Minggu, 28 April 2013

Hutan berbasis Masyarakat dan Pertanian Organik: Kasus Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia




Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics and Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana

(Catatan: Artikel ini semula adalah sebuah makalah yang dipresentasikan oleh penulis pada Diskusi Terbuka dengan tema “Bersahabat Dengan Alam Melalui Pertanian Organik” yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan para pegiat, kelompok tani, elemen pemuda dan mahasiswa pecinta pertanian dan lingkungan Kabupaten Wonosobo yang diselenggarakan di Restoran Ongklok Kota Wonosobo, pada Rabo, 11 April 2012. Untuk blogspot ini, telah dilakukan sedikit update dan alterasi.)

Pendahuluan
Gempa bertubi-tubi di kawasan Dieng pada April 2013 (kini mereda), mengingkatkan penulis akan kunjungannya ke kawasan itu beberapa puluh tahun yang lalu. Tepatnya pada akhir tahun 1976, sekitar 36 tahun lalu ketika penulis masih terbilang pemuda remaja, selama satu minggu, bersama 5 kawan, ketika satu-satunya kendaraan ke Dieng adalah truk kecil sayur, ketika jalan masih berbatu, ketika kami harus jalan kaki berkilometer per hari, kami berkemah berpindah-pindah dari Gua Semar, Telaga Pengilon, Telaga Mardigda, sampai di atas Tuk Bimasuci di hutan cemara yang dingin berangin bukan kepalang. Maka ketika kami mendengar dari berita dan gambar, kawah Sinila mengeluarkan gas beracun dan membunuh banyak penduduk beberapa dua dekade yang lalu, rasa miris dan tergetar menusuk sanubari. Salah satu Lagu Ebiet G. Ade, ‘Berita pada kawan’ adalah saksi yang mengabadi. Pada awal tahun 2001 – 2004, sekitar 7 tahun yang lalu, penulis berkesempatan untuk berinteraksi dengan manusia dan alam Kabupaten Wonosobo dalam wadah dua proyek kegiatan, yakni: (1) diskusi di tingkat rakyat pengolah eks hutan dan wakil-wakil rakyat tingkat Kabupaten mengenai apa yang kemudian dikenal dan membuat terkenal Wonosobo untuk tingkat nasional yakni “Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat”, atau menurut versi Perum Perhutani diistilahkan “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat”, yang antara lain juga kini mengantarkan San Afri Awang menjadi Staf Ahli Menteri Kehutanan yang cukup kawentar di antara para penggerak masyarakat sipil; (2) program konservasi lingkungan khususnya keanekaragaman hayati yang disponsori oleh General Environmental Facility/ Small Grant Program dari United Nations Delelopment Program (UNDP) yang dikelola oleh Yayasan Bina Lingkungan Hidup, Jakarta, yang melibatkan masyarakat Sikunang dan Tambi. Kami, di bawah payung Yayasan Cindelaras Paritrana, diundang oleh kawan-kawan LSM dari Wonosobo dan Yogyakarta serta dipercaya oleh GEF/SGP sebagai kawan seperjalanan mereka dan masyarakat, tak lupa dijadikan mitra diskusi dari Bupati dan khususnya Wakil Bupati dan para Anggota DPRD ketika itu.


Partisipasi kami ketika itu membawa kami keluar masuk kampung Tambi, naik ke ladang-ladang hasil reklaiming dari Kehutanan, menyeberangi bendungan Wadaslintang ke dusun terpencil oleh air, dekat air tetapi mahal air, sampai lebih jauh naik ke Sikunang, di dataran tinggi Dieng. Yang terakhir, pada kisaran akhir tahun 2008, kami tiap Weekend selama tiga minggu berturut-turut diminta oleh Para Suster YMY dari Upa Denakara, Pusat Pendidikan Bisu dan Tuna Rungu untuk membimbing mereka mengerti gerakan sosial. Selalu ada aura alam dan cinta kehidupan manusia yang mengkaitkan dan mengundang kami ke Dieng dan Wonosobo, serasa daerah ini desa kelahiran kami ke-dua. Maka undangan diskusi Anda datang ke sini, kami rasakan sebuah nostalgia yang menantang nalar dan menggugah hati. Terimakasih banyak atas penghormatan ini. Apalagi diskusi ini diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Jawa Tengah dengan rakyat yang diwakilinya, semoga menghasilkan gerak yang bermakna dan bermanfaat bagi manusia dan alam di Dieng dan Kabupaten Wonosobo.

