Tampilkan postingan dengan label community development. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label community development. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 April 2013

APA ITU CREDIT UNION?



Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia


1.1.        Apa itu Credit Union?


Ada beberapa definisi mengenai Credit Union. Tiga diantaranya kita tampilkan di sini.

Credit Union Counselling Office (CUCO) atau, kemudian dikenal sebagai Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I), dan sekarang disebut sebagai Induk Koperasi Kredit (Inkodit), di Jakarta, mendefinisikan Credit Union atau disebut juga Usaha Bersama Simpan Pinjam, sebagai:
 “...sekumpulan orang yang telah bersepakat untuk bersama-sama menabungkan uang mereka. Kemudian uang tersebut dipinjamkan diantara mereka sendiri dengan bunga yang ringan, untuk maksud produktip (membeli alat, perkakas atau membuka warung) dan kesejahteraan (keperluan kesehatan dan pendidikan). Dengan demikian, pinjaman tersebut akan mengutungkan anggota.” (CUCO, 1973: 1).

CREDIT UNION BASIS KOMUNITAS (C.U. BasKom): Belajar dari Philosophy Kerbau (Water Buffaloes)



dikembangkan oleh SEMAI, Yogyakarta

Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia

Belajar dari Kerbau
Pada tahun 1984 penulis mengunjungi Sumba pertama kali. Dan di Wewiwa (baca: Waidjiwa) melihat serta mengagumi bagaimana sekumpulan kerbau (20 kerbau) menginjak-injak sawah, sambil makan singgang (sisa jerami tebasan parang) yang menghijau. Mereka serempak menginjak, seolah berirama, kecipak kecipuk bunyi air bercampur lumpur terpecik ke atas dan ketubuh yang panas kering, tersiram sedikit basah, melumatkan tanah dibawahnya. Pada tahun 1990, penulis sempat pula mengunjungi Timor Timur (waktu itu masih di bawah kuasa pemerintah Indonesia), melalui darat, dari Atambua menyusuri savana sabana di antara beberapa kali yang hampir mongering harus disebrangi. Masuk ke wilayah Bumi Lorosae, mampir di kota kecil Dili sebentar, kemudian meluncur ke selatan, setelah mendaki dan menuruni bukit penuh tanaman kopi, menyebarangi beberapa kali, akhirnya sampai di Ailiu. Di sana pemandangan yang menakjubkan, sebagaimana di Sumba, terjadi lagi. Serombongan kerbau (15 ekor) me-rancah atau menginjak-injak sawah. Sama, sambil makan, mengerjakan hingga lumat lumpur untuk menanam padi.

RUU PERKOPERASIAN YANG DISELUSUPI SEMANGAT KORPORASI




(dimuat dalam Tabloid Dwi Mingguan, CUReview, vol. 1, 2012)

Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Insitute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia


Pengantar:
UU no. 17, tahun 2012, tentang Perkoperasian memang sudah diundangkan 30 Oktober 2012, untuk membandingkan dengan bagaimana setelah menjadi undang-undang dengan sebelumnya ketika masih sebagai draft, tulisan berikut yang diambil opera dari CU Review, Vol. 1, tahun 2012 dapat memberikan gambaran. Silakan membaca:

Selasa, 12 Maret 2013

LOLET: Menyiapkan Tokoh Perubahan Komunitas

Local Leadership Training (LOLET) atau Pelatihan Pemimpin Setempat merupakan metode pengembangan komunitas yang diterapkan Cindelaras Paritrana. Dari kelompok-kelompok yang terbentuk perlu dimunculkan sebagian orang yang dipercaya menjadi pimpinan dan sekaligus menjadi penggerak lokal pada masing-masing kelompok. Karena tuntutan sebagai dinamisator kelompok, para penggerak lokal ini memerlukan pendidikan dengan porsi berbeda. Para penggerak lokal ini terdiri dari: (1) para pemimpin lokal yang formal dan sadar atau simpati; (2) para pemimpin lokal yang informal termasuk tokoh panutan, etnis, agama, cendekiawan, dan pengusaha lokal; dan (3) para petani militan, baik yang sudah mendapatkan pendidikan PERPEC maupun yang belum. Di samping itu respon terhadap PERPEC terimplementasi secara berbeda pada masing-masing kelompok, namun mereka terikat pada roh gerakan yang sama. Untuk itu didesain sebuah program yang dikhususkan bagi para penggerak lokal ini, yakni LOLET.

