Kamis, 14 Maret 2013

Kredit Hortikultura



Arah kebijakan pertanian bidang hortikultura adalah peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk hortikultura untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri (konsumsi, industri, dan substitusi impor) dan meingkatkan ekspor melalui penerapan GAP/SOP, penerapan PHT, GHP, perbaikan kebun, penerapan teknologi maju, penggunaan benih bermutu varietas unggul. Peningkatan kualitas dan kuantitas produk hortikultura melalui perbaikan dan pengembangan infrastruktur serta sarana budidaya dan pasca panen hortikultura merupakan bagian dari arah kebijakan itu. Konsekuensinya menuntut penguatan akses petani/pelaku usaha hortikultura terhadap pasar modern, pasar ekspor melalui pembenahan manajemen rantai pasokan, pembenahan rantai pendingin, kemitraan usaha.  Selain itu dalam hal permodalan juga diperlukan penguatan akses petani/pelaku usaha hortikultura terhadap permodalan bunga rendah seperti PKBL/CSR, Skim kredit bersubsidi (KKPE), Skim kredit penjaminan (KUR) serta bantuan sosial seperti PUAP, LM3, PMD.


Sayangnya realisasi penyaluran kredit untuk sektor hortikultura ternyata sangat rendah. Sejak awal pemerintah menyalurkan kredit pertanian hingga Januari 2013, penyaluran kredit hortikultura baru mencapai 0,18 persen dari total penyaluran kredit perbankan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan realisasi kredit sektor hortikultura baru mencapai Rp 4,9 triliun dari total penyaluran kredit perbankan, yaitu Rp 2.705 triliun. Dari total kredit hortikultura yang dikucurkan, sebagian besar ditujukan untuk pertanian jeruk. Untuk kelompok bawang-bawangan sangat kecil. Kredit hortikultura juga hanya mengambil porsi 3,4 persen dari total kredit sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan yang mencapai Rp 142,607 triliun. Lebih dari 63 persen dari total kredit pertanian dialokasikan ke sektor kelapa sawit.

Rendahnya penyaluran kredit ke sektor hortikultura menurut beberapa hipotesis adalah karena tingkat produksi yang rendah, lahan kurang, kondisi alam yang kurang mendukung, seperti musim kemarau panjang menyebabkan risiko kredit hortikultura menjadi besar, sehingga dapat menimbulkan risiko pembiayaan bank. Hal ini yang mungkin menyebabkan petani hortikultura menjadi kurang bankable. Perbankan sebetulnya tak perlu takut akan risiko kredit bermasalah dari sektor ini. Sebab, ada asuransi kredit untuk pertanian. Namun mungkin saja pengaturan atas sikap  prudential (hati-hati dan cermat dalam memperhitungkan risiko) perbankan terlalu ketat berlebihan untuk kredit pertanian hortikultura.

1 komentar:

  1. Bisa memberikan gambaran tentang perekonomian bawang putih, bung Admin?
    Belakangan harganya melangit.... nggak normal. Katanya karena kartel dan spekulasi pedagang. Petaninya tetep nggak dapat apa-apa.... Sebenarnya bagaimana sih?

    BalasHapus