Arah
kebijakan pertanian bidang hortikultura adalah peningkatan
produksi, produktivitas dan mutu produk hortikultura untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam
negeri (konsumsi, industri, dan substitusi impor) dan meingkatkan ekspor
melalui penerapan GAP/SOP, penerapan PHT, GHP, perbaikan kebun, penerapan
teknologi maju, penggunaan benih bermutu varietas unggul. Peningkatan kualitas dan
kuantitas produk hortikultura melalui perbaikan dan pengembangan infrastruktur
serta sarana budidaya dan pasca panen hortikultura merupakan bagian dari arah kebijakan itu. Konsekuensinya menuntut penguatan
akses petani/pelaku usaha hortikultura terhadap pasar modern, pasar ekspor
melalui pembenahan manajemen rantai pasokan, pembenahan rantai pendingin,
kemitraan usaha. Selain itu dalam hal
permodalan juga diperlukan penguatan akses petani/pelaku usaha hortikultura
terhadap permodalan bunga rendah seperti PKBL/CSR, Skim kredit bersubsidi
(KKPE), Skim kredit penjaminan (KUR) serta bantuan sosial seperti PUAP, LM3,
PMD.
Sayangnya realisasi penyaluran kredit untuk sektor hortikultura ternyata sangat
rendah. Sejak awal pemerintah menyalurkan kredit pertanian hingga Januari 2013,
penyaluran kredit
hortikultura baru mencapai 0,18 persen dari total
penyaluran kredit perbankan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan realisasi
kredit sektor hortikultura baru mencapai Rp 4,9 triliun dari total penyaluran
kredit perbankan, yaitu Rp 2.705 triliun. Dari total kredit hortikultura yang dikucurkan,
sebagian besar ditujukan untuk pertanian jeruk. Untuk kelompok
bawang-bawangan sangat kecil. Kredit hortikultura juga hanya mengambil porsi
3,4 persen dari total kredit sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan yang
mencapai Rp 142,607 triliun. Lebih dari 63 persen dari total kredit pertanian
dialokasikan ke sektor kelapa sawit.
Rendahnya penyaluran kredit ke sektor hortikultura menurut beberapa hipotesis adalah karena tingkat produksi yang rendah, lahan kurang, kondisi alam yang kurang mendukung, seperti musim kemarau panjang menyebabkan risiko kredit hortikultura menjadi besar, sehingga dapat menimbulkan risiko pembiayaan bank. Hal ini yang mungkin menyebabkan petani hortikultura menjadi kurang bankable. Perbankan sebetulnya tak perlu takut akan risiko kredit bermasalah dari sektor ini. Sebab, ada asuransi kredit untuk pertanian. Namun mungkin saja pengaturan atas sikap prudential (hati-hati dan cermat dalam memperhitungkan risiko) perbankan terlalu ketat berlebihan untuk kredit pertanian hortikultura.