Tahun 2004, tepatnya, 17-19 Desember 2004, bertempat di Puluhan, penggerak lokal Lo-Rejo bersama dengan penggerak lokal dari delapan komunitas lain (Sumbersari, Jetis, Kleben, Nglipar, Wanglu, Kedunggubah, Tobong, Ngliseng) berkumpul. Kepada mereka diberikan pelatihan dengan materi: Analisa Sosial berkaitan dengan tema Otonomi Daerah, Pengelolaan Sumber Daya Air, Globalisasi Neoliberalisme, dan Reforma Agraria. Pertemuan yang dihadiri 23 peserta (21 laki-laki dan 2 perempuan) ini sekaligus menjadi media komunikasi antar komunitas. Harapannya, ke depan terbentuk konsolidasi jaringan organisasi melalui pemahaman kesadaran dan sinkronisasi kegiatan tanpa mengesampingkan corak lokalitas masing-masing komunitas. Selain itu lewat LOLET juga memungkinkan terjadinya proses saling mengenal antar komunitas untuk memunculkan rasa solidaritas. Melalui program ini para penggerak lokal diajak melakukan dialog dan berbagi pengalaman agar tumbuh saling pengertian, rasa senasib dan seperjuangan dalam garis gerakan yang sama. Proses pembelajaran para penggerak lokal dilaksanakan di salah satu komunitas. Di lokasi ini peserta juga bisa belajar tentang apa yang dilihat dan dialami. Kemudian mereka juga dituntun untuk berbagi pengalaman, sehingga masing-masing komunitas bisa saling menilai, saling memperkaya, dan saling menguatkan.

Capaian lebih lanjut adalah munculnya tokoh-tokoh lokal yang secara tegas menolak praktek-praktek globalisasi neoliberalisme dan secara aktif mengambil langkah alternatif. Sebut saja Ignatius Purwanto dan Danang Eko Saputro dari Kleben; Sarmadi, Marsudi, dan Abdullah dari Jetis; Sukapno dari Pakelan-Sejati; Nanang dan Darusman dari Sumbersari; Maryanto dari Wanglu; Kamiyono dari Tobong; Marno dari Ngliseng; Partiman dan Suhardi dari Praon, dan Saryono dari Lorejo. Mereka adalah local leaders yang mensosialisasikan pertanian organik, yakni cara bertani yang mengandung nilai-nilai solidaritas, kepercayaan dan ramah lingkungan. Jika bertani organik harus bersertifikat, mereka menolak tegas, salah satunya Purwanto dari Kleben yang tegas mengatakan pada seorang ibu yang hendak membeli beras organik di dusunnya, ”Ibu jauh-jauh dari Jakarta sampai Kleben mau mencari beras organik atau mau membeli secarik kertas? Silakan tinggal di sini tiga bulan melihat cara budi daya kami kalau tidak percaya.” Bagi Purwanto, bertani organik tidak sekedar masalah produk, tetapi ada saling percaya, ada kemerdekaan tersendiri dan terbebas dari eksploitasi pasar bebas.

Selain itu, hasil dari LOLET ini mampu menumbuhkan kesadaran para pemimpin local untuk membangun kekuatan kemandirian finansial dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam maupun Credit Union yang dikelola lebih murni dan konsisten untuk para anggota, sebagaimana disebutkan di atas, yakni Credit Union “Ngudi Lestari” di Jetis, Semi Credit Union Kelompok Usaha Pedukuhan Praon (KUPP) “Rahayu” dan Credit Union “Cindelaras Tumangkar” (CUCT) di Lo-Rejo. CUCT yang lahir dari salah satu komunitas dan berakar dari masyarakat, akhirnya mampu merengkuh sejumlah anggota yang tersebar di DIY dan Jawa Tengah. Selain itu melalui SEMAI, perintis-perintis CU-CU kami sudah ikut membidani lahirnya CU-CU Primer di daerah-daerah lain, seperti: di Jombang, Purworejo, Salatiga, Lampung, Medan, dan membantu mengupgrade sebuah CU di Bagan Batu, Riau. Perlu dipahami bahwa kesadaran kritis yang dihasilkan melalui pendidikan PERPEC dan LOLET ini tentu tidak mudah dicapai. Butuh waktu dan proses yang panjang, bahkan tidak sedikit yang harus mengalami benturan-benturan kenyataan. Namun pada akhirnya tetap membawa pada kesadaran kritis komunitas sebagai dasar perjuangan merebut kedaulatan dan membangun kemandirian sosial ekonomi, khususnya kedaulatan finansial dan pangan.

