Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social
Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras
Paritrana
BBM Hantu Laten
Pada waktu tulisan ini diturunkan, semua penduduk
Indonesia, hampir seperempat milyar kepala, laki-perempuan, kaya-miskin,
tua-muda, dengan harap-harap pasti cemas, menunggu pemerintah SBY mengetukkan
palu, yang pelan-pelan lambat agak didramatisasikan seolah SBY sedang ‘maneges’ (berwiweka, mengadakan olah
jiwa pertimbangan batin bernalar-nalar berbumbukan rasa ing pangrasa terhadap derita yang sudah diderita dan akan
bereksponential lara lapanhya), scenario kebijakan apa yang akan dimuntahkan
dari Istana perihal harga, pasokan, dan sistem, semoga juga pengawasan dan
pemastian dari apa yang orang sebut sebagai BBM (Bahan Bakar Minyak). Ini
hari-hari jelang berakhirnya bulan April menuju awal Mei 2013. Ya harus
melampau awal Mei, sebab tanggal 1 Mei adalah hari buruh. Kalau beberapa saat
lalu sudah ada isue-isue mengenai ‘coup d’etat’ yang gagal ketika masih menjadi
wacana atau diwacanakan, dramatisasinya 1 Mei adalah demonstrasi besar-besaran
dari kaum buruh. Bila itu berlalu, aman dan tertib, karena memang bisa
menggetarkan, maka diduga dan dipuja-puji kebijakan harga dan pasokan BMM akan
tidak amat mengkhawatirkan bagi Sang Adipati (meminjam Dwi Koen dalam
karikaturnya). Padahal rakyat, karena sudah biasa deg-degan, sport jantung soal
kebijakan pemerintah yang suka didramatisasikan dan diulur-mungkretkan, sudah
sangat siap menerima apapun juga yang namanya ‘kebodohan atau kecerdasan sebuah
kebijakan yang membodohkan diri sendiri dari sebuah pemimpin kolektif elit
bangs avis-a-vis gelombang korporasi investor internasional’. Menarik untuk
ditelisik, justru kebijakan ‘memperbodoh’ diri dengan BBM itu berada dalam
matra-3 dari Pembangunan Holistik yang diperjuangkan oleh hampir semua negara.
Persoalannya bukan harga BBM naik atau (pernah sekali) turun, tetapi apakah
kita sebagai bangsa yang bernegara masih bertolak dari sebuah rasa berdaulat,
sebagaimana dicanangkan dan dihafalkan baik oleh anak-anak sekolah maupun di
pendidikan militer dalam Preambule UUD 1945. Soal kebijakan, pilihannya amat
tergantung di mana kita berdiri: bangsa berdaulat atau bangsa suka dijajah yang
penting aman nyaman, minimal untuk elitnya. Tanpa bertumpu pada
landasan dimana kita berdiri, sebagai bangsa berdaulat, keputusan apapun yang
diambil atas BBM, akan selalu menjadi ‘hantu laten’ bagi bangsa ini dan bagi
pembangunan holistik matra-3.