Hutan kita telah
mengalami beberapa kali pergantian rezim pengelolaan. Dahulu (pra 1602), hutan dipandang
sakral sehingga pemanfaatannya masih sangat terbatas. Namun dari dunia pewayangan tersisa wacana bahwa para bupati pada masa itu memberikan upeti kepada raja dalam rupa glondhong pengareng-areng (balok kayu). Pada masa itu pun sudah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Setelah usaha dagang
multinasional Belanda VOC/Vereenigde Oost Indische Compagnie masuk dan
menjajah Indonesia (tahun 1602-1799), hutan dipandang sebagai aset ekonomi.
Mulailah fase eksploitasi, terutama atas hutan jati di pulau Jawa, untuk
memenuhi kebutuhan bahan perkapalan, kayu tong dan peti, bahan senjata, arang,
mesiu, kayu bakar, kayu tukang serta kayu mebel di negeri Belanda/Eropa. Akibat
eksploitasi itu, hutan di Pulau Jawa mengalami kerusakan.
Karena pasokan
kayu jati dari Pulau Jawa semakin seret, VOC melakukan rintisan rehabilitasi. VOC
dibubarkan pada tahun 1796, semua asetnya, termasuk tanah jajahan Indonesia
diserahkan kepada pemerintah Belanda. Selama masa kolonial pemerintah
Belanda (1799-1942), kerusakan hutan makin parah karena beban tambahan memenuhi
kebutuhan kayu bakar pabrik-pabrik gula yang didirikan di Pulau Jawa.