Tampilkan postingan dengan label padi organik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label padi organik. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 April 2013

Mbah Gatot: Benih itu Milik Tuhan

Guido S Purwanto

Usia tiga perempat abad tak menghalangi Gatot Surono untuk tetap gesit menjalani kegiatan pertanian alami yang mulai digelutinya sejak tahun 1989. Rumah sederhananya di Desa Kembangan, Kecamatan Bukateja, Purbalingga menjadi jujugan banyak orang dari berbagai kalangan. Sebagian mereka datang untuk meminjam benih padi yang akan mereka kembalikan lagi pada panen berikutnya. Sebagian lain datang untuk mendalami spirit maupun teknik pertanian alami, mulai dari lumbung benih, pengolahan lahan, pembenihan, pengolahan lahan, penyemaian, cara penanaman, pembuatan pupuk, pestisida, dan insektisida alami, hingga obrolan ringan mengatasi hama tikus. Benih adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan.

Gatot Surono, Pejuang pertanian alami.
Ciptaan Tuhan tidak boleh dipunahkan, begitu keyakinan mbah Gatot, panggilan akrab Gatot Surono, terungkap di awal-awal perbincangan tentang pertanian alami. Dari keyakinan itu, tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi mbah Gatot demi mendapatkan benih. Peraturan, undang-undang, semua otoritas buatan manusia bukan hal penting lagi. Bagi mbah Gatot, semua cara halal. “Kalau ndak punya ya minta. Ndak boleh minta, ya minta pada Yang Maha Kuasa, gimana caranya,” tutur pria kelahiran Klaten 1933 ini.Pada tahun 2000, suami Christina Swastuti ini ditunjuk menjadi salah satu delegasi petani Indonesia yang diutus ke Thailand. Konon di negeri itu, warga asing dilarang membawa benih apapun keluar batas teritorialnya. Dalam sebuah kesempatan kunjungan di lahan pertanian, ia mendapati hamparan sawah yang ditanami salah satu jenis padi terbaik di Negeri Gajah Putih itu. Padi itu dikenal dengan nama Jasmine. Rupanya, ia tak bisa menahan hatinya untuk mencoba menangkarkan salah satu jenis terbaik ini di tanah kelahirannya. Karena upaya membeli atau meminta benih dengan cara baik-baik tidak mungkin, “Satu-satunya jalan ya saya ngurut semalai, lalu saya masukkan saku,” kenang bapak tiga anak ini. Terpaksa ia melanggar peraturan, mengambil benih tanpa ijin.
Sesampai di tanah air, ia membuka “oleh-oleh” dari negeri yang pernah tercatat sebagai pengekspor beras terbesar Asia ini. “Setelah saya hitung ada sekitar 40 bulir. Saya semai hingga berumur 7-15 hari, lalu saya tanam di lahan seluas 20 meter persegi. Cara menanamnya memakai sistem Madagaskar, ditanam satu-satu dengan jarak tanam 25 cm—di Indonesia belakangan dikenal dengan nama SRI – System Rice Intensification). Saat panen saya mendapat 20 Kg,” tutur alumni Sospol UGM (1958-1962) dan Peking University (1962-1965) ini.

Selasa, 19 Maret 2013

Pertanian Organik lebih Murah daripada Metoda Konvensional


Kiriman Kang Topo, Jawa Timur



Keluhan yang sering terdengar dari teman-teman petani adalah produktivitas panen turun karena biaya yang dikeluarkan semakin banyak, sedang penghasilan menurun. Kenaikan biaya umumnya terkait penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia yang semakin mahal harganya. Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia pada mulanya memang meningkatkan hasil panen petani. Lalu para petani menjadi terbiasa serba mudah menyiasati kondisi alam dengan bantuan zat-zat kimia. Bahkan menjadi tergantung pada pupuk dan pestisida kimia.

Yang kurang disadari adalah bahwa penggunaan zat kimia ibarat candu bagi kondisi tanah. Tanah makin ketagihan, semakin lama membutuhkan zat kimia semakin banyak. Jika mulanya pemberian dosis 1x bisa  mendapatkan hasil panen 2x, setelah beberapa tahun berlalu tanah memerlukan asupan dosis 2x untuk mendapatkan hasil panen 2x. Zat kimia merusak struktur tanah. Tanah menjadi sakit. Sebab dengan penggunaan zat kimia mikroorganisme yang hidup dalam tanah dan sebenarnya membantu mempertahankan keseimbangan struktur tanah secara alami, menjadi mati atau sangat banyak berkurang.