Pada paruh kedua tahun 2010, CINDELARAS PARITRANA memperkenalkan LOLET II. Lebih maju dari LOLET I, program LOLET II tidak hanya melakukan pendidikan penyadaran dan ketrampilan pengorganisasian pada tingkat komunitas pada pimpinan lokal, baik formal maupun informal, tetapi mendorong terjadinya organisasi rakyat yang bersifat politik, ekonomi, sosial dan budaya di tingkat distrik atau regensi, atau di tingkat wilayah pemerintahan otonomi daerah, pemerintahan regional terendah, yakni antara pusat dan lokal, namun masih di bawah Provinsi. Setelah Orde Reformasi tahun 2000-an, bila sebuah organisasi rakyat mulai masuk ranah politik, khususnya advokasi kebijakan publik, tidak harus mampu bermain di tingkat distrik, tapi juga di tingkat pemerintahan otonom terendah dalam Republik Indonesia.

Pada tingkat distrik, Kabupaten atau Kotamadya ini, Bupati atau Walikotanya dipilih langsung oleh rakyat secara langsung. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Secara bersama-sama, Bupati dan DPRD selain menentukan Anggaran dan Belanja atau budget Distrik atau Kabupaten, juga menentukan kebijakan pemerintah untuk pembangunan daerah dan rakyat di daerah itu. Adanya organisasi rakyat, civil society organisation, pada tingkat daerah atau distrik akan sangat strategis sebagai alat tawar-menawar politik ekonomi dalam memengaruhi kebijakan daerah termasuk alokasi budget bagi pembangunan rakyat, yakni: pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan aturan-aturan terkait dengan tata guna dan hak milik dan penguasaan atas sumber-sumber agraria. Program reforma agraria untuk petani dan program kesetaraan gender, walaupun itu secara politik legal berada di ranah Pemerintah Pusat, namun dalam eksekusi materinya atau implementasi politik sosial ekonominya, berada dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Daerah dan DPRD.

CINDELARAS PARITRANA sadar akan kekurang-pengalaman dalam politik praktis dan pengorganisasian perempuan, kendati memiliki keunggulan dalam kerja sosial ekonomi. Melalui program LOLET II ini, CINDELARAS PARITRANA bekerjasama dengan perkumpulan PERGERAKAN (untuk organisasi petani) dan HAPSARI (untuk organisasi perempuan) bermaksud mendorong berdirinya organisasi petani dan perempuan tingkat distrik. Dalam memfasilitasi (pendidikan penyadaran, ketrampilan sampai strategic planning untuk mendirikan sebuah organisasi) pendirian organisasi petani dan organisasi perempuan, CINDELARAS PARITRANA mendapatkan pendampingan bidang pemberdayaan sosial ekonomi, sementara PERGERAKAN dan HAPSARI mengurusi bidang penguatan politik dan budayanya. Maka pada akhir paruh kedua tahun 2010 dan awal tahun 2011 berhasil didirikanlah tiga organisasi perempuan; Serikat Petani Kulonprogo (SERTANI) dan Serikat Perempuan Independen Kulonprogo (SPIK) di Kabupaten Kulonprogo, serta Serikat Perempuan Bantul (SPB) di Kabupaten Bantul.

