Local
Leadership Training (LOLET) atau Pelatihan Pemimpin Setempat
merupakan metode pengembangan komunitas yang diterapkan Cindelaras
Paritrana. Dari kelompok-kelompok yang terbentuk perlu
dimunculkan sebagian orang yang dipercaya menjadi pimpinan dan
sekaligus menjadi penggerak lokal pada masing-masing kelompok. Karena
tuntutan sebagai dinamisator kelompok, para penggerak lokal ini
memerlukan pendidikan dengan porsi berbeda. Para penggerak lokal ini
terdiri dari: (1) para pemimpin lokal yang formal dan sadar atau
simpati; (2) para pemimpin lokal yang informal termasuk tokoh
panutan, etnis, agama, cendekiawan, dan pengusaha
lokal; dan (3) para petani militan, baik yang sudah
mendapatkan pendidikan PERPEC maupun yang belum. Di samping itu
respon terhadap PERPEC terimplementasi secara berbeda pada
masing-masing kelompok, namun mereka terikat pada roh gerakan yang
sama. Untuk itu didesain sebuah program yang dikhususkan bagi para
penggerak lokal ini, yakni LOLET.
Tahun
2004, tepatnya, 17-19 Desember 2004, bertempat di Puluhan, penggerak
lokal Lo-Rejo bersama dengan penggerak lokal dari delapan komunitas
lain (Sumbersari, Jetis, Kleben, Nglipar, Wanglu, Kedunggubah,
Tobong, Ngliseng) berkumpul. Kepada mereka diberikan pelatihan dengan
materi: Analisa Sosial berkaitan dengan tema Otonomi Daerah,
Pengelolaan Sumber Daya Air, Globalisasi Neoliberalisme, dan Reforma
Agraria. Pertemuan yang dihadiri 23 peserta (21 laki-laki dan 2
perempuan) ini sekaligus menjadi media komunikasi antar komunitas.
Harapannya, ke depan terbentuk konsolidasi jaringan organisasi
melalui pemahaman kesadaran dan sinkronisasi kegiatan tanpa
mengesampingkan corak lokalitas masing-masing komunitas. Selain itu
lewat LOLET juga memungkinkan terjadinya proses saling mengenal antar
komunitas untuk memunculkan rasa solidaritas. Melalui program ini
para penggerak lokal diajak melakukan dialog dan berbagi pengalaman
agar tumbuh saling pengertian, rasa senasib dan seperjuangan dalam
garis gerakan yang sama. Proses pembelajaran para penggerak lokal
dilaksanakan di salah satu komunitas. Di lokasi ini peserta juga bisa
belajar tentang apa yang dilihat dan dialami. Kemudian mereka juga
dituntun untuk berbagi pengalaman, sehingga masing-masing komunitas
bisa saling menilai, saling memperkaya, dan saling menguatkan.
Capaian
lebih lanjut adalah munculnya tokoh-tokoh lokal yang secara tegas
menolak praktek-praktek globalisasi neoliberalisme dan secara aktif
mengambil langkah alternatif. Sebut saja Ignatius Purwanto dan Danang
Eko Saputro dari Kleben; Sarmadi, Marsudi, dan Abdullah dari Jetis;
Sukapno dari Pakelan-Sejati; Nanang dan Darusman dari Sumbersari;
Maryanto dari Wanglu; Kamiyono dari Tobong; Marno dari Ngliseng;
Partiman dan Suhardi dari Praon, dan Saryono dari Lorejo. Mereka
adalah local leaders yang mensosialisasikan pertanian organik,
yakni cara bertani yang mengandung nilai-nilai solidaritas,
kepercayaan dan ramah lingkungan. Jika bertani organik harus
bersertifikat, mereka menolak tegas, salah satunya Purwanto dari
Kleben yang tegas mengatakan pada seorang ibu yang hendak membeli
beras organik di dusunnya, ”Ibu jauh-jauh dari Jakarta sampai
Kleben mau mencari beras organik atau mau membeli secarik kertas?
Silakan tinggal di sini tiga bulan melihat cara budi daya kami kalau
tidak percaya.” Bagi Purwanto, bertani organik tidak sekedar
masalah produk, tetapi ada saling percaya, ada kemerdekaan tersendiri
dan terbebas dari eksploitasi pasar bebas.
Selain
itu, hasil dari LOLET ini mampu menumbuhkan kesadaran para pemimpin
local untuk membangun kekuatan kemandirian finansial dalam bentuk
Koperasi Simpan Pinjam maupun Credit Union yang dikelola lebih murni
dan konsisten untuk para anggota, sebagaimana disebutkan di atas,
yakni Credit Union “Ngudi Lestari” di Jetis, Semi Credit Union
Kelompok Usaha Pedukuhan Praon (KUPP) “Rahayu” dan Credit Union
“Cindelaras Tumangkar” (CUCT) di Lo-Rejo. CUCT yang lahir dari
salah satu komunitas dan berakar dari masyarakat, akhirnya mampu
merengkuh sejumlah anggota yang tersebar di DIY dan Jawa Tengah.
