(dimuat dalam Tabloid Dwi
Mingguan, CUReview, vol. 1, 2012)
Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics &
Management Insitute)
Yayasan Cindelaras Paritrana,
Indonesia
Pengantar:
UU no. 17, tahun 2012, tentang
Perkoperasian memang sudah diundangkan 30 Oktober 2012, untuk membandingkan
dengan bagaimana setelah menjadi undang-undang dengan sebelumnya ketika masih
sebagai draft, tulisan berikut yang diambil opera dari CU Review, Vol. 1, tahun
2012 dapat memberikan gambaran. Silakan membaca:
Artikel oleh penulis yang dikutip
kembali dari CU Review, Vol. 1, 2012 atas ijin penerbitnya, Institut
Dayakologi, Pontianak:
“Akhir-akhir ini rakyat, terutama pekebun, petani, orang desa, dan terpinggirkan
lainnya dibebani banyak sekali Undang-Undang, Rancangan Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah, yang judulnya bagus tetapi, kalau dicermati betul isinya
tidak sedikit yang ujung-ujungnya menelikung rakyat. Celakanya, rakyat -baik
ditingkat desa, di atas tanahnya, dan dalam organisasi kemasyarakatannya-
membaca saja tidak, apalagi mengerti dan sadar akan bahaya yang mengancam
eksistensi dan hidupnya. Menyebut beberapa adalah Rancangan Undang-Undang (UU)
tentang Desa versi Pemerintah dan DPD RI yang beredar 2011 dan 2012 ini, yang
hendak menggantikan Peraturan Pemerintah (PP) no.72 tahun 2005; PP no.19, tahun 2008 tentang Kecamatan;
PP no.11, tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; PP
no. 12 tahun 2012 tentang Insentif perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan; PP. No.25 tahun 2012 tentang sistem informasi lahan pertanian
pangan berkelanjutan; UU. No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum; dan Rancangan UU tentang Perkoperasi yang
beredar 2010- kini yang hendak menggantikan UU no.25, tahun 1992 tentang
Perkoperasian. Tulisan dalam CU review ini hendak menyoroti RUU, tentu dari
kepentingan gerakan CU, tentang RUU tentang Perkoperasian tersebut.
Untuk meneropong RUU tentang Perkoperasian tersebut, secara sederhana,
kami hendak memperbandingan antara semangat, isi dan implikasi dari UU no.25,
tahun 1992, tentang Perkoperasian di satu sisi, dengan RUU tentang
perkoperasian di sisi lain, ditambah memperbandingan keduanya dengan praktek
sebagian Credit Union. Yang terakhir pertimbangannya adalah bahwa Credit Union
pada tahun-tahun 1980-an menerima payung atau masuk ke payung Koperasi, bukan
karena itu rumahnya, tetapi karena koperasilah yang paling dekat dengan Credit
Union. Jadi Credit Union itu terhadap Koperasi, seumpama anak menantu yang
terpaksa tinggal besama mertuanya. Enak tidak enak, ya harus diterima karena
memang bukan rumah sendiri, tetapi karena demi cinta pada istri/ suami atau
sistem hukum negara RI. Bila kami membandingkan RUU dengan UU no.25 tahun 1992,
itu bukan karena UU no,25 tahun 1992 tentang Perkoperasian lebih baik dari RUU
tentang perkoperasian, bukan. Karena lebih baik atau lebih buruk, itu
menurut ukuran atau standar yang mana. Ukuran dan standarnya adalah praktek
pada umumnya dari Koperasi di Indonesia, khususnya Credit Union. Pembaca boleh
bertanya, apa alasannya UU no.25 tahun 1992 diganti, apa salahnya, apa kurangnya,
sebelum bertanya apakah penggantinya lebih bagus. Agar orang semakin yakin,
maka standar atau ukuran praktek koperasi khususnya Credit Union, harus dibenar
atau salahkan oleh pengadil terakhir, yakni tulisan-tulisan Mohammad Hatta,
bapak koperasi Indonesia dan Pasal 33, UUD 1945 ayat 1-3.
Tidak Cocok
Ada dua macam tingkatan ketidak cocokan, pada beberapa pasal RUU ini
tidak cocok dengan UU no 25, tahun 1992, pada beberapa pasal RUU dan UU no.25
tahun 1992 nampaknya ada tidak cocoknya dengan praktek Credit Union pada
umumnya.