Fokus sumbangan CINDELARAS PARITRANA terhadap tiga organisasi tersebut meliputi tiga hal: (1) mengembangkan keanggotaan Credit Union di antara anggota Serikat; (2) mempergunakan sumber keuangan dari CU untuk mendorong kedaulatan pangan terutama dengan mempromosikan pertanian organik, dan (3) memperlancar proses perdagangan adil (fair trade and distribution) di antara anggota organisasi dan simpatisan, baik berupa barang pertanian maupun hasil kerajinan para perempuan dan jasa wisata desa. Wisata desa itu telah berjalan tujuh bulan ini dengan andalan “petik dan goreng teh rakyat” sambil makan “ketela bakar” mengagumi “kambing etawa juara nasional” dan merenungkan arti hidup dalam kultur Jawa dengan patok negaranya, dalam sejuknya udara siang dan dinginnya malam. Semua dapat ditemukan di Dusun Keceme, Puncak Suroloyo, Pegunungan Menoreh, Kulonprogo, DIY. yang menyediakan 10 pondok penginapan terbuat dari bambu, lengkap dengan aula ruang makan dan kamar mandi/WC.



Program Pemberdayaan Komunitas Basis

PERPEC atau Peasants’ Rights Participatory Education for A Community-Based Rural Empowerment pada dasarnya adalah musyawarah untuk mufakat yang terbimbing pada awal dari proses, dan semakin mendekati puncak dilepas pada mekanisme rembug masyarakat desa sendiri. Tentu tema-tema pokok yang merupakan 6 (enam) matra pengarus-utamaan program-program CINDELARAS PARITRANA tetap dijalankan, dan merupakan kurikulum pendidikan. Pada PERPEC I meliputi: (1) Hak-Hak Asasi Petani, (2) Kritik terhadap Globalisasi dan Menggalang Gerakan Sosial Baru, (3) Pemberdayaan Berkelanjutan khususnya Pertanian Organik, (4) Mengembangkan Bela Kemanusiaan, (5) Menggalang Solidaritas lewat Credit Union dan Koperasi, dan (6) Meningkatkan Kesetaraan Gender.

Untuk PERPEC II lebih menekankan pada pendidikan pelatihan strategi dan kiat-kiat untuk menjadikan 6 matra pengarus-utamaan berjalan secara realistis dalam kehidupan sehari-hari bagi para petani dan masyarakat miskin lainnya. Misalnya saja, tentang pemberdayaan berkelanjutan melalui pertanian organik yang dilatihkan, dari bagaimana menyiapkan lahan pertanian dengan kompos dan bibit pilihan, sampai pada pemeliharaan dan pengadaaan lumbung pangan berikut mekanisme penjualan hasil produksinya. Tentang membangun Credit Union (CU) maupun memekarkannya, diadakan pendidikan filosofi dan manajemen CU secara sederhana, strategi pengembangan dan pemanfaatannya, serta bagaimana CU dipakai sebagai salah satu kaki dari kaki-usaha. Pada kedua contoh, lumbung dan CU, praktek tentang kesetaraan gender sudah di-subversifkan ke dalam pendidikan pelatihan tersebut. Contoh ketiga adalah bagaimana sebuah komunitas diorganisir sebagai organisasi perjuangan hak petani dan mengembangkan model alternatif yang pro rakyat.

Dengan kata lain, semua matra pengarus-utamaan itu dijadikan bahan pembelajaran bersama yang akhirnya mengerucut pada sebuah rumusan kecil bahwa kunci keberhasilan program pemberdayaan terletak pada sikap mental dan kreativitas pelaku pembangunan itu sendiri, alias masyarakatnya. Oleh karena itu, langkah awal menemani dan memberdayakan masyarakat dicoba melalui dialog dengan mereka, yakni melalui program pendidikan penyadaran yang dikenal dengan PERPEC. PERPEC ini sudah dijalankan CINDELARAS PARITRANA sejak tahun 2001 sebagai bagian dari dialog bersama, seiring dengan berjalannya proyek yang didanai CCFD. Pada tahun-tahun berikutnya, CINDELARAS PARITRANA mengambil langkah baru dengan melakukan pendidikan PERPEC terlebih dahulu ke komunitas-komunitas dampingannya yang baru. Kalau CO-PAR dimaksudkan untuk memetakan berbagai faktor yang memengaruhi pemiskinan dan pembodohan rakyat-jelata di pedesaan dan membuat strategic planning mengatasinya, maka PERPEC didesain untuk meningkatkan wawasan dan ketrampilan rakyat-jelata, khususnya keluarga petani kecil, hingga mampu mengatur langkah mengatasi masalah bersama seraya mengembangkan model alternatifnya.

