Tampilkan postingan dengan label SRI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SRI. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Mei 2013

TEMU KANGEN SAKA ALIT



Pertemuan tani tak harus di Balai, di sawah pun oke.
Sudah tujuh tahun paguyuban petani tulen bentukan Cindelaras ini tak bertemu. Disebut tulen, karena semua anggotanya benar-benar berprofesi sebagai petani, dan aktif berkiprah dalam kelompok tani di dusun masing-masing. Saka alit, bisa diartikan sebagai saka (pilar), alit (kecil). Petani, dalam struktur masyarakat sering disebut kawulo cilik, kawulo alit, orang kecil. Namun, tidak banyak yang ingat bahwa justru orang-orang kecil inilah yang jadi pilar penyangga kehidupan. Demikian mereka menamakan diri.
Tujuh tahun waktu yang cukup lama. Tak heran tumbuh rasa kangen dalam hati masing-masing. Sekian tahun disatukan dalam kesepahaman, seberapa jauh masing-masing mengembangkan diri. Ini yang mendorong Saka Alit berkumpul kembali, dalam suasana yang seba berbeda. Kamis, 2 Mei 2013, dengan sukarela, hanya dengan undangan melalui sms, dan telepon semua hadir tanpa ingin membebani siapapun. Konsumsi dipikirkan bersama: Pur menyediakan nasi (pasti organic) dan teh, Sukapno membawa tempe bacem, Saryono minta istrinya masak buntil. Marji, Suhardi, dan Partiman bawa klethikan. Sarjiyo yang agak terlambat membawa jajanan bakpia. Yang dari Jetis datang terlambat dan  tidak membawa makanan apapun, tidak masalah. Mereka saling kangen, dan sepakat bertemu di lahan organik kelompok Bangunrejo, yang sekaang dimanfaatkan sebagai area penelitian beberapa mahasiswa UGM. Acara yang digagas kilat itu berlangsung seru, dan menyenangkan. Lima anggota lama hadir, ditambah selusin  penggembira dan petani yang akhirnya menyatakan diri menjadi anggota.

Selasa, 23 April 2013

Mbah Gatot: Benih itu Milik Tuhan

Guido S Purwanto

Usia tiga perempat abad tak menghalangi Gatot Surono untuk tetap gesit menjalani kegiatan pertanian alami yang mulai digelutinya sejak tahun 1989. Rumah sederhananya di Desa Kembangan, Kecamatan Bukateja, Purbalingga menjadi jujugan banyak orang dari berbagai kalangan. Sebagian mereka datang untuk meminjam benih padi yang akan mereka kembalikan lagi pada panen berikutnya. Sebagian lain datang untuk mendalami spirit maupun teknik pertanian alami, mulai dari lumbung benih, pengolahan lahan, pembenihan, pengolahan lahan, penyemaian, cara penanaman, pembuatan pupuk, pestisida, dan insektisida alami, hingga obrolan ringan mengatasi hama tikus. Benih adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan.

Gatot Surono, Pejuang pertanian alami.
Ciptaan Tuhan tidak boleh dipunahkan, begitu keyakinan mbah Gatot, panggilan akrab Gatot Surono, terungkap di awal-awal perbincangan tentang pertanian alami. Dari keyakinan itu, tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi mbah Gatot demi mendapatkan benih. Peraturan, undang-undang, semua otoritas buatan manusia bukan hal penting lagi. Bagi mbah Gatot, semua cara halal. “Kalau ndak punya ya minta. Ndak boleh minta, ya minta pada Yang Maha Kuasa, gimana caranya,” tutur pria kelahiran Klaten 1933 ini.Pada tahun 2000, suami Christina Swastuti ini ditunjuk menjadi salah satu delegasi petani Indonesia yang diutus ke Thailand. Konon di negeri itu, warga asing dilarang membawa benih apapun keluar batas teritorialnya. Dalam sebuah kesempatan kunjungan di lahan pertanian, ia mendapati hamparan sawah yang ditanami salah satu jenis padi terbaik di Negeri Gajah Putih itu. Padi itu dikenal dengan nama Jasmine. Rupanya, ia tak bisa menahan hatinya untuk mencoba menangkarkan salah satu jenis terbaik ini di tanah kelahirannya. Karena upaya membeli atau meminta benih dengan cara baik-baik tidak mungkin, “Satu-satunya jalan ya saya ngurut semalai, lalu saya masukkan saku,” kenang bapak tiga anak ini. Terpaksa ia melanggar peraturan, mengambil benih tanpa ijin.
Sesampai di tanah air, ia membuka “oleh-oleh” dari negeri yang pernah tercatat sebagai pengekspor beras terbesar Asia ini. “Setelah saya hitung ada sekitar 40 bulir. Saya semai hingga berumur 7-15 hari, lalu saya tanam di lahan seluas 20 meter persegi. Cara menanamnya memakai sistem Madagaskar, ditanam satu-satu dengan jarak tanam 25 cm—di Indonesia belakangan dikenal dengan nama SRI – System Rice Intensification). Saat panen saya mendapat 20 Kg,” tutur alumni Sospol UGM (1958-1962) dan Peking University (1962-1965) ini.

Selasa, 26 Maret 2013

Pola tanam padi SRI dan Pelatihan




SRI dikembangkan di Madagaskar oleh Fr Henri de Laulanie SJ, yang antara tahun 1961 dan 1995 bekerja bersama para petani Malagasi dan rekan-rekannya untuk memajukan peluang bagi peningkatan produksi padi di negeri itu. Ia menginginkan rakyat Malagasi hidup lebih bahagia dan lebih sejahtera. Sekarang hasil jerih payahnya dipelajari dan dikaji para ilmuwan di pelbagai negara (pada tahun 2012, tercatat sudah sekitar 50 negara menerapkan SRI, termasuk Indonesia).

Salah seorang petani angkatan pertama yang menerapkan SRI dan menjadi terkenal adalah Honore Randrianarasana yang menggunakan metode SRI pada musim tanam 1994/1995 di lahan seluas seperempat hektar. Ia mendapatkan hasil panen pertama 9,5 ton/hektar.