Antara UU no.25 tahun 1992 (selanjutnya UU. 25/1992) dan RUU versi
Kemenkop & UKM (selanjutnya RUU 2010) yang beredar, dan sekaligus
kedua-duanya diperbandingkan dengan konsep dan praktek Credit Union, dan dalam
tulisan ini hanya akan diambil dua sampai tiga pokok pasal yang berbeda, karena
jumlah itu sudah cukup untuk mengatakan apa dan bagaimana sebenarnya RUU 2010
ini. Perbedaan mencolok dan esential sudah nampak pada Bab I, Ketentuan Umum,
Pasal 1 Ayat 1 dan ayat 11, sbb:
(1) Soal definisi: UU 25/1992, koperasi adalah “badan usaha”,
sementara RUU 2010, koperasi “badan hukum”, dan konsep dan praktek
Credit Union mengerti koperasi sebagai “kumpulan orang-orang (yang saling
percaya)”.
(2) Soal pendiri/anggota: UU 25/1992, koperasi “beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum koperasi”, sementara RUU 2010, koperasi “didirikan
oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi” (artinya ‘bukan anggota
pun dapat mendirikan’, siapa dia? Investor?), dan tradisi Credit Union
mensyarakatkan pendiri koperasi ya “anggota”, pengurus dan manajerpun harus
anggota (artinya ‘yang bukan anggota’ tak bisa mendirikan koperasi.
(3) Yang diusahakan: UU 25/1992, adalah “ekonomi kerakyatan”, sementara
dalam RUU 2010, yang diusahakan adalah “perusahaan” (artinya “koperasi” a la
RUU 2010 hanya namanya saja koperasi, tetapi ia adalah “perusahaan”).
(4) Soal penyertaan modal Pasal 42 UU 25/1992 dibandingkan dengan Pasal 1
ayat 11 RUU 2010, itu kata sama “modal penyertaan” tapi arti berbeda. Yang UU
25/1992 asal modal dari pemumukan (dari anggota atau hibah), yang RUU 2010,
asal modal dari setoran “setiap pihak” (artinya bisa dari bukan anggota,
berarti koperasinya bisa didirikan oleh investor yang tidak harus menjadi
anggota). Pada konsep dan praktek Credit Union yang umum, tidak ada penyertaan
modal, baik dari anggota maupun luar anggota, yang ada modal dikumpulkan dari
simpanan para anggota. Hibah tak kan dimasukkan dan untuk modal, paling untuk
pendidikan atau fasilitas.
Perbedaan mencolok kedua nampak pada pasal 17, UU 25/1992 dan pasal 26,
RUU 2010 mengenai keanggotaan.
(1) Pada UU 25/1992 pasal 17 “Anggota koperasi adalah pemilik dan sekaligus
pengguna jasa koperasi”, nah pada pasal 26, RUU 2010, kata ‘pemilik dan
sekaligus’ sudah dikorupsi, tinggal kata-kata ‘pengguna jasa koperasi’, yang
bisa siapa saja, tidak harus anggota. Ini artinya memberikan lobang untuk
operasi dari investor yang tidak harus menjadi anggota koperasi. Hingga kopersi
tinggal nama saja, bisa digunakan oleh siapa saja yang punya uang, bisa juga
untuk tender investor, bahkan karyawan/buruh pun dari suatu ‘perusahaan
koperasi’ bisa saja oleh investornya dijadikan ‘anggota’. Penulis pernah
menyaksikan hal ini dibeberapa kesempatan, baik itu di Indonesia maupun di
Perancis dan negara Utara lainnya. Nah, dari kacamata konsep dan praktek Credit
Union yang umum, hal ini sama sekali tidak dapat diterima. Karena apa? Justru
yang dilawan atau diberi alternatif oleh koperasi adalah sifat tamak dari modal
dari investor, karena kekayaan (banyak sedikitnya modal) menentukan suara
demokrasi orang. Orang/manusia yang sama derajat di hadapan Tuhan dan hukum,
diperlakukan berbeda karena berbeda kekayaannya. Maka rumus ‘one person one
vote’ adalah untuk memotong dan mengkontrol sifat tamak tersebut, sifat serakah
yang ada di tiap hati manusia tersebut. Dalam koperasi sebagaimana dipraktekan
dengan konsekuen dalam banyak Credit Union, berapa pun “modal” (baca simpanan
orang) dalam koperasi, suaranya tetap hanya satu. Maka soal penyimpanan, Credit
Union memperkenalkan batas maksimum simpanan sebulan, misal Rp 2,000,000. Itu
dimaksudkan agar orang kaya tidak mengebom dengan misal Rp 1 milyar, karena
balas jasa simpanan lebih tinggi sekitar 1.9 persen dari balas jasa pinjaman.
