Sabtu, 30 Maret 2013

Pesanggem, Petani Penggarap Lahan Hutan





Hutan merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UUK, No.41 Tahun 1999, pasal satu). Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia memiliki kawasan hutan negara seluas 112,3 juta Ha, yang terdiri dari Hutan Produksi 64 juta Ha, Hutan Lindung 29,3 juta Ha dan Hutan Konservasi seluas 19 juta Ha.

Lahan hutan di Jawa menjadi sandaran hidup bagi sebagian warga masyarakat desa sekitar hutan yang menjadi petani pesanggem. Petani pesanggem adalah mereka yang menggarap sebagian lahan di kawasan hutan selepas tebang dengan ditanami padi gogo atau aneka jenis palawija terutama jagung dan ketela. Lahan pinggiran tegalan umumnya ditanami dengan tanaman lamtoro dan flamboyan sebagai pagar.

Agenda 21 Chapter 11 COMBATING DEFORESTATION



Berikut ini disampaikan Dokumen Agenda 21/1992 Bab 11 tentang Melawan Penggundulan Hutan. Karena sebagian besar tanah Indonesia terdiri dari hutan, bagian ini sangat penting untuk Indonesia. Di dalamnya dibahas soal usaha mempertahankan berbagai peran dan fungsi aneka ragam hutan; soal peningkatan usaha perlindungan, pelestarian dan penanaman hutan kembali; tentang pemanfaatan hutan dan menutup kembali bagian yang hilang; tentang perencanaan dan pengendalian usaha tata-kelola hutan termasuk perdagangan hasil hutan.

PROGRAMME AREAS
A. Sustaining the multiple roles and functions of all types of forests, forest lands and woodlands
Basis for action
11.1. There are major weaknesses in the policies, methods and mechanisms adopted to support and develop the multiple ecological, economic, social and cultural roles of trees, forests and forest lands. Many developed countries are confronted with the effects of air pollution and fire damage on their forests. More effective measures and approaches are often required at the national level to improve and harmonize policy formulation, planning and programming; legislative measures and instruments; development patterns; participation of the general public, especially women and indigenous people; involvement of youth; roles of the private sector, local organizations, non-governmental organizations and cooperatives; development of technical and multidisciplinary skills and quality of human resources; forestry extension and public education; research capability and support; administrative structures and mechanisms, including inter sectoral coordination, decentralization and responsibility and incentive systems; and dissemination of information and public relations. This is especially important to ensure a rational and holistic approach to the sustainable and environmentally sound development of forests. The need for securing the multiple roles of forests and forest lands through adequate and appropriate institutional strengthening has been repeatedly emphasized in many of the reports, decisions and recommendations of FAO, ITTO, UNEP, the World Bank, IUCN and other organizations.

Jumat, 29 Maret 2013

MomsPreneur, Tak Mau Kalah

Ketika istilah wirausaha (entrepreneur) bertambah marak, sudah muncul juga istilah intra-preneur, lalu, agro-preneur, lalu beauty-preneur, sekarang.... MomsPreneur.... istilah bagi ibu-ibu rumah tangga yang berbisnis dan berjaringan satu sama lain.....

Tempo.com membagikan sekelumit kisah mereka:
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/29/108470020/Komunitas-MomPreneur-Cetuskan-Semangat-Berbisnis

Musrenbang, Musyawarah Perencanaan Pembangunan



 
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sekarang jadi istilah populer dalam penyelenggaraan perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah, setelah keluarnya UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Musrenbang merupakan arena formal bagi para pemangku kepentingan dalam membahas prioritas kegiatan pembangunan di daerah, yang hasilnya akan menjadi bahan bagi penyusunan APBD.

UU No. 25/2004 tentang SPPN Pasal 1 ayat (21) menyatakan bahwa Musrenbang adalah forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah. Namun dalam pengalaman selama ini, pada pelaksanaannya, Musrenbang seringkali belum mencerminkan semangat musyawarah yang bersifat partisipatif dan dialogis. Musrenbang belum dapat menjadi ajang yang bersahabat bagi warga masyarakat terutama masyarakat miskin dan perempuan dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka. Suara mereka seringkali tersingkir pada saat penetapan prioritas program dan kegiatan pembangunan di daerah.

Kamis, 28 Maret 2013

Trenggiling


Polres Tanggamus pada suatu hari di bulan Agustus 2011 menggerebek sebuah rumah usaha di  Kelurahan Pajar Esuk, Kec. Pringsewu, Kabupaten Pringsewu, dan berhasil diamankan seorang tersangka berinisial WGN (33 th) yang bekerja mengolah trenggiling, Adapun pemilik usaha berinisial Fz sedang tidak ada di tempat dan menjadi dinyatakan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Barang bukti yang berhasil diamankan dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) antara lain 5 ekor trenggiling hidup, 306kg sisik trenggiling, 500kg daging trenggiling yang telah dikuliti, dan 331 bungkus organ bagian dalam/jeroan trenggiling yang bernilai Rp 3,7 miliar. Perbuatan tersangka WGN merupakan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a, b dan d Jo. Pasal 40 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Beberapa Dokumen Tentang Land Resources Planning and Management


Sehubungan dengan Agenda 21 Bab 10 tentang Integrated Planning and Management of Land Resources berikut beberapa bacaan yang mungkin bermanfaat, khususnya dalam kaitan dengan Indonesia:

http://agris.faoswalim.org/resources/Land/Land_resource_Mgt/pdfdocs/dse-ten.pdf

http://www.mpl.ird.fr/crea/taller-colombia/FAO/AGLL/pdfdocs/gtz-lup.pdf

http://wgbis.ces.iisc.ernet.in/energy/HC270799/LM/SUSLUP/KeySpeakers/ARais.pdf

http://www.iisd.org/pdf/2009/asia_background_landwater.pdf

http://www.un.org/esa/agenda21/natlinfo/countr/indonesa/natur.htm

Agenda 21 – Chapter 10 INTEGRATED APPROACH TO THE PLANNING AND MANAGEMENT OF LAND RESOURCES



Perencanaan dan Tata-kelola Sumberdaya Bumi
Berikut ini disampaikan Dokumen Agenda 21/1992 Bab 10 mengenai Perencanaan dan Tata-kelola Sumberdaya Bumi secara terpadu. Ini meliputi wilayah beserta tanah, mineral, air dan biota yang ada di dalamnya. Pembicaraan berkaitan dengan (a) aspek perencanaan  dan tatakelola dengan penerbitan kebijakan dan piranti penunjang kebijakan; penguatan sistem; penerapan metode dan alat tepat guna; peningkatan kesadaran publik dan partisipasi publik; (b) pengembangan data dan informasi mengenai sumberdaya bumi; (c) koordinasi dan kerjasama internasional dengan sistem regional sebagai basis; (d) pengujian temuan riset melalui proyek-proyek rintisan.