Tahun 2002, melalui PERPEC, CINDELARAS PARITRANA membuka relasi dengan enam komunitas baru, yaitu: Jetis, Praon, dan Ngoro-oro di Gunungkidul, Ngliseng di Bantul, Pagerharjo di Kulonprogo, kelimanya di propinsi DIY, dan Sumbersari di Purworejo, Jawa Tengah. Dampak dari pendidikan PERPEC yang diperkuat dengan pendampingan tenaga lapangan CINDELARAS PARITRANA adalah munculnya kesadaran kritis di masing-masing komunitas. Meskipun kesadaran kritis yang terbangun masih bersifat personal, namun ada pencapaian positif yang harus diapresiasi. Khusus di Sumbersari, kesadaran yang terbangun menghasilkan upaya konsolidasi membentuk organisasi tani alternatif, Kelompok Muda Karya Tani, yakni kelompok orang muda bertani organik. Pada tahun 2003, melalui program PERPEC, CINDELARAS PARITRANA kembali mengembangkan komunitas dampingan. Ada tujuh dusun di DIY, yaitu Ngrandu, Wanglu, dan Tobong di Gunungkidul, kemudian Sendangsari, dan tiga dusun yang masuk kawasan Lo-Rejo (Puluhan, Jitar, dan Pingitan) di Sleman, dan satu dusun di Jawa Tengah, yaitu Kedunggubah di Kaligesing, Purworejo. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat ternyata berdampak juga pada semakin terpinggirkannya kaum perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah keluarga atau rumah tangga, maka PERPEC tahun 2003 sedikit diperbaharui dengan menambahkan satu materi baru, yaitu tentang kesetaraan gender.

Memasuki tahun 2004, materi PERPEC yang sama diberikan kepada tiga komunitas baru, yaitu: Sejati, Pakelan, dan Kleben yang dilaksanakan di pendopo Lo-Rejo. Ketiganya ada di wilayah Kabupaten Sleman. Dari hasil PERPEC ini, terjadi konsolidasi antara komunitas Sejati dan Pakelan dan membentuk paguyuban bersama dengan nama paguyuban Pertanian Organik Guyub Rukun (POGR), sementara komunitas Kleben membentuk paguyuban Bangunrejo. Lima komunitas ditambahkan lagi di tahun 2005-2006. Tahun 2005 PERPEC diselenggarakan di Dusun Geger di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan di Dusun Tugu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tahun 2006 meski terjadi gempa, materi PERPEC tetap dilaksanakan di tiga komunitas, yaitu: Jomboran, Sleman, dan Sodo, Gunungkidul, (DIY) dan Balak, Klaten, (Jateng). Materi PERPEC diberikan bersamaan dengan program-program emergency, recovery, dan rehabilitasi untuk korban bencana gempa. Dalam penanganan korban Gempa Yogya 2006, CINDELARAS PARITRANA ikut ambil bagian secara aktif di 24 komunitas, di luar komunitas reguler. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya hanya sembilan komunitas yang siap dan terorganisir untuk menerima materi PERPEC. Komunitas tersebut terdiri dari beberapa dusun, yakni: Kaligondang, Bungas, Payak Cilik, Dermojurang (Kabupaten Bantul), Terbah, Mongkrong, Jonggrang (Kabupaten Gunungkidul), dan Nglatihan II, Mirisewu (Kabupaten Kulonprogo). Program PERPEC baru dilanjutkan tahun 2009 yang dilaksanakan di tiga dusun: Modinan, Bakalan (Sleman), dan Nabin (Magelang, Jateng).