Selain itu melalui SEMAI, perintis-perintis CU-CU kami sudah ikut
membidani lahirnya CU-CU Primer di
daerah-daerah lain, seperti: di Jombang, Purworejo, Salatiga,
Lampung, Medan, dan membantu mengupgrade sebuah CU di Bagan Batu,
Riau. Perlu dipahami bahwa kesadaran kritis yang dihasilkan melalui
pendidikan PERPEC dan LOLET ini tentu tidak mudah dicapai. Butuh
waktu dan proses yang panjang, bahkan tidak sedikit yang harus
mengalami benturan-benturan kenyataan. Namun pada akhirnya tetap
membawa pada kesadaran kritis komunitas sebagai dasar perjuangan
merebut kedaulatan dan membangun kemandirian sosial ekonomi,
khususnya kedaulatan finansial dan pangan.
Pada
paruh kedua tahun 2010, CINDELARAS PARITRANA memperkenalkan LOLET II.
Lebih maju dari LOLET I, program LOLET II tidak hanya melakukan
pendidikan penyadaran dan ketrampilan pengorganisasian pada tingkat
komunitas pada pimpinan lokal, baik formal maupun informal, tetapi
mendorong terjadinya organisasi rakyat yang bersifat politik,
ekonomi, sosial dan budaya di tingkat distrik atau regensi, atau di
tingkat wilayah pemerintahan otonomi daerah, pemerintahan regional
terendah, yakni antara pusat dan lokal, namun masih di bawah
Provinsi. Setelah Orde Reformasi tahun 2000-an, bila sebuah
organisasi rakyat mulai masuk ranah politik, khususnya advokasi
kebijakan publik, tidak harus mampu bermain di tingkat distrik,
tapi juga di tingkat pemerintahan
otonom terendah dalam Republik Indonesia.
Pada
tingkat distrik, Kabupaten atau Kotamadya ini, Bupati atau
Walikotanya dipilih langsung oleh rakyat secara langsung. Sementara
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dipilih oleh rakyat secara
langsung. Secara bersama-sama, Bupati dan DPRD selain menentukan
Anggaran dan Belanja atau budget Distrik atau Kabupaten, juga
menentukan kebijakan pemerintah untuk pembangunan daerah dan rakyat
di daerah itu. Adanya organisasi rakyat, civil society
organisation, pada tingkat daerah atau distrik akan sangat
strategis sebagai alat tawar-menawar politik ekonomi dalam
memengaruhi kebijakan daerah termasuk alokasi budget bagi pembangunan
rakyat, yakni: pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja,
pendidikan, kesehatan, dan aturan-aturan terkait dengan tata guna dan
hak milik dan penguasaan atas sumber-sumber agraria. Program reforma
agraria untuk petani dan program kesetaraan gender, walaupun itu
secara politik legal berada di ranah Pemerintah Pusat, namun dalam
eksekusi materinya atau implementasi politik sosial ekonominya,
berada dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Daerah dan DPRD.
CINDELARAS
PARITRANA sadar akan kekurang-pengalaman dalam politik praktis dan
pengorganisasian perempuan, kendati memiliki keunggulan dalam kerja
sosial ekonomi. Melalui program LOLET II ini, CINDELARAS PARITRANA
bekerjasama dengan perkumpulan PERGERAKAN (untuk organisasi petani)
dan HAPSARI (untuk organisasi perempuan) bermaksud mendorong
berdirinya organisasi petani dan perempuan tingkat distrik. Dalam
memfasilitasi (pendidikan penyadaran, ketrampilan sampai strategic
planning untuk mendirikan sebuah organisasi) pendirian organisasi
petani dan organisasi perempuan, CINDELARAS PARITRANA mendapatkan
pendampingan bidang pemberdayaan sosial ekonomi, sementara PERGERAKAN
dan HAPSARI mengurusi bidang penguatan politik dan budayanya. Maka
pada akhir paruh kedua tahun 2010 dan awal tahun 2011 berhasil
didirikanlah tiga organisasi perempuan; Serikat Petani Kulonprogo
(SERTANI) dan Serikat Perempuan Independen Kulonprogo (SPIK) di
Kabupaten Kulonprogo, serta Serikat Perempuan Bantul (SPB) di
Kabupaten Bantul.
Fokus
sumbangan CINDELARAS PARITRANA terhadap tiga organisasi tersebut
meliputi tiga hal: (1) mengembangkan keanggotaan Credit Union di
antara anggota Serikat; (2) mempergunakan sumber keuangan dari CU
untuk mendorong kedaulatan pangan terutama dengan mempromosikan
pertanian organik, dan (3) memperlancar proses perdagangan adil (fair
trade and distribution)
di antara anggota organisasi dan simpatisan, baik berupa barang
pertanian maupun hasil kerajinan para perempuan dan jasa wisata desa.
Wisata desa itu telah berjalan tujuh bulan ini dengan andalan “petik
dan goreng teh rakyat” sambil makan “ketela bakar” mengagumi
“kambing etawa juara nasional” dan merenungkan arti hidup dalam
kultur Jawa dengan patok negaranya, dalam sejuknya udara siang dan
dinginnya malam. Semua dapat ditemukan di Dusun Keceme, Puncak
Suroloyo, Pegunungan Menoreh, Kulonprogo, DIY. yang menyediakan 10
pondok penginapan terbuat dari bambu, lengkap dengan aula ruang makan
dan kamar mandi/WC.
Teman-teman dapat menelusuri pengalaman ini dalam buku "MANAJEMEN DAN PRAKTEK GERAKAN SOSIAL BARU". Silakan hubungi CINDE BOOKs Telp 0274 889611, atau berkunjung ke jl Pangkur 19, Ganjuran, Manukan, Condongcatur, Jogja.
BalasHapus