10.1. Land is normally defined as a physical entity in terms of its topography and spatial nature; a broader integrative view also includes natural resources: the soils, minerals, water and biota that the land comprises. These components are organized in ecosystems which provide a variety of services essential to the maintenance of the integrity of life-support systems and the productive capacity of the environment. Land resources are used in ways that take advantage of all these characteristics. Land is a finite resource, while the natural resources it supports can vary over time and according to management conditions and uses. Expanding human requirements and economic activities are placing ever increasing pressures on land resources, creating competition and conflicts and resulting in suboptimal use of both land and land resources. If, in the future, human requirements are to be met in a sustainable manner, it is now essential to resolve these conflicts and move towards more effective and efficient use of land and its natural resources. Integrated physical and land-use planning and management is an eminently practical way to achieve this. By examining all uses of land in an integrated manner, it makes it possible to minimize conflicts, to make the most efficient trade-offs and to link social and economic development with environmental protection and enhancement, thus helping to achieve the objectives of sustainable development. The essence of the integrated approach finds expression in the coordination of the sectoral planning and management activities concerned with the various aspects of land use and land resources.

Wirausaha Sosial, Apa itu?




Belakangan muncul wacana tentang “wirausaha sosial” dan menimbulkan tanda tanya, apa yang dimaksudkan dengan itu. Selama ini istilah wirausaha (entrepreneur) dikaitkan dengan bisnis. Biasanya berkenaan dengan usaha ekonomis yang mandiri. Peran wirausaha digambarkan sebagai orang yang secara kreatif dan mandiri dapat mengatasi masalah ekonomis tertentu dengan maksud untuk mendapat keuntungan pribadi. Entah dengan memproduksi barang atau jasa, entah sebagai penyalur barang atau jasa. Kreativitas menjadi kekuatan pokoknya. Tetapi ketika perusahaan-perusahaan mengalami kebuntuan usaha, manajemen perusahaan juga berusaha menumbuhkan kreativitas dari dalam perusahaannya. Maka digalakkanlah timbulnya semacam wirausaha, namun bukan orang yang mandiri, melainkan para staf yang ada di dalam  perusahaan dan tergantung pada perusahaan. Mereka diharapkan seperti para wirausaha (entrepreneur) di luar sana, dapat menghasilkan ide-ide kreatif, inovasi-inovasi cemerlang, yang dapat mengantar perusahaan melakukan terobosan atau “breakthrough” dalam prestasi ekonomis mereka yang stagnan. Jenis “wirausaha internal perusahaan” ini disebut “intrapreneur”.

Wirausaha digambarkan mempunyai cara berpikir yang tidak biasa, “out of the box”, wawasan dan cara memandang yang berbeda. Karena itu lalu mempunyai penjelasan yang lain, berupa gagasan baru, untuk memecahkan masalah yang biasa. Kendati wawasan dan gagasannya tidak diterima umum (karena tidak lazim), namun ia berani menanggung risiko secara pribadi, dan berusaha keras untuk mewujudnyatakan gagasan barunya itu. Maka wirausaha (entrepreneur) berbeda dengan “intrapreneur” perusahaan dalam soal menanggung risiko. Sebab intrapreneur melaksanakan ide-idenya hanya setelah pihak perusahaannya bersedia menanggung risiko bisnisnya. Intrapreneur tidak menanggung risiko kegagalan gagasan bisnisnya secara pribadi.


Bagaimana dengan Wirausaha Sosial?

Rabu, 27 Maret 2013

Beras Analog



Diversifikasi Pangan


Tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia pada 2011 tercatat mencapai 102 kilogram per kapita per tahun. Merupakan angka konsumsi beras paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Rata-rata konsumsi beras dunia hanya 60 kilogram per kapita per tahun. Jika kecenderungan kenaikannya dibiarkan saja, maka akan membahayakan ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu diusahakan inovasi produk pengganti, salah satunya adalah beras analog, yang diharapkan mampu memberi kontribusi dalam mengatasi ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Subsidi BBM dan Biaya Gaji PNS Menyandera APBN



Negara Terus Utang demi PNS dan BBM?


Dalam APBN 2013, kuota BBM subsidi ditetapkan sebesar 46,01 juta KL dengan rincian Premium 29,20 Juta KL, Solar 15,11 juta KL dan Minyak Tanah 1,7 juta KL.. Namun situasi menunjukkan konsumsi BBM semakin meningkat. Jika tidak dilakukan berbagai upaya untuk mengerem konsumsi BBM subsidi, maka konsumsi Premium tahun ini akan melebihi kuota sebesar 3-3,5 juta KL atau sekitar 32,7 juta KL. Sedangkan konsumsi Solar diperkirakan akan melebihi kuota sebesar 2 juta KL atau mencapai 17,11 juta KL.

Seperti diketahui, nilai subsidi BBM pada 2013 ditetapkan sebesar Rp 193 triliun. Jika tidak dilakukan berbagai upaya maka diperkirakan dana subsidi BBM tahun ini akan mencapai lebih dari Rp 200 triliun.

Selasa, 26 Maret 2013

Pola tanam padi SRI dan Pelatihan




SRI dikembangkan di Madagaskar oleh Fr Henri de Laulanie SJ, yang antara tahun 1961 dan 1995 bekerja bersama para petani Malagasi dan rekan-rekannya untuk memajukan peluang bagi peningkatan produksi padi di negeri itu. Ia menginginkan rakyat Malagasi hidup lebih bahagia dan lebih sejahtera. Sekarang hasil jerih payahnya dipelajari dan dikaji para ilmuwan di pelbagai negara (pada tahun 2012, tercatat sudah sekitar 50 negara menerapkan SRI, termasuk Indonesia).

Salah seorang petani angkatan pertama yang menerapkan SRI dan menjadi terkenal adalah Honore Randrianarasana yang menggunakan metode SRI pada musim tanam 1994/1995 di lahan seluas seperempat hektar. Ia mendapatkan hasil panen pertama 9,5 ton/hektar.

Coup d'etat (Kudeta) 25 Maret 2013?




