Tampilkan postingan dengan label policy subsidi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label policy subsidi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 April 2013

BBM, Persoalan Laten Hantu bagi Pembangunan Holistik berMatra-3





Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana




BBM Hantu Laten
Pada waktu tulisan ini diturunkan, semua penduduk Indonesia, hampir seperempat milyar kepala, laki-perempuan, kaya-miskin, tua-muda, dengan harap-harap pasti cemas, menunggu pemerintah SBY mengetukkan palu, yang pelan-pelan lambat agak didramatisasikan seolah SBY sedang ‘maneges’ (berwiweka, mengadakan olah jiwa pertimbangan batin bernalar-nalar berbumbukan rasa ing pangrasa terhadap derita yang sudah diderita dan akan bereksponential lara lapanhya), scenario kebijakan apa yang akan dimuntahkan dari Istana perihal harga, pasokan, dan sistem, semoga juga pengawasan dan pemastian dari apa yang orang sebut sebagai BBM (Bahan Bakar Minyak). Ini hari-hari jelang berakhirnya bulan April menuju awal Mei 2013. Ya harus melampau awal Mei, sebab tanggal 1 Mei adalah hari buruh. Kalau beberapa saat lalu sudah ada isue-isue mengenai ‘coup d’etat’ yang gagal ketika masih menjadi wacana atau diwacanakan, dramatisasinya 1 Mei adalah demonstrasi besar-besaran dari kaum buruh. Bila itu berlalu, aman dan tertib, karena memang bisa menggetarkan, maka diduga dan dipuja-puji kebijakan harga dan pasokan BMM akan tidak amat mengkhawatirkan bagi Sang Adipati (meminjam Dwi Koen dalam karikaturnya). Padahal rakyat, karena sudah biasa deg-degan, sport jantung soal kebijakan pemerintah yang suka didramatisasikan dan diulur-mungkretkan, sudah sangat siap menerima apapun juga yang namanya ‘kebodohan atau kecerdasan sebuah kebijakan yang membodohkan diri sendiri dari sebuah pemimpin kolektif elit bangs avis-a-vis gelombang korporasi investor internasional’. Menarik untuk ditelisik, justru kebijakan ‘memperbodoh’ diri dengan BBM itu berada dalam matra-3 dari Pembangunan Holistik yang diperjuangkan oleh hampir semua negara. Persoalannya bukan harga BBM naik atau (pernah sekali) turun, tetapi apakah kita sebagai bangsa yang bernegara masih bertolak dari sebuah rasa berdaulat, sebagaimana dicanangkan dan dihafalkan baik oleh anak-anak sekolah maupun di pendidikan militer dalam Preambule UUD 1945. Soal kebijakan, pilihannya amat tergantung di mana kita berdiri: bangsa berdaulat atau bangsa suka dijajah yang penting aman nyaman, minimal untuk elitnya. Tanpa bertumpu pada landasan dimana kita berdiri, sebagai bangsa berdaulat, keputusan apapun yang diambil atas BBM, akan selalu menjadi ‘hantu laten’ bagi bangsa ini dan bagi pembangunan holistik matra-3.