Tampilkan postingan dengan label pembangunan berkelanjutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pembangunan berkelanjutan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 April 2013

Hutan berbasis Masyarakat dan Pertanian Organik: Kasus Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia




Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics and Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana

(Catatan: Artikel ini semula adalah sebuah makalah yang dipresentasikan oleh penulis pada Diskusi Terbuka dengan tema “Bersahabat Dengan Alam Melalui Pertanian Organik” yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan para pegiat, kelompok tani, elemen pemuda dan mahasiswa pecinta pertanian dan lingkungan Kabupaten Wonosobo yang diselenggarakan di Restoran Ongklok Kota Wonosobo, pada Rabo, 11 April 2012. Untuk blogspot ini, telah dilakukan sedikit update dan alterasi.)

Pendahuluan
Gempa bertubi-tubi di kawasan Dieng pada April 2013 (kini mereda), mengingkatkan penulis akan kunjungannya ke kawasan itu beberapa puluh tahun yang lalu. Tepatnya pada akhir tahun 1976, sekitar 36 tahun lalu ketika penulis masih terbilang pemuda remaja, selama satu minggu, bersama 5 kawan, ketika satu-satunya kendaraan ke Dieng adalah truk kecil sayur, ketika jalan masih berbatu, ketika kami harus jalan kaki berkilometer per hari, kami berkemah berpindah-pindah dari Gua Semar, Telaga Pengilon, Telaga Mardigda, sampai di atas Tuk Bimasuci di hutan cemara yang dingin berangin bukan kepalang. Maka ketika kami mendengar dari berita dan gambar, kawah Sinila mengeluarkan gas beracun dan membunuh banyak penduduk beberapa dua dekade yang lalu, rasa miris dan tergetar menusuk sanubari. Salah satu Lagu Ebiet G. Ade, ‘Berita pada kawan’ adalah saksi yang mengabadi. Pada awal tahun 2001 – 2004, sekitar 7 tahun yang lalu, penulis berkesempatan untuk berinteraksi dengan manusia dan alam Kabupaten Wonosobo dalam wadah dua proyek kegiatan, yakni: (1) diskusi di tingkat rakyat pengolah eks hutan dan wakil-wakil rakyat tingkat Kabupaten mengenai apa yang kemudian dikenal dan membuat terkenal Wonosobo untuk tingkat nasional yakni “Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat”, atau menurut versi Perum Perhutani diistilahkan “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat”, yang antara lain juga kini mengantarkan San Afri Awang menjadi Staf Ahli Menteri Kehutanan yang cukup kawentar di antara para penggerak masyarakat sipil; (2) program konservasi lingkungan khususnya keanekaragaman hayati yang disponsori oleh General Environmental Facility/ Small Grant Program dari United Nations Delelopment Program (UNDP) yang dikelola oleh Yayasan Bina Lingkungan Hidup, Jakarta, yang melibatkan masyarakat Sikunang dan Tambi. Kami, di bawah payung Yayasan Cindelaras Paritrana, diundang oleh kawan-kawan LSM dari Wonosobo dan Yogyakarta serta dipercaya oleh GEF/SGP sebagai kawan seperjalanan mereka dan masyarakat, tak lupa dijadikan mitra diskusi dari Bupati dan khususnya Wakil Bupati dan para Anggota DPRD ketika itu.