Catatan Bambang Kussriyanto
Tempo hari santer beredar isu bahwa akan terjadi kudeta tanggal 25 Maret 2013. Seperti isu tentang demo-demo, lalu bertiuplah berita itu dan menjadi percakapan di berbagai mailing list. Sebagian dengan cemas mencari justifikasi, apa yang menjadi dasar-dasar kudeta. Karena mereka mencemaskan situasi pasca kudeta. Sebagian lagi sekedar iseng barangkali mau jadi penggembira baik dalam penyebaran isu kudeta, maupun kalau sungguh terjadi kudeta.

Teman-teman SEMAI ternyata banyak yang lupa, bahwa Kudeta berasal antara lain mengandung unsur "coup". Dalam bahasa Perancis, "coup" adalah pukulan mendadak. Dilontarkan ketika yang dipukul terlena, atau tidak pada posisi yang baik, sehingga dapat dipukul dalam arti lalu sempoyongan meninggalkan posisi terbaiknya. Atau dilengser dari kedudukannya secara tiba-tiba. Maka kudeta akan selalu merupakan agenda rahasia. Prinsip utama kudeta adalah pukulan kejutan, sama seperti prinsip gerilya.

Senin, 25 Maret 2013

Warung Burjo Jogja



Di Twitter baru saja (25 Maret 2013 pkl 19.17) terdapat ocehan:

: byk warung burjo yg krisis identitas (ga jualan burjo lagi). Sering kecele ndaaa...

Belakangan juga santer ditawarkan melalui internet mbah Gugle, warung burjo strategis mau dijual, dioperkan, dipindahtangankan. 
Ada apa, ya?
Twitter menyebut-nyebut "krisis identitas" dengan keterangan "nggak jualan burjo lagi". 
Pada hal pelanggan masih mencari burjo, dan "sering kecele!"

Agenda 21 – Chapter 9 PROTECTION OF THE ATMOSPHERE



 Berikut disampaikan dokumen Agenda 21/1992 Bab 9 tentang Memelihara Atmosfer. Dalam bagian dokumen ini diuraikan riwayat upaya, dasar ilmiah pengambilan keputusan, memajukan pembangunan berkelanjutan di bidang energy; transportasi; industry; sumberdaya darat dan laut serta tata-guna tanah; menangkal kerusakan ozone stratosfer dan memecahkan masalah polusi lintas batas nasional.


INTRODUCTION
9.1. Protection of the atmosphere is a broad and multidimensional endeavour involving various sectors of economic activity. The options and measures described in the present chapter are recommended for consideration and, as appropriate, implementation by Governments and other bodies in their efforts to protect the atmosphere.

9.2. It is recognized that many of the issues discussed in this chapter are also addressed in such international agreements as the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer, the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer as amended, the 1992 United Nations Framework Convention on Climate Change and other international, including regional, instruments. In the case of activities covered by such agreements, it is understood that the recommendations contained in this chapter do not oblige any Government to take measures which exceed the provisions of these legal instruments. However, within the framework of this chapter, Governments are free to carry out additional measures which are consistent with those legal instruments.

Minggu, 24 Maret 2013

Kompetensi Dasar Petani Wirausaha PELATIHAN TEKNIK BERPIKIR ASOSIATIF, INOVATIF DAN KREATIF



 Mengubah Persoalan Menjadi Peluang

Salah satu kompetensi dasar yang diperlukan para petani untuk menjadi wirausahawan adalah ketrampilan berpikir asosiatif dan inovatif. Berpikir asosiatif berarti menggabungkan dua barang yang berbeda misalnya cabai dan singkong, menjadi satu produk yang mengandung keduanya (keripik pedas). Berpikir inovatif berarti membarui produk lama yang ada dengan menambahkan fitur-fitur, unsur-unsur baru, spesifikasi baru, atau menciptakan suatu produk yang sama sekali baru. Baik berpikir asosiatif maupun inovatif merupakan bagian dari kreativitas untuk mengubah persoalan (suplai cabe atau singkong melimpah, harganya murah, terancam rusak) menjadi peluang (menambah nilai produk, membuka pasar yang lain: dari segmen pasar bahan mentah ke segmen pasar pangan olahan, menambah penghasilan).

Perlunya Peningkatan Entrepreneurship Pertanian Secara Cerdas



Menterjemahkan Situasi Global Menjadi Langkah Lokal

Situasi pasar pertanian mengalami perbahan besar. Pertama-tama karena dorongan pertumbuhan penduduk. Penduduk dunia diperkirakan akan meningkat dari 6.5 milyar saat ini menjadi 9.1 milyar pada tahun 2050 dan pertambahan penduduk yang terbesar di kawasan yang kurang berkembang. Karenanya, permintaan global akan pangan akan meningkat dramatis sebesar 75%. Dorongan kedua adalah perubahan pola permintaan. Pertumbuhan penduduk dipandang sama dengan pertumbuhan kota-kota. Itu artinya pada 2050 penduduk kota yang berkembang cepat akan memerlukan suplai pangan yang lebih bermutu dan lebih beragam, khususnya segmen pangan olahan. Pola makan baru menuntut konsumsi lebih banyak kalori, lemak dan protein. Suatu faktor yang terkait adalah maraknya investasi dalam sektor pertanian, terutama berkaitan dengan jasa pengolahan, rantai pengecer dan jasa boga (warung dan restoran). Secara umum ini disebut “gelombang supermarket” (=mart) yang besar dampaknya pada sistem penyaluran bahan pangan dalam negeri. Perubahan ini menuntut mutu pangan yang lebih tinggi, namun juga membuka peluang untuk para petani kecil.


Sabtu, 23 Maret 2013

Bappenas Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup



Sekedar Masukan

Deputi: Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc.
Ketua Bppenas dalam pelantikan deputi ini berpesan agar lebih memberikan perhatian pada kebijakan dan program yang terkait dengan ketahanan pangan, ketahanan energi, dan perubahan iklim.

Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada bidang terkait.
Yaitu melaksanakan perumusan kebijakan dan pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Bappenas, Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil Menengah

Sekedar Masukan


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, disingkat Bappenas, adalah lembaga pemerintah non-kementerian Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin dalam struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional, serta komposisi sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi bidang-bidang tertentu. Salah satu deputi adalah Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah sebagai unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam bidang terkait.




Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah bertugas melaksanakan perumusan kebijakan dan pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang penanggulangan kemiskinan, tenaga kerja, dan pengembangan kesempatan kerja, pemberdayaan koperasi, dan usaha kecil menengah, serta perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

Jumat, 22 Maret 2013

AGENDA 21 Chapter 2 SOCIAL AND ECONOMIC DIMENSIONS



International Cooperation To Accelerate Sustainable Development In Developing Countries & Related Domestic Policies

[Berikut adalah kutipan dari Dokumen Agenda 21 1992 yang dimaksudkan sebagai bahan dokumentasi. Sebab bahan-bahan awal telah mengalami koreksi, perbaikan dan pengembangan setelah 10 tahun (2002), dan setelah dua puluh tahun (2012). Bagian I seluruhnya (Bab 2-8) menyangkut Dimensi  Sosial dan Ekonomis, dan khusus Bab 2 ini mengenai Hubungan Internasional untuk percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Negara-negara Sedang Berkembang dan Kebijakan Nasional yang Terkait. Antara lain mengenai Perdagangan Internasional, Penyelarasan Kebijakan Lingkungan dan Perdagangan, Bantuan Keuangan untuk Negara Sedang berkembang, serta pengembangan Kebijakan Ekonomi yang Kodusif untuk Pembangunan Berkelanjutan].


Introduction
2.1. In order to meet the challenges of environment and development, States have decided to establish a new global partnership. This partnership commits all States to engage in a continuous and constructive dialogue, inspired by the need to achieve a more efficient and equitable world economy, keeping in view the increasing interdependence of the community of nations and that sustainable development should become a priority item on the agenda of the international community. It is recognized that, for the success of this new partnership, it is important to overcome confrontation and to foster a climate of genuine cooperation and solidarity. It is equally important to strengthen national and international policies and multinational cooperation to adapt to the new realities.

Pelatihan Penyusunan Laporan Keuangan Lembaga Nirlaba

Menurut SAK ETAP dan PSAK 45 (Revisi 2011)

 

Latar Belakang:
Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan International Financial Reporting Standards (IFRS) pada tahun 2012. IFRS merupakan standar laporan keuangan internasional dan diterapkan di 122 negara. Standar ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengadopsi IFRS menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan – Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (PSAK – ETAP) yang efektif mulai berlaku pada tahun 2011. Yang dimaksud dengan ETAP atau Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik adalah semua entitas (lembaga) yang tidak mendaftarkan diri pada Bursa Saham. PSAK ETAP merupakan kerangka dasar yang berlaku umum, namun untuk lembaga-lembaga atau entitas nirlaba (Rumah Sakit, Sekolah/Perguruan Tinggi, LSM, Yayasan, Perkumpulan dll) laporan keuangannya perlu disusun secara khusus menurut PSAK 45 (Revisi 2011) yaitu edisi terakhir yang berlaku sejak 2012.

Pelatihan Penyusunan Laporan Keuangan Lembaga Nirlaba
Menurut SAK ETAP dan PSAK 45 (Revisi 2011)
Untuk mengembangkan wawasan dan kapasitas dalam hal akuntansi dan pelaporan keuangan sesuai perkembangan mutakhir, Lembaga SEMAI menyelenggarakan Pelatihan Penyusunan Laporan Keuangan Lembaga Nirlaba Menurut SAK ETAP dan PSAK 45 (Revisi 2011) baik secara reguler di kantor SEMAI maupun di tempat lembaga mitra sebagai suatu in-house training.

Pelatihan ini ditujukan kepada lembaga-lembaga atau entitas nirlaba (Rumah Sakit, Sekolah/Perguruan Tinggi, LSM, Yayasan, Perkumpulan dll)

Laporan Keuangan NGO/LSM Menurut PSAK (Revisi 2011)


Tulisan berikut bersumber dari KAP Drs. J. Tanzil dan Rekan


Sebagai bagian dari proses konvergensi IFRS maka Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI) telah mengesahkan dan menerbitkan PSAK (revisi 2011) : Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba yang berlaku efektif 1 Januari 2012 dengan diperkenankannya penerapan dini.

Karakteristik entitas nirlaba berbeda dengan entitas bisnis.
Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara entitas nirlaba memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Entitas nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari entitas nirlaba tersebut.

Selintas Pandang Perkembangan Pengeluaran Bantuan Sosial (Social Assistance)

Dalam Anggaran Program dan Implementasi Pengentasan Kemiskinan


[Narasi gambaran berikut dipetik dari hasil pengamatan SMERU dan Kantor Bank Dunia Jakarta, Indonesia]

Social Assistance (SA) are here defined as noncontributory cash or in-kind transfer programs targeted in some manner to the poor or vulnerable. Indonesia does not have a SA sector per se, but the Government of Indonesia (GOI) articulates its poverty alleviation strategy around three “clusters” (where households, communities, and micro-enterprises are targeted); the first pillar (households) is roughly equivalent to the definition of SA used in this report. No official budget category meets either the SA definition used here or the defi nition of the GOI’s first poverty reduction cluster. Economic classifications in Indonesia’s budget expenditures include a “social assistance“ category which is used broadly and includes a wide array of social spending in areas such as education, health, agriculture, industry and disaster relief. Functional classifications of Indonesia’s budget expenditures include a “social protection” category which is used narrowly and consists mainly of initiatives at Kemensos (Kementerian Sosial, Ministry of Social Affairs).

Program Bantuan Operasional Sekolah





Program Bantuan Operasional Sekolah atau BOS belakangan dimaksudkan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama Pasal 34 Ayat (2) yang didukung  Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Pada mulanya, program BOS tidak diarahkan didasarkan Pasal 34 UU SPN 2003 tersebut, namun janji Pemerintah untuk ”tidak memungut biaya” kemudian mengalihkan arah kesana pada Tahun Anggaran 2009. Kini BOS memasuki tahun ke delapan. Dan sudah banyak upaya perbaikan dilakukan atas sistem penyelenggaraan program ini.

Kamis, 21 Maret 2013

Penanggulangan Kemiskinan



 
 
Krisis Ekonomi tahun 1998 merupakan hantaman besar pada perekonomian nasional. Angka kemiskinan masyarakat naik menjadi 49,50 Juta atau 24,23 % dari jumlah penduduk Indonesia, dari 34,01 Juta (17,47 %) pada tahun 1996. Sehubungan dengan itu, pemerintah menetapkan penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas kerja. Pelaksanaan program penanggulanan kemiskinan dilakukan sejak tahun 1998 dan secara umum mampu  menurunkan angka kemiskinan Indonesia dari 47,97 Juta atau 23,43 % tahun 1999 menjadi 30,02 Juta atau  12,49 % pada tahun 2011. Berdasarkan data Worldfactbook, BPS dan World Bank, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat dibanding negara lain di dunia. Dari 2005 sampai 2009, Indonesia mampu menurunkan jumlah penduduk miskin rata-rata 0,8% per tahun, jauh lebih tinggi dibanding Kampuchea, Thailand, China, dan Brasil yang berada di kisaran 0,1% per tahun. Sampai dengan Maret 2012, tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 11.96 persen (29.13 juta jiwa). Diharapkan tingkat kemiskinan nasional akan dapat diturunkan lagi pada kisaran 9,5-10,5 persen pada akhir 2013.

