LSM
CINDELARAS PARITRANA secara metodis selama 14 tahun terakhir, telah
mempergunakan 3 (tiga) alat penyadaran dan pengorganisasian rakyat,
yakni: Community Organising through Participatory Action Research
(CO-PAR), Peasants’ Rights Participatory Education for A
Community-Based Rural Empowerment (PERPEC) dan Local
Leadership Training (LOLET). Pada tahun pertama 1998/
1999, CINDELARAS PARITRANA mulai merintis jaringan kerja
dengan masyarakat desa, khususnya di tiga dusun di Kelurahan
Sumberarum, Moyudan, Sleman, yang kemudian dikenal secara berkelompok
karena disatukan oleh sebuah program sebagai komunitas Lo-Rejo. Pada
tahun-tahun selanjutnya, pergulatan dan perjuangan masyarakat
pedesaan, khususnya petani gurem, yang menjadi fokus perhatian
CINDELARAS PARITRANA berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah bagian Selatan. Banyak hal yang dapat dipelajari dari
sikap hidup dan kesederhanaan berpikir para petani kecil di daerah
tersebut. Kepasrahan menerima keadaan sekaligus keluh-kesah
ketak-berdayaannya, menggugah tekad CINDELARAS
PARITRANA untuk menjadi teman seperjalanan dalam usaha mereka
membebaskan diri dari berbagai belenggu sosial ekonomi.
Untuk
memulai program pembebasan tersebut, pada permulaannya CINDELARAS
PARITRANA mengandalkan pada modal yang sangat kecil dan tak stabil,
yakni tenaga pikiran serta dana sendiri yang berasal dari gaji dosen
dan sisa fee penelitian. Pada tahun kedua, CINDELARAS
PARITRANA melakukan program Community Organising through
Participatory Action Research (CO-PAR) di komunitas Lo-Rejo
dengan dukungan moral dan dana dari Catholic Committee contre la
Faim et pour la Developpement (CCFD), Paris, Perancis. Dengan
berjalannya waktu dan bertambahnya pekerjaan serta komunitas yang
minta difasilitasi, mulai tahun 2002 atau tahun keempat
eksistensinya, CINDELARAS PARITRANA melakukan pendidikan penyadaran
kaum tani tentang pelaksanaan dan perjuangan hak-hak asasi mereka
dengan program Peasants’ Rights Participatory Education for A
Community-Based Rural Empowerment (PERPEC) dan Local
Leadership Training (LOLET). Untuk itu CINDELARAS PARITRANA
mendapatkan dukungan moral dan dana dari Development and Peace
(DNP), Montreal, Canada.
Dalam
kaitannya dengan kebijakan Pemerintah, masyarakat desa, termasuk para
petani dampingan CINDELARAS PARITRANA tak mampu bersikap kritis
terhadap berbagai bentuk program pembangunan model top-down
yang didikte Pemerintah. Masyarakat hanya diposisikan sebagai obyek
pembangunan, bukan sebagai mitra sejajar. Selain itu, globalisasi
yang mewujud dalam citra “modernisasi” sudah cukup lama merambah
dan merasuki hampir segala aspek kehidupan masyarakat, tidak
terkecuali masyarakat di wilayah pedesaan. Saat ini mereka sadar
bahwa globalisasi, yang bahkan difasilitasi oleh pemerintah telah
menjajah mereka. Mereka belum merasakan arti kemerdekaan di tanah
mereka sendiri.
Di
sisi lain, budaya instant yang merasuki jiwa masyarakat terasa
sekali menggusur nilai-nilai luhur budaya nenek moyang seperti “nek
arep ngundhuh, yo melu nandur” (bila ingin ikut memanen, ya
ikutlah menanam) dan ”ilmu iku kelakone kanthi laku” (ilmu
itu bisa terlaksana dengan bertindak), sehingga semakin menjauhkan
diri dari lokalitas budaya bangsa. Semua berpacu dengan kecepatan
mengeksploitasi alam, mengejar keinginan dan nafsu lahir. Masyarakat
desa sudah terlalu jauh dibawa pada arus pasar bebas yang mematikan
daya tawar masyarakat pada umumnya. Guna membangun penyadaran
masyarakat, khususnya kaum petani gurem dan keluarganya di pedesaan
terhadap kekuatan yang menindas, memperbodoh dan akhirnya
mempermiskinnya selama ini, seraya menimbulkan semangat dan gairah
membangun model alternatif pro kebutuhan mereka, CINDELARAS PARITRANA
melakukan program-program penyadaran dan pemberdayaan
masyarakat.