Warung Burjo Jogja

Di Twitter baru saja (25 Maret 2013 pkl 19.17) terdapat ocehan:
Jogja Update ‏@JogjaUpdate 

#whyjogja @sibowbows: byk warung burjo yg krisis identitas (ga jualan burjo lagi). Sering kecele ndaaa...

Belakangan juga santer ditawarkan melalui internet mbah Gugle, warung burjo strategis mau dijual, dioperkan, dipindahtangankan. 

Ada apa, ya?
Twitter menyebut-nyebut "krisis identitas" dengan keterangan "nggak jualan burjo lagi". 

Pada hal pelanggan masih mencari burjo, dan "sering kecele!"

Sampai tahun lalu warung burjo di Jogja laris manis. Usaha itu diramaikan oleh para pedagang pendatang yang kebanyakan berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Ada sekitar 1500 pedagang burjo asal Kuningan, dan sekitar 500 lainnya dari Jawa Barat. Para pedagang pendatang ini mendesak eksistensi pedagang burjo asli Jogjakarta. Juga pedagang tradisional burjo dari kawasan Gunung Kidul. Mereka mencari tempat-tempat berdagang yang strategis, dan karena pendatang, umumnya mereka mengontrak tempat itu.

Mereka membuka warung hampir 24 jam, menyajikan menu utama bubur kajang ijo (=burjo), yang seporsi hanya Rp 2 ribu saja. Makanan ini disukai anak-anak pelajar, mahasiswa, yang keluar malam untuk cari pengisi perut yang hangat. Namun warung burjo juga melalukan diversifikasi sajian, termasuk nasi dengan bumbu dan lauk aneka ragam, dan minuman hangat. Harga nasinya relatif murah, per porsi sekitar Rp 5 ribu. Yang juga laris adalah aneka gorengan. Langganan banyak. Omset juga cukup. Umumnya bisa mendapatkan antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta sehari.

Sebagian pedagang mengaku kerepotan karena pemilik rumah/lahan mendesak-desak minta kenaikan uang sewa/kontrak. Setelah mereka tahu, warung burjo laris manis, mereka minta kenaikan sewa sangat tinggi. Sebagian lagi, biasa, pemilik lahan/rumah lalu merasa bisa jualan burjo sendiri, dan dengan alasan lahan/rumah mau dipakai sendiri, membatalkan sewa/kontrak, sehingga pedagang burjo pendatang terpaksa harus hengkang. Sebagian yang lain khawatir akan modus kejahatan yang sering menimpa teman-teman mereka. Karena buka malam hari, tak jarang sekitar pukul 01.00 dinihari mereka ketamuan pembeli, yang ternyata kemudian adalah perampok. Uang dagangan malam itu, sekitar Rp 600 ribu sampai Rp 900 ribu amblas dibawa pergi. Maka mungkin mereka itu ramai-ramai pergi meninggalkan Jogja.