Penduduk miskin di Indonesia tersebar tidak merata. Jumlah terbesar (57,8%) berada di pulau Jawa. Lalu 21% di Sumatera; 7,5% di Sulawesi; 6,2% di Nusa Tenggara; 4,2% di Maluku dan Papua, dan angka terkecil (3,4%) tersebar di Kalimantan. Angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan karena tingginya inflasi yang dirasakan masyarakat miskin. Kondisi global yang berimbas pada situasi nasional, mendorong kenaikan harga-harga, terutama kenaikan bahan-bahan kebutuhan pokok. Tingkat pengeluaran rumahtangga miskin untuk bahan pokok sungguh rentan terhadap kenaikan harga pangan.

Hal itu tampak dari meningkatnya indeks keparahan kemiskinan, terutama di wilayah pedesaan yang meningkat hampir dua kali lipat selama tahun 2012. Badan Pusat Statistik mencatat, indeks keparahan pada Maret 2012 sebesar 0,36. Tetapi pada September 2012 indeks itu naik menjadi 0,61. Kenaikan indeks ini menunjukkan dua hal, yaitu melebarnya kesenjangan antar penduduk miskin dan juga semakin rendahnya daya beli masyarakat miskin karena mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup sampai garis kemiskinan Rp 259.520 per bulan. Ini diakibatkan karena tingkat inflasi wilayah pedesaan 5,08% sementara inflasi nasional 4,3% dalam tahun 2012.


Pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan terpadu, meliputi program yang berbasis bantuan sosial, program yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan program yang berbasis pemberdayaan usaha kecil, baik di pusat maupun di daerah. Presiden juga telah mengeluarkan Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga antara 8 % dan 10 % pada akhir tahun 2014.

AGENDA 21 BAB 3 MEMERANGI KEMISKINAN

[Untuk dokumentasi awal mengenai Pembangunan Berkelanjutan, berikut disampaikan potongan dari Agenda 21 - 1992 Bab 3 mengenai Pengentasan Kemiskinan dengan memberdayakan orang miskin untuk memeroleh matapencarian dan membuat rencana nasional terpadu]




Combating Poverty
Programme Area
Enabling the poor to achieve sustainable livelihoods

Basis for action
3.1. Poverty is a complex multidimensional problem with origins in both the national and international domains. No uniform solution can be found for global application. Rather, country-specific programmes to tackle poverty and international efforts supporting national efforts, as well as the parallel process of creating a supportive international environment, are crucial for a solution to this problem. The eradication of poverty and hunger, greater equity in income distribution and human resource development remain major challenges everywhere. The struggle against poverty is the shared responsibility of all countries.

Program Pembaruan Agraria Nasional (1)

[Dua masa bakti pemerintahan berlalu, Reforma Agraria yang dicanangkan seolah berjalan di tempat pada pendataan tanah, pada hal masih banyak yang harus dikerjakan. Tulisan ini diangkat kembali dari arsip tahun 2006 untuk mengingatkan kembali kepada wakil rakyat lama, dan juga nanti yang baru berkaitan dengan Pemilu 2014, akan tuntasnya Reforma Agraria yang diharapkan rakyat banyak]



Pemerintah baru-baru ini mewacanakan kepada mayarakat hendak melaksanakan Pembaruan Agraria. Rencana pemerintah ini sangat penting, sebab agenda Pembaruan Agraria adalah agenda bangsa yang sampai saat ini belum terlaksana.

Oleh sebab itu, kami dari berbagai Organisasi Petani, Masyarakat Adat dan NGO merasa penting menyampaikan posisi dan pandangan kami yang terangkum dalam pandangan sebagai berikut: Pembaruan Agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah mestilah dibawah kerangka hukum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Kerangka hukum ini tentu saja harus diikuti dengan itikad untuk memegang teguh lima prinsip dasar melatar belakangi kelahiran UUPA yaitu: 1. Pembaruan hukum agraria kolonial menuju hukum agraria nasional yang menjamin kepastian hukum, Penghapusan hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia, Mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah, Sebagai Wujud implementasi atas pasal 33 UUD 1945.

Program Pembaruan Agraria (2)





LANGKAH-LANGKAH
Untuk menjalankan Pembaruan Agraria maka diperlukan sebuah badan pelaksana atau komite yang bertugas menjalankan Pembaruan Agraria. Komite tersebut adalah sebuah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). KNPA ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas utamanya adalah untuk: (i) Merumuskan strategi dan tata cara pelaksanaan pembaruan agraria; (ii) Mengkordinasikan departemen-departemen terkait dan badan-badan pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan pembaruan agraria; (iii) Melaksanakan penataan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya; dan (iv) Menangani konflik-konflik agraria, baik warisan masa lalu, maupun konflik-konflik agraria yang mungkin muncul akibat pelaksanaan pembaruan agraria.

Rabu, 20 Maret 2013

Peran Dewan Pembina Dalam Peranggaran NGO/LSM





Dewan Pembina mempunyai peran yang sangat strategis di dalam NGO/LSM. Biasanya merekalah yang mengendalikan tata-kelola NGO/LSM dengan berpegang pada mandat, cita-cita dan tata nilai yang dihayati oleh NGO/LSM yang mereka kawal. Maka walaupun pelaksanaan peran mereka bergantung pada ketersediaan waktu (karena umumnya para anggota Dewan Pembina adalah orang-orang sibuk) dan komitmen mereka masing-masing bagi keberhasilan NGO/LSM namun pada umumnya mereka ikut terlibat dan berpartisipasi secara penuh dalam proses perencanaan strategi, dan kemudian dalam penganggaran, memeriksa draft anggaran dan kemudian memberikan persetujuan final. Sebagian yang lain lebih memercayakan kegiatan peranggaran pada manajemen NGO/LSM.

