Tampilkan postingan dengan label dana pembangunan berkelanjutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dana pembangunan berkelanjutan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 April 2013

Undang-Undang no. 17/2012



 tentang PERKOPERASIAN:
Plus dan Minus-nya dan sebuah Contoh Kolonialisme/ Penjajahan Modern via Sistem Perundangan/UU.

Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia

Sudah sejak beredar beberapa tahun lalu sebagai RUU, UU no.17/2012 tentang Perkoperasian yang sebagai UU diundangkan tanggal 30 Oktober 2012 mengundang kontroversi. Pertanyaan pokok yang menjadi sengketa nalar dan praktek adalah: apakah UU no.17/2012 tentang Perkoperasian ‘masih koperasi’ atau ‘sudah liberal’ (untuk tidak mengatakan ‘masih Mohammad Hatta-nomics’ atau ‘sudah neoliberalis’). Sebagai orang yang mencintai koperasi dan sekaligus belajar sejarah pemikiran teori-teori berbagai aliran ekonomi (classics, neo-classics, berbagai sosialisme dan neo-populisme), penulis makfum kalau kontroversi timbul atas UU no.17/2012 tentang Perkoperasian ini. Nampaknya, dari mengikuti proses sejak Draft sampai diundangkan, para pembuat Undang-Undang ini, baik dari eksekutif maupun legislatif, berikut para konsultan dan pembisiknya, selain tidak lepas dari kepentingan dan bahkan agenda self-interest sendiri-sendiri, juga tidak faham teori-teori berbagai aliran ekonomi. Oleh karena itu, juga tidak mampu mengindukkan ‘koperasi’, apalagi sebagai ‘gerakan sosial’, di bawah payung pilihan nilai-nilai yang pas. Pas artinya, nilai tersebut minimal sebagaimana diperkenalkan oleh Mohammad Hatta dkk ke Indonesia pada pertengahan abad-20. Tentu bukan neo-klasik, atau sekarang yang dirasuki roh ‘neoliberalis’ bertiwikrama menjadi ‘globalisasi didorong oleh korporasi’, tetapi koperasi yang di bawah induk aliran (baca ‘pilihan nilai’ atau ‘keberpihakan’ –yang tentu bukan ‘self’, tapi ‘common goods’) sosialisme yang neo-populis. Singkat kata bukan sosialisme komando oleh negara, apalagi dictator proletariatnya Lenin, tetapi koperasi  yang ‘berkedaulatan’ oleh rakyat anggotanya, maka bersifat neo-populis. Mengapa tidak ‘populis’ saja, tetapi harus ditambah ‘neo’,  sebab yang ‘populis’ saja antara lain gampang terpeleset pada aliran ‘anarkhisme’ (anti negara atau sebetulnya anti dominasi-elit), yang pada beberapa kesempatan tergoda mempergunakan ‘kekerasan’. Populisme yang neo atau neo-populisme tidak mempergunakan dan bahkan anti kekerasan. Sebagai contoh mereka yang termasuk aliran pemiiiran ‘neo-populis’, yang tidak amat jauh dari sejarah jaman ini, yakni tokoh-tokohnya Mahatma Gandhi, E.F. Schumacker (ekonom terkenal penulis buku ‘small is beautiful’ yang sampai jaman sadar pemanasan global masih sangat relevan), dan tentunya A.V. Chayanov (ekonomi pertanian berbasis rumah tangga petani) yang karena keyakinan dan ilmu berpihaknya dibunuh oleh Stalin, jaman USSR (kini Russia).

Jumat, 22 Maret 2013

AGENDA 21 Chapter 2 SOCIAL AND ECONOMIC DIMENSIONS



International Cooperation To Accelerate Sustainable Development In Developing Countries & Related Domestic Policies

[Berikut adalah kutipan dari Dokumen Agenda 21 1992 yang dimaksudkan sebagai bahan dokumentasi. Sebab bahan-bahan awal telah mengalami koreksi, perbaikan dan pengembangan setelah 10 tahun (2002), dan setelah dua puluh tahun (2012). Bagian I seluruhnya (Bab 2-8) menyangkut Dimensi  Sosial dan Ekonomis, dan khusus Bab 2 ini mengenai Hubungan Internasional untuk percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Negara-negara Sedang Berkembang dan Kebijakan Nasional yang Terkait. Antara lain mengenai Perdagangan Internasional, Penyelarasan Kebijakan Lingkungan dan Perdagangan, Bantuan Keuangan untuk Negara Sedang berkembang, serta pengembangan Kebijakan Ekonomi yang Kodusif untuk Pembangunan Berkelanjutan].


Introduction
2.1. In order to meet the challenges of environment and development, States have decided to establish a new global partnership. This partnership commits all States to engage in a continuous and constructive dialogue, inspired by the need to achieve a more efficient and equitable world economy, keeping in view the increasing interdependence of the community of nations and that sustainable development should become a priority item on the agenda of the international community. It is recognized that, for the success of this new partnership, it is important to overcome confrontation and to foster a climate of genuine cooperation and solidarity. It is equally important to strengthen national and international policies and multinational cooperation to adapt to the new realities.