tentang PERKOPERASIAN:
Plus dan Minus-nya dan sebuah Contoh Kolonialisme/ Penjajahan Modern via
Sistem Perundangan/UU.
Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia
Sudah sejak beredar beberapa tahun lalu sebagai RUU, UU no.17/2012 tentang
Perkoperasian yang sebagai UU diundangkan tanggal 30 Oktober 2012 mengundang
kontroversi. Pertanyaan pokok yang menjadi sengketa nalar dan praktek adalah:
apakah UU no.17/2012 tentang Perkoperasian ‘masih koperasi’ atau ‘sudah
liberal’ (untuk tidak mengatakan ‘masih Mohammad Hatta-nomics’ atau ‘sudah
neoliberalis’). Sebagai orang yang mencintai koperasi dan sekaligus belajar
sejarah pemikiran teori-teori berbagai aliran ekonomi (classics, neo-classics,
berbagai sosialisme dan neo-populisme), penulis makfum kalau kontroversi timbul
atas UU no.17/2012 tentang Perkoperasian ini. Nampaknya, dari mengikuti proses
sejak Draft sampai diundangkan, para pembuat Undang-Undang ini, baik dari eksekutif
maupun legislatif, berikut para konsultan dan pembisiknya, selain tidak lepas
dari kepentingan dan bahkan agenda self-interest
sendiri-sendiri, juga tidak faham teori-teori berbagai aliran ekonomi. Oleh
karena itu, juga tidak mampu mengindukkan ‘koperasi’, apalagi sebagai ‘gerakan
sosial’, di bawah payung pilihan nilai-nilai yang pas. Pas artinya, nilai
tersebut minimal sebagaimana diperkenalkan oleh Mohammad Hatta dkk ke Indonesia
pada pertengahan abad-20. Tentu bukan neo-klasik, atau sekarang yang dirasuki
roh ‘neoliberalis’ bertiwikrama menjadi ‘globalisasi didorong oleh korporasi’,
tetapi koperasi yang di bawah induk aliran (baca ‘pilihan nilai’ atau
‘keberpihakan’ –yang tentu bukan ‘self’, tapi ‘common goods’) sosialisme yang
neo-populis. Singkat kata bukan sosialisme komando oleh negara, apalagi dictator proletariatnya Lenin, tetapi koperasi yang ‘berkedaulatan’ oleh rakyat anggotanya,
maka bersifat neo-populis. Mengapa tidak ‘populis’ saja, tetapi harus ditambah
‘neo’, sebab yang ‘populis’ saja antara
lain gampang terpeleset pada aliran ‘anarkhisme’ (anti negara atau sebetulnya
anti dominasi-elit), yang pada beberapa kesempatan tergoda mempergunakan
‘kekerasan’. Populisme yang neo atau neo-populisme tidak mempergunakan dan
bahkan anti kekerasan. Sebagai contoh mereka yang termasuk aliran pemiiiran
‘neo-populis’, yang tidak amat jauh dari sejarah jaman ini, yakni
tokoh-tokohnya Mahatma Gandhi, E.F. Schumacker (ekonom terkenal penulis buku ‘small is beautiful’ yang sampai jaman
sadar pemanasan global masih sangat relevan), dan tentunya A.V. Chayanov
(ekonomi pertanian berbasis rumah tangga petani) yang karena keyakinan dan ilmu
berpihaknya dibunuh oleh Stalin, jaman USSR (kini Russia).