Pada tahun 2010/ 2011, CINDELARAS PARITRANA mengadakan pendidikan pelatihan PERPEC II yang lebih maju selangkah untuk mendampingi enam komunitas yang sudah mendapatkan pendidikan penyadaran PERPEC I. Adapun PERPEC II lebih dari sekedar penyadaran sebagaimana PERPEC I dan mengisinya dengan strategic planning untuk membangun model alternatif pro rakyat ditambah dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk itu. Pada saat ini, fokus program ada pada dua hal pokok dasar kehidupan sehari-hari petani, yakni: membangun kedaulatan finansial lewat pengembangan Credit Union a la filosofi petani dan lumbung pangan organik yang bersifat fair trade and distribution. Keenam komunitas yang dipilih pada tahun 2010/ 2011 berdasar pada dialog dengan masyarakat sendiri, yakni: Lo-Rejo dan Kleben (Kabupaten Sleman), Payak Cilik (Kabupaten Bantul), Jetis dan Praon (Kabupaten Gunungkidul), ketiganya di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Balak (di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah).

Sebagai hasilnya, di enam komunitas pedesaan tersebut para petani yang bergabung sudah mulai mendirikan Lumbung Pangan, khususnya padi. Bahkan di Jetis, Lumbung Padi sudah berjalan lama, maka Komunitas Jetis menambah satu lumbung baru, yakni Lumbung Kotoran Hewan (tlethong), khususnya sapi dan kambing, untuk kompos. Di enam komunitas tersebut, CINDELARAS PARITRANA, juga mendorong dan memfasilitasi masyarakat tani untuk lebih menguatkan manajemen dan manfaat dari Credit Union atau semi-Credit Union yang telah kami fasilitasi sejak beberapa tahun lalu. Di lingkungan gerakan CINDELARAS PARITRANA, pada saat ini sudah ada tiga Credit Union/ Semi-Credit Union: (1) Credit Union “Cindelaras Tumangkar” dengan anggota per 30 Juni 2011, sebesar 2797 orang (laki-laki: 1525 orang, perempuan: 1272 orang) beroperasi di seluruh DIY dan Jawa Tengah dimana anggota komunitas Lo-Rejo, Balak, Payak Cilik, Kleben dll. menjadi anggotanya; (2) Credit Union “Ngudi Lestari” di Komunitas Jetis, dengan anggota per 30 Juni 2011 sebesar 340 orang atau 119% penduduk karena anggotanya juga dari dusun tetangga, dan (3) Semi-Credit Union KUPP “Rahayu“ di Komunitas Praon, dengan anggota per 30 Juni 2011 sebesar 141 unit rumah tangga atau 40% dari total rumah tangga di Praon.

Sejak 2002 hingga 2011, PERPEC telah dilaksanakan di 34 komunitas. Meliputi dua provinsi, empat kabupaten di DIY dan tiga kabupaten di Jawa Tengah. Secara personal program ini sudah diikuti 1021 orang. Dari proses PERPEC ini mereka menyadari bahwa hidupnya telah terkooptasi oleh kekuatan dahsyat yang berada di luar dirinya. Tanpa sadar pula mereka tergiring pada pola hidup individualis. Kerekatan dan kepedulian sosial menjadi barang usang yang tak diperlukan lagi. Secara kasat mata, PERPEC berhasil mengubah pandangan mereka. Masyarakat pun menanggapi kegiatan pendidikan ini dengan respon yang berbeda. Ciri yang paling nampak adalah adanya kesadaran untuk hidup dalam kebersamaan, tidak lagi individual. Ini terlihat dari upaya mereka membentuk kelompok-kelompok yang bersedia membangun mimpi bersama. Ada yang secara konsisten menjaga “mimpi bersama” tersebut, meski tak segera mengubahnya menjadi kenyataan. Ada yang mulai melangkah dan menemukan lorong alternatif menuju pembebasan. Ada yang masih berjalan di tempat. Ada juga yang justru menemui kebuntuan.




