Guido S Purwanto
Usia tiga perempat abad tak
menghalangi Gatot Surono untuk tetap gesit menjalani kegiatan pertanian alami
yang mulai digelutinya sejak tahun 1989. Rumah sederhananya di Desa Kembangan,
Kecamatan Bukateja, Purbalingga menjadi jujugan banyak orang dari berbagai
kalangan. Sebagian mereka datang untuk meminjam benih padi yang akan mereka
kembalikan lagi pada panen berikutnya. Sebagian lain datang untuk mendalami
spirit maupun teknik pertanian alami, mulai dari lumbung benih, pengolahan
lahan, pembenihan, pengolahan lahan, penyemaian, cara penanaman, pembuatan
pupuk, pestisida, dan insektisida alami, hingga obrolan ringan mengatasi hama
tikus. Benih adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan.
Gatot Surono, Pejuang pertanian alami. |
Ciptaan Tuhan tidak boleh
dipunahkan, begitu keyakinan mbah Gatot, panggilan akrab Gatot Surono,
terungkap di awal-awal perbincangan tentang pertanian alami. Dari keyakinan
itu, tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi mbah Gatot demi mendapatkan
benih. Peraturan, undang-undang, semua otoritas buatan manusia bukan hal
penting lagi. Bagi mbah Gatot, semua cara halal. “Kalau ndak punya ya minta.
Ndak boleh minta, ya minta pada Yang Maha Kuasa, gimana caranya,” tutur pria
kelahiran Klaten 1933 ini.Pada tahun 2000, suami Christina Swastuti ini ditunjuk menjadi salah satu
delegasi petani Indonesia yang diutus ke Thailand. Konon di negeri itu, warga
asing dilarang membawa benih apapun keluar batas teritorialnya. Dalam sebuah
kesempatan kunjungan di lahan pertanian, ia mendapati hamparan sawah yang
ditanami salah satu jenis padi terbaik di Negeri Gajah Putih itu. Padi itu
dikenal dengan nama Jasmine. Rupanya, ia tak bisa menahan hatinya untuk mencoba
menangkarkan salah satu jenis terbaik ini di tanah kelahirannya. Karena upaya
membeli atau meminta benih dengan cara baik-baik tidak mungkin, “Satu-satunya
jalan ya saya ngurut semalai, lalu saya masukkan saku,” kenang bapak tiga anak
ini. Terpaksa ia melanggar peraturan, mengambil benih tanpa ijin.
Sesampai di tanah air, ia membuka “oleh-oleh” dari negeri yang pernah tercatat sebagai pengekspor beras terbesar Asia ini. “Setelah saya hitung ada sekitar 40 bulir. Saya semai hingga berumur 7-15 hari, lalu saya tanam di lahan seluas 20 meter persegi. Cara menanamnya memakai sistem Madagaskar, ditanam satu-satu dengan jarak tanam 25 cm—di Indonesia belakangan dikenal dengan nama SRI – System Rice Intensification). Saat panen saya mendapat 20 Kg,” tutur alumni Sospol UGM (1958-1962) dan Peking University (1962-1965) ini.
Sesampai di tanah air, ia membuka “oleh-oleh” dari negeri yang pernah tercatat sebagai pengekspor beras terbesar Asia ini. “Setelah saya hitung ada sekitar 40 bulir. Saya semai hingga berumur 7-15 hari, lalu saya tanam di lahan seluas 20 meter persegi. Cara menanamnya memakai sistem Madagaskar, ditanam satu-satu dengan jarak tanam 25 cm—di Indonesia belakangan dikenal dengan nama SRI – System Rice Intensification). Saat panen saya mendapat 20 Kg,” tutur alumni Sospol UGM (1958-1962) dan Peking University (1962-1965) ini.