Tampilkan postingan dengan label definition. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label definition. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Maret 2013

Pembangunan Berkelanjutan

(Sustainable Development)



FX Bambang Kussriyanto

Mula-mula kita dengar istilah “sustainable development” (pembangunan berkelanjutan) sebagai wacana tingkat tinggi di forum politik dan web-site perusahaan raksasa multinasional. Kemudian kalangan academia ramai mengumandangkannya, menjadikan “sustainable development” (pembangunan berkelanjutan) semacam gagasan wawasan mutakhir yang ampuh dan bahkan menjadikannya jurusan khusus.

Istilah sustainable development (pembangunan berkelanjutan) mulai marak di akhir 1980-an, setelah digunakan dalam risalah Our Common Future, atau The Brundtland Report. Suatu komisi PBB yang menyarankan “agenda global untuk berubah” dalam konsep maupun praktek pembangunan, laporan Brundtland memberi tengara tentang mendesaknya pemikiran ulang atas cara kita hidup dan cara mengatur segala sesuatu. Kita memerlukan cara baru dalam mempertimbangkan soal-soal lama termasuk kerjasama dn koordinasi internasional dalam usaha “mencapai tujuan dan mewujudkan aspirasi manusia secara bertanggungjawab”.

Komisi Brundlandt resminya bernama Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mereka menarik perhatian dunia pada fakta “kerusakan yang makin cepat dari lingkungan hidup manusia dan alam, dan akibat-akibatnya terhadap perekonomian dan kehidupan sosial”. Disodorkan dua wawasan yang bertautan:
~ Kesejahteraan hidup manusia berkaitan erat dengan situasi lingkungan alam dan perekonomian.
~ Pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) menuntut kerjasama berskala global.
Pembangunan berkelanjutan menyangkut integrasi: pembangunan dengan cara yang menghasilkan manfaat seluas mungkin di pelbagai sektor, lintas batas, bahkan antar generasi. Dengan kata lain, keputusan pembangunan harus mempertimbangkan dampak potensial atas masyarakat, lingkungan hidup dan perekonomian seraya mengingat bahwa semua tindakan kita akan mendatangkan akibat di masa depan.

Kita biasa mengatur berbagai hal dengan membagikannya dalam kotak-kotak menurut bidang-bidang khusus, maka ada departemen, urusan dan seksi, pemerintah dan masyarakat. Rumahtangga pun jarang yang dibangun secara menyeluruh (holistic systems). Kementrian melakukan kegiatan khusus di bidang masing-masing maka ada menteri pertanian, menteri keuangan, menteri dalam negeri, menteri luar negeri. Kita membagi-bagi hidup kita yang satu sehari-hari: waktu kerja, waktu istirahat, waktu bersenang-senang dan berlibur. Anggaran Negara, perusahaan bahkan rumah tangga pun lebih mencerminkan pembagian-pembagian atas dana yang satu, dipecah-pecah. Kita jarang melihat semua persoalan itu dalam satu kesatuan. Pembicaraan sektoral paling umum terselenggara, tetapi wacana koordinasi komprehensif jarang diadakan. Kita lebih sering memerhatikan pohon-pohon ketimbang hutan sebagai keseluruhan.
Konsep sustainable development mengartikulasikan beberapa pergeseran yang mendasar dari perspektif tata hubungan kita dengan dunia sekeliling, dan karenanya, pemerintah-pemerintah harus menyusun kebijakan sesuai dengan pandangan baru itu.

“Pemerintah berhadapan dengan tantangan yang kompleks untuk menemukan keseimbangan di antara pelbagai tuntutan atas sumber-sumber sosial dan alam, tanpa mengurbankan kemajuan ekonomi.”
Sustainable Development: Critical Issues


Pertama-tama ada kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan GDP) saja tidak memadai: aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dari setiap tindakan saling berkaitan. Jika hanya salah satu saja yang dipikirkan, pertimbangannya akan pincang, dan hasilnya akan “unsustainable” di masa depan. Jika tindkan hanya memikirkan laba misalnya, sejarah menunjukkan akibat jangka panjang berupa terjadinya kerusakan sosial dan lingkungan hidup yang membebani seluruh masyarakat. Sebaliknya, mengutamakan lingkungan dan pelayanan kesejahteraan hidup rakyat juga menuntut pengorbanan perekonomian..