Membangun Kesadaran Kritis dan Partisipasi Aktif

Metode CO-PAR atau Community Organising through Participatory Action Research yang dipakai oleh CINDELARAS PARITRANA adalah hasil sintesa dari 3 alat penelitian partisipatoris yang selain untuk mendapatkan kesimpulan sahih, juga untuk pendidikan penyadaran dan sekaligus untuk pengorganisasian (menyatukan platform perjuangan rakyat). Alat yang pertama adalah alat penelitian yang berupa serial kuesioner yang didesain, dicobakan dan dikembangkan oleh Francis Wahono selama tahun 1992/ 1993 untuk penelitian lapangan di dua desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penelitian untuk penulisan disertasi Ph.D. bidang perubahan sosial ekonomi di pedesaan itu sendiri adalah kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif dan banyak diskusi partisipatifnya dari 17 enumerator yang berasal dari masyarakat. Adapun alat yang kedua adalah dari buku CO-PAR yang dikembangkan dan dipakai oleh para aktivis sosial dan akademisi kontekstual di Filipina Selatan. Sedang alat yang ketiga adalah dari kumpulan karangan mengenai penelitian partisipatif yang dikeluarkan oleh Social Institute di India.

CO-PAR pertama dalam kerangka CINDELARAS PARITRANA, dicobakan di sepuluh dusun di dua desa di Pacitan untuk studi mengenai usaha-usaha off-farm masyarakat dengan tekanan pada keadilan gender pada tahun 1999. Pada CO-PAR pertama, pendesain penelitian, Francis Wahono masih 90% terlibat dalam penelitian. CO-PAR kedua dilakukan untuk masyarakat Lo-Rejo yang berjumlah tiga dusun. CO-PAR kedua ini sudah disederhanakan dari segi kuesioner, jauh lebih sedikit dan fokusnya adalah mengetahui tingkat kemiskinan (termasuk yang tersembunyi) dari masyarakat. Pada CO-PAR kedua ini, pendesain penelitian sudah tidak terlalu banyak terlibat dalam penelitian. Pada CO-PAR ketiga, yakni dilaksanakan di Praon, Gunungkidul. Model CO-PAR-nya sudah lebih disederhanakan lagi dan fokusnya ada dua, yakni tingkat kemiskinan dan peran perempuan. Pada CO-PAR ketiga, pendesain penelitian sudah sama sekali tidak ikut dalam penelitian. Pada CO-PAR ketiga ini pelaku penelitian adalah para staff CINDELARAS PARITRANA.

Walaupun pada kedua CO-PAR, baik di Lo-Rejo maupun di Praon pendesain penelitian tidak ikut secara penuh, prinsip-prinsip participatory research masih dijalankan. Lebih dari itu, sejak tahun 2002 setiap pembukaan dari suatu komunitas untuk bergabung ke dalam pendampingan CINDELARAS PARITRANA, CO-PAR jauh lebih sederhana dan fleksibel, mendekati CO-PAR a la Filipina dan India. Dalam penyederhanaan yang difokuskan ada 5 (lima) pemetaan masyarakat: peta geografi, peta sosiatri, peta sumber penghidupan, peta sumber pendapatan, analisa deficit ekonomi dan non ekonomi (politik, sosial, budaya, keadilan gender, dan kerukunan hidup beragama), dan peta akar-akar kegagalan bertani dan berusaha. Dari hasil temuan lapangan, yang umumnya melibatkan para narasumber utama pedesaan dan orang-orang muda mereka, masyarakat petani desa mengadakan pembahasan bersama. Hasil pembahasannya adalah: (1) kesadaran bersama mengenai nasib mereka mengapa dipermiskin dan diperbodoh, dan oleh kekuasaan yang mana; (2) penemuan mengenai akar-akar pemiskinan dan pembodohan; (3) kemampuan mengidentifikasikan sumber-sumber penghidupan yang mana sajakah yang harus mereka perjuangkan secara damai dan legal hingga dapat mereka kuasa kembali; (4) usaha-usaha pengorganisasian, jejaring, kampanye, advokasi dan lobby apa yang perlu mereka lakukan tahap demi tahap; dan (5) model-model alternatif apa sajakah yang sudah mereka mulai sebagai pilot project.

