuntut beberapa upaya, yang sifatnya konstan, terus menerus. Tidak
peduli akan siklus masa bakti atau pergantian pemerintahan atau
liputan media, perhatian bersama harus terus berlanjut sehubungan
dengan sustainable development.
Pada bulan Juni 1992, di Rio
de Janeiro, wakli-wakil dari 179 negara mengikuti Konferensi PBB ttg
Lingkungan Hidup dan Pembangunan, yang populer disebut Rio Earth
Summit. Salah satu kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani adalah
program tindakan yang disebut Agenda 21. Dokumen 900-halaman itu
menguraikan langkah-langkah pertama menuju Sustainable Development
lintas lokal, nasional dan tataran internasional sewaktu dunia
bergerak menuju abad ke 21.
Para penandatangan berjanji
akan melakukan tindakan dalam empat bidang:
• Dimensi Sosial dan
Ekonomi, misalnya mengentaskan kemiskinan dan memajukan tata-kota
yang menopang hidup berkelanjutan di masa depan;
• Konservasi dan Manajemen
Sumberdaya, a.l. mengawal penangkapan ikan laut dan memerangi
pembabatan hutan;
• Menguatkan peran
kelompok-kelompok utama, misalnya kaum perempuan, pemerintah daerah,
LSM/NGO, dan
• Cara-dan sarana
Implementasi, misalnya transfer teknologi yang ramah lingkungan.
Langganan:
Postingan (Atom)