Selanjutnya, inter-koneksi, hubungan yang saling bergantung dalam sustainable development menuntut koordinasi strategi dan keputusan lintas batas baik geografis maupun kelembagaan. Masalah-masalah tidak bisa diselesaikan hanya dalam yurisdiksi satu bidang pemerintahan, atau di satu lingkungan rumahtangga saja, dan solusi yang cerdas menuntut kerjasama banyak pihak.
Sebagai contoh, untuk mengusahakan tanaman pangan hasil rekayasa genetik (jagung, kedelai, dll), misalnya, memerlukan bukan saja pertimbangan menteri pertanian, tetapi juga mentri lingkungan hidup, mentri perdagangan, mentri kesehatan dan mentri riset suatu negara. Dan karena benih GMO itu diimpor dari negara lain, maka memerlukan internasional juga, mengingat peraturan nasional yang berbeda-beda mengenai GMO.

Akhirnya, tindakan manusia mempunyai akibat antar masa: gampangnya, pikirkan akibat pilihan tindakan kita dalam jangka panjang. Jika pembabatan hutan besar-besaran hanya dilakukan demi laba segera saja, maka akan ditanggung kerugian yang jauh lebih besar di masa depan: kerugian karena tidak ada produksi lagi dari hutan bersangkutan dalam periode yang panjang di masa depan, kerugian karena hilangnya keragaman hayati, kerugian berkurangnya kemampuan penyerapan karbon dioksida, timbulnya bencana banjir dan tanah longsor karena air hujan di tanah tidak tertangkap akar tumbuhan hutan dan meluncur deras, misalnya. Maka sudah sepantasnya dipertimbangkan keadilan antar generasi, jangan sampai generasi masa depan cucu-cicit kebebanan kerugian besar, sedang generasi sekarang enak-enak menikmati keuntungan.

Pada intinya “sustainable development” menuntut sikap yang setara atas tiga pilar bersama-sama dalam satu hubungan: masyarakat, ekonomi dan lingkungan hidup, di setiap konteks.
Kesadaran akan kompleksitas hubungan dan saling taut di antara ketiga pilar itu selanjutnya menuntut beberapa upaya, yang sifatnya konstan, terus menerus. Tidak peduli akan siklus masa bakti atau pergantian pemerintahan atau liputan media, perhatian bersama harus terus berlanjut sehubungan dengan sustainable development.


Pada bulan Juni 1992, di Rio de Janeiro, wakli-wakil dari 179 negara mengikuti Konferensi PBB ttg Lingkungan Hidup dan Pembangunan, yang populer disebut Rio Earth Summit. Salah satu kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani adalah program tindakan yang disebut Agenda 21. Dokumen 900-halaman itu menguraikan langkah-langkah pertama menuju Sustainable Development lintas lokal, nasional dan tataran internasional sewaktu dunia bergerak menuju abad ke 21.

Para penandatangan berjanji akan melakukan tindakan dalam empat bidang:
• Dimensi Sosial dan Ekonomi, misalnya mengentaskan kemiskinan dan memajukan tata-kota yang menopang hidup berkelanjutan di masa depan;
• Konservasi dan Manajemen Sumberdaya, a.l. mengawal penangkapan ikan laut dan memerangi pembabatan hutan;
• Menguatkan peran kelompok-kelompok utama, misalnya kaum perempuan, pemerintah daerah, LSM/NGO, dan
• Cara-dan sarana Implementasi, misalnya transfer teknologi yang ramah lingkungan.