Pendidikan Penyadaran Rakyat

LSM CINDELARAS PARITRANA secara metodis selama 14 tahun terakhir, telah mempergunakan 3 (tiga) alat penyadaran dan pengorganisasian rakyat, yakni: Community Organising through Participatory Action Research (CO-PAR), Peasants’ Rights Participatory Education for A Community-Based Rural Empowerment (PERPEC) dan Local Leadership Training (LOLET). Pada tahun pertama 1998/ 1999, CINDELARAS PARITRANA mulai merintis jaringan kerja dengan masyarakat desa, khususnya di tiga dusun di Kelurahan Sumberarum, Moyudan, Sleman, yang kemudian dikenal secara berkelompok karena disatukan oleh sebuah program sebagai komunitas Lo-Rejo. Pada tahun-tahun selanjutnya, pergulatan dan perjuangan masyarakat pedesaan, khususnya petani gurem, yang menjadi fokus perhatian CINDELARAS PARITRANA berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian Selatan. Banyak hal yang dapat dipelajari dari sikap hidup dan kesederhanaan berpikir para petani kecil di daerah tersebut. Kepasrahan menerima keadaan sekaligus keluh-kesah ketak-berdayaannya, menggugah tekad CINDELARAS PARITRANA untuk menjadi teman seperjalanan dalam usaha mereka membebaskan diri dari berbagai belenggu sosial ekonomi.

Untuk memulai program pembebasan tersebut, pada permulaannya CINDELARAS PARITRANA mengandalkan pada modal yang sangat kecil dan tak stabil, yakni tenaga pikiran serta dana sendiri yang berasal dari gaji dosen dan sisa fee penelitian. Pada tahun kedua, CINDELARAS PARITRANA melakukan program Community Organising through Participatory Action Research (CO-PAR) di komunitas Lo-Rejo dengan dukungan moral dan dana dari Catholic Committee contre la Faim et pour la Developpement (CCFD), Paris, Perancis. Dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pekerjaan serta komunitas yang minta difasilitasi, mulai tahun 2002 atau tahun keempat eksistensinya, CINDELARAS PARITRANA melakukan pendidikan penyadaran kaum tani tentang pelaksanaan dan perjuangan hak-hak asasi mereka dengan program Peasants’ Rights Participatory Education for A Community-Based Rural Empowerment (PERPEC) dan Local Leadership Training (LOLET). Untuk itu CINDELARAS PARITRANA mendapatkan dukungan moral dan dana dari Development and Peace (DNP), Montreal, Canada.

Dalam kaitannya dengan kebijakan Pemerintah, masyarakat desa, termasuk para petani dampingan CINDELARAS PARITRANA tak mampu bersikap kritis terhadap berbagai bentuk program pembangunan model top-down yang didikte Pemerintah. Masyarakat hanya diposisikan sebagai obyek pembangunan, bukan sebagai mitra sejajar. Selain itu, globalisasi yang mewujud dalam citra “modernisasi” sudah cukup lama merambah dan merasuki hampir segala aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali masyarakat di wilayah pedesaan. Saat ini mereka sadar bahwa globalisasi, yang bahkan difasilitasi oleh pemerintah telah menjajah mereka. Mereka belum merasakan arti kemerdekaan di tanah mereka sendiri.

Di sisi lain, budaya instant yang merasuki jiwa masyarakat terasa sekali menggusur nilai-nilai luhur budaya nenek moyang seperti “nek arep ngundhuh, yo melu nandur” (bila ingin ikut memanen, ya ikutlah menanam) dan ”ilmu iku kelakone kanthi laku” (ilmu itu bisa terlaksana dengan bertindak), sehingga semakin menjauhkan diri dari lokalitas budaya bangsa. Semua berpacu dengan kecepatan mengeksploitasi alam, mengejar keinginan dan nafsu lahir. Masyarakat desa sudah terlalu jauh dibawa pada arus pasar bebas yang mematikan daya tawar masyarakat pada umumnya. Guna membangun penyadaran masyarakat, khususnya kaum petani gurem dan keluarganya di pedesaan terhadap kekuatan yang menindas, memperbodoh dan akhirnya mempermiskinnya selama ini, seraya menimbulkan semangat dan gairah membangun model alternatif pro kebutuhan mereka, CINDELARAS PARITRANA melakukan program-program penyadaran dan pemberdayaan masyarakat.