BBM, Persoalan Laten Hantu bagi Pembangunan Holistik berMatra-3





Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana




BBM Hantu Laten
Pada waktu tulisan ini diturunkan, semua penduduk Indonesia, hampir seperempat milyar kepala, laki-perempuan, kaya-miskin, tua-muda, dengan harap-harap pasti cemas, menunggu pemerintah SBY mengetukkan palu, yang pelan-pelan lambat agak didramatisasikan seolah SBY sedang ‘maneges’ (berwiweka, mengadakan olah jiwa pertimbangan batin bernalar-nalar berbumbukan rasa ing pangrasa terhadap derita yang sudah diderita dan akan bereksponential lara lapanhya), scenario kebijakan apa yang akan dimuntahkan dari Istana perihal harga, pasokan, dan sistem, semoga juga pengawasan dan pemastian dari apa yang orang sebut sebagai BBM (Bahan Bakar Minyak). Ini hari-hari jelang berakhirnya bulan April menuju awal Mei 2013. Ya harus melampau awal Mei, sebab tanggal 1 Mei adalah hari buruh. Kalau beberapa saat lalu sudah ada isue-isue mengenai ‘coup d’etat’ yang gagal ketika masih menjadi wacana atau diwacanakan, dramatisasinya 1 Mei adalah demonstrasi besar-besaran dari kaum buruh. Bila itu berlalu, aman dan tertib, karena memang bisa menggetarkan, maka diduga dan dipuja-puji kebijakan harga dan pasokan BMM akan tidak amat mengkhawatirkan bagi Sang Adipati (meminjam Dwi Koen dalam karikaturnya). Padahal rakyat, karena sudah biasa deg-degan, sport jantung soal kebijakan pemerintah yang suka didramatisasikan dan diulur-mungkretkan, sudah sangat siap menerima apapun juga yang namanya ‘kebodohan atau kecerdasan sebuah kebijakan yang membodohkan diri sendiri dari sebuah pemimpin kolektif elit bangs avis-a-vis gelombang korporasi investor internasional’. Menarik untuk ditelisik, justru kebijakan ‘memperbodoh’ diri dengan BBM itu berada dalam matra-3 dari Pembangunan Holistik yang diperjuangkan oleh hampir semua negara. Persoalannya bukan harga BBM naik atau (pernah sekali) turun, tetapi apakah kita sebagai bangsa yang bernegara masih bertolak dari sebuah rasa berdaulat, sebagaimana dicanangkan dan dihafalkan baik oleh anak-anak sekolah maupun di pendidikan militer dalam Preambule UUD 1945. Soal kebijakan, pilihannya amat tergantung di mana kita berdiri: bangsa berdaulat atau bangsa suka dijajah yang penting aman nyaman, minimal untuk elitnya. Tanpa bertumpu pada landasan dimana kita berdiri, sebagai bangsa berdaulat, keputusan apapun yang diambil atas BBM, akan selalu menjadi ‘hantu laten’ bagi bangsa ini dan bagi pembangunan holistik matra-3.

Rabu, 03 April 2013

Agenda 21 Chapter 13 MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS SUSTAINABLE MOUNTAIN DEVELOPMENT



Berikut disampaikan dokumen Agenda 21/1992 Bab 13 mengenai Tatakelola ekosistem yang ringkih, khususnya di kawasan gunung-gunung. Karena gunung-gunung disadari sebagai sumber yang penting bagi air, energi dan bio-diversitas, maka perlu mendapat perhatian khusus. Bagi Indonesia yang mempunyai sangat banyak kawasan gunung-gunung bagian ini adalah sungguh penting. Pada Agenda 21/1992 dibahas dua hal, yaitu penjabaran dan penyebaran pengetahuan mengenai ekosistem gunung, dan pemeliharan dan pengembagangan daerah tangkapan air. 


Agenda 21 – Chapter 13
MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS: SUSTAINABLE MOUNTAIN
DEVELOPMENT

13.1. Mountains are an important source of water, energy and biological diversity. Furthermore, they are a source of such key resources as minerals, forest products and agricultural products and of recreation. As a major ecosystem representing the complex and interrelated ecology of our planet, mountain environments are essential to the survival of the global ecosystem. Mountain ecosystems are, however, rapidly changing. They are susceptible to accelerated soil erosion, landslides and rapid loss of habitat and genetic diversity. On the human side, there is widespread poverty among mountain inhabitants and loss of indigenous knowledge. As a result, most global mountain areas are experiencing environmental degradation. Hence, the proper management of mountain resources and socio-economic development of the people deserves immediate action.

13.2. About 10 per cent of the world's population depends on mountain resources. A much larger percentage draws on other mountain resources, including and especially water. Mountains are a storehouse of biological diversity and endangered species.

13.3. Two programme areas are included in this chapter to further elaborate the problem of fragile ecosystems with regard to all mountains of the world. These are:
a. Generating and strengthening knowledge about the ecology and sustainable development of mountain ecosystems;
b. Promoting integrated watershed development and alternative livelihood opportunities.

Senin, 25 Maret 2013

Agenda 21 – Chapter 9 PROTECTION OF THE ATMOSPHERE



 Berikut disampaikan dokumen Agenda 21/1992 Bab 9 tentang Memelihara Atmosfer. Dalam bagian dokumen ini diuraikan riwayat upaya, dasar ilmiah pengambilan keputusan, memajukan pembangunan berkelanjutan di bidang energy; transportasi; industry; sumberdaya darat dan laut serta tata-guna tanah; menangkal kerusakan ozone stratosfer dan memecahkan masalah polusi lintas batas nasional.


INTRODUCTION
9.1. Protection of the atmosphere is a broad and multidimensional endeavour involving various sectors of economic activity. The options and measures described in the present chapter are recommended for consideration and, as appropriate, implementation by Governments and other bodies in their efforts to protect the atmosphere.

9.2. It is recognized that many of the issues discussed in this chapter are also addressed in such international agreements as the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer, the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer as amended, the 1992 United Nations Framework Convention on Climate Change and other international, including regional, instruments. In the case of activities covered by such agreements, it is understood that the recommendations contained in this chapter do not oblige any Government to take measures which exceed the provisions of these legal instruments. However, within the framework of this chapter, Governments are free to carry out additional measures which are consistent with those legal instruments.