Bagaimana pun pola peran serta anggota Dewan Pembina, tetap saja mereka mengemban tanggung jawab bersama-sama untuk memastikan tercapainya kesesuaian antara anggaran dengan kebijakan dan aturan-aturan yang berlaku. Tanggung jawab ini pada akhirnya menuntut Dewan Pembina untuk:

Selasa, 19 Maret 2013

Pertanian Organik lebih Murah daripada Metoda Konvensional


Kiriman Kang Topo, Jawa Timur



Keluhan yang sering terdengar dari teman-teman petani adalah produktivitas panen turun karena biaya yang dikeluarkan semakin banyak, sedang penghasilan menurun. Kenaikan biaya umumnya terkait penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia yang semakin mahal harganya. Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia pada mulanya memang meningkatkan hasil panen petani. Lalu para petani menjadi terbiasa serba mudah menyiasati kondisi alam dengan bantuan zat-zat kimia. Bahkan menjadi tergantung pada pupuk dan pestisida kimia.

Yang kurang disadari adalah bahwa penggunaan zat kimia ibarat candu bagi kondisi tanah. Tanah makin ketagihan, semakin lama membutuhkan zat kimia semakin banyak. Jika mulanya pemberian dosis 1x bisa  mendapatkan hasil panen 2x, setelah beberapa tahun berlalu tanah memerlukan asupan dosis 2x untuk mendapatkan hasil panen 2x. Zat kimia merusak struktur tanah. Tanah menjadi sakit. Sebab dengan penggunaan zat kimia mikroorganisme yang hidup dalam tanah dan sebenarnya membantu mempertahankan keseimbangan struktur tanah secara alami, menjadi mati atau sangat banyak berkurang.

Senin, 18 Maret 2013

8 ALASAN MENANAM KENTANG




Tentu kita kenal kentang. Kentang (Solanum tuberosum L.) tanaman suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan, dan disebut "kentang" pula. Umbi kentang sekarang telah menjadi salah satu makanan pokok penting. Untuk daerah yang tropis seperti Indonesia, kentang cocok ditanam di dataran tinggi yang mempunyai iklim yang sejuk. Tanaman kentang bersifat menjalar, batangnya berbentuk segiempat yang panjangnya sekitar 50 – 120 cm dan tidak berkayu. Batang dan daun dari kentang berwarna hijau kemerah-merahan atau berwarna ungu.

Menanam kentang adalah ideal untuk usaha ketahanan pangan keluarga. Ada delapan alasan yang dapat diajukan: 

Alasan #1: Mudah tumbuh
Kentang mudah ditanam atau dipanen. Suatu lahan kentang keluarga memerlukan tenaga kerja minimal untuk tanam, pemeliharaan maupun panen. Jika panen tinggal cabut – bersihkan dari tanah – simpan – atau memasaknya. 

Sabtu, 16 Maret 2013

Sampah Organik Untuk Kompos, Pupuk Alami

Dalam rangka penerapan pertanian organik, komunitas dampingan SEMAI/Cindelaras berusaha mengolah sampah pertanian/kebun/dapur menjadi kompos sejak 2006. Komunitas "Balak Gumregah" dari Cawas Klaten, menjadi perintisnya. Mereka menghadapi persoalan tanah pertanian yang semakin "bantat" (keras dan kenyal) dan kebutuhan akan pupuk kimiawi yang makin mahal. Mereka mencari solusi penggemburan kembali tanah dan penyediaan pupuk secara organik. Maka mereka mengembangkan pemanfaatan limbah organik menjadi kompos.

Kompos merupakan hasil fermentasi bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, sayuran, buah-buahan, limbah organik, kotoran hewan ternak, dan bahan-bahan lainya.
Kompos dapat digunakan sebagai pupuk alami dan pengembali zat hara tanah yang mungkin hilang disaat panen dan akibat erosi.
Berikut ini adalah proses pembuatan kompos dengan menggunakan cara yang praktis dan sederhana:



Catatan Penting

Biogas

Biogas adalah hasilk dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme yang dilangsungkan pada kondisi nyaris tanpa oksigen (anaerob). Komponen biogas antara lain sebagai berikut : ± 60 % CH4 (metana), ± 38 % CO2 (karbon dioksida) dan ± 2 % N2, O2, H2, & H2S. Biogas dapat dibakar seperti elpiji. Dalam skala besar biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Sumber bahan utama energi Biogas antara lain kotoran manusia yang terkumpul massal (misalnya di asrama-asrama), ternak sapi, kerbau, babi dan kuda. Dari segi bahan, dari data statistik 2009 dengan komposisi potensi 13 juta sapi ternak dan perah, serta 28 juta kambing, domba dan kerbau tampak bahwa Indonesia memiliki potensi biogas yang besar.


Karena bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, beberapa komunitas teman-teman dampingan  SEMAI/Cindelaras Paritrana yang mengelola kandang sapi bersama berusaha mengembangkan biogas skala kecil menggunakan kotoran sapi sebagai bahan dasar, antara lain  komunitas "Forum Lorejo" (2003), komunitas "Gayuh Rahayu" (2007), dan komunitas "Ngudi Mulyo" Pagergunung (2007). Dengan biaya yang relatif murah, SEMAI dapat menghimpun teman-teman komunitas dampingan yang telah berpengalaman membuat instalasi biogas dengan bahan dasar kotoran, untuk membuatkan instalasi dan melatih cara pengoperasiannya pada lembaga-lembaga seperti asrama-asrama, gedung-gedung pertemuan, apartemen, gedung bertingkat, yang mengumpulkan kotoran manusia dalam skala relatif besar.










Mengoptimalkan pengembangan biogas tidak mudah. Banyak tantangan yang menghadang kelancaran produksi energi yang berasal dari kotoran manusia dan hewan ternak. Selain mungkin mahalnya investasi awal biogas (sebab  dalam proses biogas terdapat fermentasi anaerob, sehingga dibutuhkan digester yang anaerob, dibanding membeli tabung gas elpiji saja yang relatif mudah), belum ada kebijakan-kebijakan insentif bagi masyarakat yang ingin mengembangkan biogas, masyarakat juga masih belum merasa pas  menggunakan energi yang berasal dari kotoran.