Di Yogyakarta, ketika baru dua tahun CU Cindelaras Tumangkar dibuka, ada 3
komisaris BPR datang hendak menyimpan antara Rp 1 sampai 2 milyar sekaligus ke
Credit Union. Ya tentu ditolak. Kalau mau menyimpan sebegitu (asal tidak lebih
dari 10 persen seluruh jumlah simpanan) ya diterima, tetapi saat itu juga harus
dipinjam semua. Itulah Credit Union. Nah, RUU 2010 ini akan memungkinkan 3
komisaris BPR itu mengebom dengan simpanan ke Credit Union. Bukan hanya itu,
bahkan BPR itu bisa saja mendirikan Koperasi Credit Union, yang dianya gak usah
jadi anggota, tetapi karyawannya jadi anggota. Hingga kalau ada proyek
pemerintah penyaluran dana lewat koperasi, si BPR bisa lewat Credit Unionnya
menaguk dana murah tersebut.
Bila Pendapat Hatta masuk, azas ‘kekeluargaan’ pada UUD 1945 pasal 33,
diberikan penjelasan oleh Hatta, baik itu dalam penjelasan UUD 1945 sebelum di
amandemen maupun Pidato Hatta di Universitas Cornell, USA adalah ‘koperasi’.
Baik bagi Hatta maupun J.H. Boeke (1910 dan 1953), ekonom Belanda yang pro
rakyat Indonesia, meskipun di Indonesia sudah ada ‘gotong royong’, tetapi semangat
koperasi itu hal yang juga menyangkut disiplin kerja, keuangan dan etika, maka
tidak dapat diandaikan, harus dididik, dilatih, bahkan berulang-ulang. Itulah
kelemahan banyak koperasi di Indonesia, mengandaikan semangat koperasi
(demokrasi, swadaya/mandiri, disiplin dan tak henti mendidik diri dan
bersama-sama anggota). Maka jadinya koperasi menjadi koperasi ‘pengurus’,
anggota hanya atas nama. Tapi kalau demokrasi mengikuti Hatta dan J.H. Boeke,
mestinya bukan demokrasi ‘pasar bebas’ dan pasar ‘self interest’ a la USA yang
diterapkan ke dalam koperasi, tetapi demokrasi yang dipandu dan dibimbing oleh
tradisi dan ideologi. Untuk menjaga ideologi dan demokrasi itu, di atas
menyamping dari pengurus dan pengawas, haruslah ada “dewan kehormatan”, para
orang terhormat yang faham betul dan sudah teruji tentang pengetahuan dan jiwa
koperasinya, yang jangan dibayar, tetapi punya hak veto atas ideologi dan
prinsip-prinsip koperasi. Keduanya harus ada penjaganya. Sekarang itu tak
terjadi. Maka dalam RUU baru, itu yang harus masuk, bukan malah menggerogoti
semangat koperasi dengan secara kasat mata memasukkan unsur dan jiwa korporasi
ke dalam koperasi. Kalau Dewan kehormatan tak ada, ya seperti sekarang ini,
ketika koperasi tumbuh besar, sudah banyak uang di situ, baik pengurus maupun
manajemen bermanuvre untuk tetap menjadikan koperasi sapi perah untuk gaji dan
fee mereka. Hingga kopersi termasuk Credit Union menjadi rebutan rente ekonomi.
Habislah jiwa dan ideologi koperasi untuk kesejahteraan dan kemandirian serta
pendidikan anggota.
Yogyakarta, 12 Mei 2012 (update 10 Juli 2012).
Francis Wahono, Ph.D. (Econ).”
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
BalasHapusTerimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D