Pembangunan pertanian sangat penting bagi Indonesia karena pertanian
merupakan cara hidup mayoritas penduduk. Sektor pertanian (di luar kehutanan)
memberikan kontribusi sebesar 15,75 persen dari GDP di tahun 2000 dan
menyediakan lapangan pekerjaan bagi 45 persen penduduk. Namun, kebijakan
pembangunan Indonesia lebih menekankan pada pembangunan industri, seperti terlihat
dari menurunnya alokasi anggaran. Alokasi anggaran pemerintah untuk pertanian
selama tahun 1969-1974 adalah sekitar 22,6 persen dari pengeluaran nasional,
tapi di tahun 1994/1995 alokasi anggaran hanya sebesar 11 persen, dan mencatat
rekor terendah 9,8 persen di tahun 1999/2000 (BPS, 2001).
Hal menonjol dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah program
Revolusi Hijau untuk padi (diperkenalkannya varietas unggul, pestisida dan
pupuk kimia serta irigasi), sehingga Indonesia mencapai swasembada beras di
tahun 1984. Namun keberhasilan ini terbukti tidak berlangsung lama ketika di
tahun 1990 Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras, dengan impor
sebanyak 3 juta ton di tahun 1998. Ditambah lagi, pertanian di Indonesia
didominasi oleh petani-petani kecil, dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,25 -
0,5 hektar per rumah tangga petani.
Hal ini menyulitkan petani-petani untuk bersaing dengan
perusahaan-perusahaan pertanian besar, dan pada kenyataannya rumah tangga
petani mendapatkan penghasilan terendah dibanding kelompok masyarakat lain di
Indonesia. Keprihatinan lain adalah cepatnya laju konversi lahan pertanian yang
subur (biasanya persawahan) yaitu sekitar 30.000 hektar per tahun (Kompas, 10 Oktober
2001; BPS, 2001).