Gambaran Biofuel Indonesia



Pada tahun 2011 tercatat produksi domestik sebesar 18,34 juta kilo liter. Padahal kebutuhan dalam negeri mencapai 21,2 juta kilo liter. Ini adalah sekedar gambaran defisit solar yang mau tidak mau memicu impor solar. Guna menekan laju impor solar di masa selanjutnya, sebaiknya Pertamina bisa meningkatkan produksi biodiesel dalam negeri. Memang ada ambisi besar di kalangan pemerintah dan Pertamina untuk terus mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) seperti biodiesel dan bioetanol. Direktur Pengolahan Pertamina berusaha mewujudkan aspirasi pemerintah yang telah mencanangkan penggunaan biodiesel sebesar 10%, 15%, dan 20% dari konsumsi total minyak diesel tahun 2010, 2015, dan 2020. Nilai tersebut  setara dengan 2,41 juta kiloliter biodiesel tahun 2010, 4,52 juta kiloliter biodiesel tahun 2015 serta 10,22 juta kiloliter biodiesel di tahun 2020. Sasaran itu merupakan pengembangan dari Peraturan Presiden No. 5/ 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menyebutkan kuota bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel pada tahun 2011-2015 sebesar 3 persen dari konsumsi energi nasional atau setara dengan 1,5 juta kilo liter. 

Memang ada banyak perusahaan yang telah menanamkan modal untuk menunjang pengadaan bahan biofuel di Indonesia. Investasi yang digelar sejak 2006 ini masih tahap awal berupa lahan perkebunan, mungkin sudah tanam, namun belum melangkah ke tahap ekstraksi dan distilasi untuk produksi biofuel.

Kenyataan sekarang adalah tingkat produksi biofuel di Indonesia kurang 820 ribu kilo liter dari target ketersediaan 1,5 juta kilo liter. Sedangkan kemampuan produksi biodiesel dalam negeri baru mencapai 680 ribu kilo liter per tahun. Jelas produksi biodiesel di Indonesia masih belum cukup. Dengan bahan baku melimpah, mulai dari tetes tebu, singkong, jagung, sorgum, nanas, nira aren, hingga minyak sawit, proses pengolahan bioethanol tidak terlalu sulit. Rencana produksi bio-ethanol hingga 2010 cukup ambisius.


Etanol, disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan alat sederhan dan mesin yang bisa diperoleh dengan mudah lewat pemasok atau internet, petani sudah bisa memperoleh ethanol kadar 90 persen. Pertamina memerlukan kadar 99,9% untuk produksi bioethanol.Ethanol 99,8% – 99,9% adalah kadar tertinggi dengan proses distilasi (penyulingan) sempurna yang  menghasilkan ethanol tanpa kadar air sama sekali. Ini kadar yang paling ideal untuk bahan bakar, karena unsur air akan menimbulkan karat (korosi) pada mesin kendaraan. Persoalan yang timbul adalah bahwa ketika rakyat menyediakan bahan berlimpah untuk produksi biofuel, biodiesel dan bioethanol, mata rantai terputus, tidak ada pengumpul yang menerima produk mereka off-farm, sehingga terbengkelai dan menimbulkan rugi besar. Daya tampung Pertamina masih terbatas.


Diduga, bahan utama bio-nabati yang sementara ini diserap adalah minyak sawit (CPO). Sampai tahap proses tertentu, pengolahan bahan bio-diesel CPO dapat ditangani oleh pabrik-pabrik CPO sendiri.

Jumat, 15 Maret 2013

Agenda 21 Chapter 4 Changing Consumption Patterns



Dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) disadari perlunya perubahan sikap konsumsi yang tidak sustainable, mulai dari konsumsi perorangan, rumahtangga hingga negara. Agenda 21 pada tahun 1992 dalam Bab 4 mengajak kita memikirkan pola konsumsi kita dan melakukan perubahan yang sesuai antara lain dalam hal konsumsi Energi, menekan konsumsi yang menghasilkan sampah, melakukan pendidikan belanja yang rasional, dan pemerintah diharapkan memberi contoh yang baik dalam praktek belanja-nya.

4.1. This chapter contains the following programme areas:
    (a)  Focusing on unsustainable patterns of production and consumption;
    (b)  Developing national policies and strategies to encourage changes in unsustainable consumption patterns.

4.2. Since the issue of changing consumption patterns is very broad, it is addressed in several parts of Agenda 21, notably those dealing with energy, transportation and wastes, and in the chapters on economic instruments and the transfer of technology. The present chapter should also be read in conjunction with chapter 5 (Demographic dynamics and sustainability).


PROGRAMME AREAS
A. Focusing on unsustainable patterns of production and consumption
Basis for action
4.3. Poverty and environmental degradation are closely interrelated. While poverty results in certain kinds of environmental stress, the major cause of the continued deterioration of the global environment is the unsustainable pattern of consumption and production, particularly in industrialized countries, which is a matter of grave concern, aggravating poverty and imbalances.

4.4. Measures to be undertaken at the international level for the protection and enhancement of the environment must take fully into account the current imbalances in the global patterns of consumption and production.

4.5. Special attention should be paid to the demand for natural resources generated by unsustainable consumption and to the efficient use of those resources consistent with the goal of minimizing depletion and reducing pollution. Although consumption patterns are very high in certain parts of the world, the basic consumer needs of a large section of humanity are not being met. This results in excessive demands and unsustainable lifestyles among the richer segments, which place immense stress on the environment. The poorer segments, meanwhile, are unable to meet food, health care, shelter and educational needs. Changing consumption patterns will require a multipronged strategy focusing on demand, meeting the basic needs of the poor, and reducing wastage and the use of finite resources in the production process.

4.6. Growing recognition of the importance of addressing consumption has also not yet been matched by an understanding of its implications. Some economists are questioning traditional concepts of economic growth and underlining the importance of pursuing economic objectives that take account of the full value of natural resource capital. More needs to be known about the role of consumption in relation to economic growth and population dynamics in order to formulate coherent international and national policies.

Objectives
4.7. Action is needed to meet the following broad objectives:
    (a)  To promote patterns of consumption and production that reduce environmental stress and will meet the basic needs of humanity;
    (b)  To develop a better understanding of the role of consumption and how to bring about more sustainable consumption patterns.

Activities
A) Management-related activities
    Adopting an international approach to achieving sustainable consumption patterns
4.8. In principle, countries should be guided by the following basic objectives in their efforts to address consumption and lifestyles in the context of environment and development:
    (a)  All countries should strive to promote sustainable consumption patterns;
    (b)  Developed countries should take the lead in achieving sustainable consumption patterns;

Developing countries should seek to achieve sustainable consumption patterns in their development process, guaranteeing the provision of basic needs for the poor, while avoiding those unsustainable patterns, particularly in industrialized countries, generally recognized as unduly hazardous to the environment, inefficient and wasteful, in their development processes. This requires enhanced technological and other assistance from industrialized countries.

4.9. In the follow-up of the implementation of Agenda 21 the review of progress made in achieving sustainable consumption patterns should be given high priority.

B) Data and information
    Undertaking research on consumption
4.10. In order to support this broad strategy, Governments, and/or private research and policy institutes, with the assistance of regional and international economic and environmental organizations, should make a concerted effort to:
    (a)  Expand or promote databases on production and consumption and develop methodologies for analysing them;
    (b)  Assess the relationship between production and consumption, environment, technological adaptation and innovation, economic growth and development, and demographic factors;
    (c)  Examine the impact of ongoing changes in the structure of modern industrial economies away from material-intensive economic growth;
    (d)  Consider how economies can grow and prosper while reducing the use of energy and materials and the production of harmful materials;
    (e)  Identify balanced patterns of consumption worldwide which the Earth can support in the long term.

    Developing new concepts of sustainable economic growth and prosperity
4.11. Consideration should also be given to the present concepts of economic growth and the need for new concepts of wealth and prosperity which allow higher standards of living through changed lifestyles and are less dependent on the Earth's finite resources and more in harmony with the Earth's carrying capacity. This should be reflected in the evolution of new systems of national accounts and other indicators of sustainable development.

C) International cooperation and coordination
4.12. While international review processes exist for examining economic, development and demographic factors, more attention needs to be paid to issues related to consumption and production patterns and sustainable lifestyles and environment.

4.13. In the follow-up of the implementation of Agenda 21, reviewing the role and impact of unsustainable production and consumption patterns and lifestyles and their relation to sustainable development should be given high priority.

D) Financing and cost evaluation
4.14. The Conference secretariat has estimated that implementation of this programme is not likely to require significant new financial resources.

B. Developing national policies and strategies to encourage changes in unsustainable consumption patterns
Basis for action
4.15. Achieving the goals of environmental quality and sustainable development will require efficiency in production and changes in consumption patterns in order to emphasize optimization of resource use and minimization of waste. In many instances, this will require reorientation of existing production and consumption patterns that have developed in industrial societies and are in turn emulated in much of the world.

4.16. Progress can be made by strengthening positive trends and directions that are emerging, as part of a process aimed at achieving significant changes in the consumption patterns of industries, Governments, households and individuals.

Objectives
4.17. In the years ahead, Governments, working with appropriate organizations, should strive to meet the following broad objectives:
    (a)  To promote efficiency in production processes and reduce wasteful consumption in the process of economic growth, taking into account the development needs of developing countries;
    (b)  To develop a domestic policy framework that will encourage a shift to more sustainable patterns of production and consumption;
    (c)  To reinforce both values that encourage sustainable production and consumption patterns and policies that encourage the transfer of environmentally sound technologies to developing countries.

Activities
A) Encouraging greater efficiency in the use of energy and resources
4.18. Reducing the amount of energy and materials used per unit in the production of goods and services can contribute both to the alleviation of environmental stress and to greater economic and industrial productivity and competitiveness. Governments, in cooperation with industry, should therefore intensify efforts to use energy and resources in an economically efficient and environmentally sound manner by:
    (a)  Encouraging the dissemination of existing environmentally sound technologies;
    (b)  Promoting research and development in environmentally sound technologies;
    (c)  Assisting developing countries to use these technologies efficiently and to develop technologies suited to their particular circumstances;
    (d)  Encouraging the environmentally sound use of new and renewable sources of energy;
    (e)  Encouraging the environmentally sound and sustainable use of renewable natural resources.


B) Minimizing the generation of wastes
4.19. At the same time, society needs to develop effective ways of dealing with the problem of disposing of mounting levels of waste products and materials. Governments, together with industry, households and the public, should make a concerted effort to reduce the generation of wastes and waste products by:
    (a)  Encouraging recycling in industrial processes and at the consumed level;
    (b)  Reducing wasteful packaging of products;
    (c)  Encouraging the introduction of more environmentally sound products.

C) Assisting individuals and households to make environmentally sound purchasing decisions
4.20. The recent emergence in many countries of a more environmentally conscious consumer public, combined with increased interest on the part of some industries in providing environmentally sound consumer products, is a significant development that should be encouraged. Governments and international organizations, together with the private sector, should develop criteria and methodologies for the assessment of environmental impacts and resource requirements throughout the full life cycle of products and processes. Results of those assessments should be transformed into clear indicators in order to inform consumers and decision makers.


4.21. Governments, in cooperation with industry and other relevant groups, should encourage expansion of environmental labelling and other environmentally related product information programmes designed to assist consumers to make informed choices.

4.22. They should also encourage the emergence of an informed consumer public and assist individuals and households to make environmentally informed choices by:
    (a)  Providing information on the consequences of consumption choices and behaviour so as to encourage demand for environmentally sound products and use of products;
    (b)  Making consumers aware of the health and environmental impact of products, through such means as consumer legislation and environmental labelling;
    (c)  Encouraging specific consumer-oriented programmes, such as recycling and deposit/refund systems.

D) Exercising leadership through government purchasing
4.23. Governments themselves also play a role in consumption, particularly in countries where the public sector plays a large role in the economy and can have a considerable influence on both corporate decisions and public perceptions. They should therefore review the purchasing policies of their agencies and departments so that they may improve, where possible, the environmental content of government procurement policies, without prejudice to international trade principles.

E) Moving towards environmentally sound pricing
4.24. Without the stimulus of prices and market signals that make clear to producers and consumers the environmental costs of the consumption of energy, materials and natural resources and the generation of wastes, significant changes in consumption and production patterns seem unlikely to occur in the near future.

4.25. Some progress has begun in the use of appropriate economic instruments to influence consumer behaviour. These instruments include environmental charges and taxes, deposit/refund systems, etc. This process should be encouraged in the light of country-specific conditions.


F) Reinforcing values that support sustainable consumption
4.26. Governments and private-sector organizations should promote more positive attitudes towards sustainable consumption through education, public awareness programmes and other means, such as positive advertising of products and services that utilize environmentally sound technologies or encourage sustainable production and consumption patterns. In the review of the implementation of Agenda 21, an assessment of the progress achieved in developing these national policies and strategies should be given due consideration.

Means of implementation
4.27. This programme is concerned primarily with changes in unsustainable patterns of consumption and production and values that encourage sustainable consumption patterns and lifestyles. It requires the combined efforts of Governments, consumers and producers. Particular attention should be paid to the significant role played by women and households as consumers and the potential impacts of their combined purchasing power on the economy.