Menurut data statistik Wonosobo dalam Angka, 2011, dari landscap alam dari 15 Kecamatan yang ada di Kabupaten Wonosobo, yang ketinggian tanahnya dari permukaan air laut lebih dari 800 m hampir separoh dari jumlah yang ada. Hal itu menunjukkan hampir separoh Wonosobo adalah daerah dataran tinggi. Maka cekungan dan ereng-ereng (slope) dari sedang ke terjal menjadi ciri khasnya. Hal itu menyebabkan bila manajemen tananam dan penanaman kurang bijak akan sangat rentan terhadap longsor dan erosi, degradasi dan diforestasi. Karena alam dari sononya sudah bijak, maka bila semua bencana itu terjadi yang disalahkan adalah manusianya. Dikatakan manusia kurang bijak, bila manusia melawan kebijakan alam. Jalan keluarnya adalah bagaimana manusia, bukannya melawan, tetapi berkawan dengan alam. Ilmu wawasan, manajemen, teknologi berkawan dengan alam itulah yang hendak kita bahas dalam makalah ini. Untuk itu, sebagaimana mau menikahi seorang perjaka atau gadis, calon pasangan harus berusaha untuk mengenal dengan baik sifat-sifat, kelemahan dan kekuatannya, demikian dengan alam. Tentang pertanian organik (a la Pastor Agato, Indonesia) maupun lebih tinggi lagi pertanian alami (a la Dr. Cho Han Kyu, Korea Selatan), atau lebih heboh lagi pertanian lestari model ‘revolusi sebatang jerami’ (Fukuoka, Jepang) dan model ‘permaculture’ (permanent agriculture a la Bill Mollison, Australia), keempatnya adalah ‘ilmu berkawan dengan alam’. Ilmu berkawan dengan alam, secara pemikiran besar ekonomi berlandas pada ‘Buddhist Economics’- nya E.F ‘small is beautiful’ Schumacher. Ia mendasarkan lebih jauh ekonominya pada warisan Ekonomi Rumah Tangga Petani dari A.V. Chayanov, Ekonom Kerakyatan Baru dari Russia yang dibunuh Stalin karena melawan kapitalisasi (baca: modernisasi) pertanian kolektif dipimpin oleh kader partai komunis. Versi kapitalisasi pertanian aliran Kapitalisme Individualis adalah lahan-pertanian-luas lengkap dengan mekanisme pertanian besar seperti dicontohkan oleh  pertanian-korporatif di Canada, USA, dan Australia, sampai tahap tertentu di Eropa. Keduanya, baik di negara sosialis komunis Soviet (ketika itu, kini Russia) maupun negara kapitalis USA dan kawan-kawannya, adalah pertanian ‘konvensional’ dalam arti modernisasi pertanian, korporisasi pertanian. Negara-negara itu bercirikan penguasaan lahan garapan yang besar-besar di daerah pertanian dan industrialisasi tingkat tinggi dan menengah di daerah-daerah perkotaan. Petani bukan lagi buruh tani, mereka yang bakat buruh serta anak-anaknya sudah pindah ke perkotaan sebagai buruh pabrik dan pegawai, sementara yang tinggal di desa adalah para kapitalis-petani atau petani-kapitalis. Itulah pertanian agribusiness. Kendati di sela-sela mereka masih ada petani-skala-kecil, seperti di Perancis, Australia, Inggris, Belanda, dlsb, namun jumlahnya amat kecil dan tidak sampai menjadi petani-gurem (di bawah 0.35 hektare) seperti di Jawa dan Madura, Bali dan Lombok, sekarang juga sudah merambah Lampung. Revolusi Hijau (Modernisasi pertanian, dengan mengaplikasikan bibit unggul, pupuk kimia anorganik, mekanisasi pertanian) yang disebar luaskan di Jawa, Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau yang lain adalah sebuah sesat pikir. Mengapa sesat pikir, karena sifat lahan dan penguasaan tanah oleh petani, bukan seperti malah bertolak belakang dengan di negara-negara adidaya, tetapi sempit bahkan pemburuh tani dan oleh rumah tangga. Syarat dari agribusiness atau pertanian korporasi adalah lahan hampir tak terbatas dan penguasaan oleh wirausahawan produk. Sementara lawannya adalah agriculture atau pertanian berbasis rumah tangga yang mengedepankan ‘seni berkawan dengan alam’, berstrategi kultural terhadap alam, lebih tepat untuk sifat petani dan penguasaan lahan sempit, subur, seperti di Jawa dan pulau-pulau lain. Ekonomi rumah tangga petani dengan semangat Buddhist adalah kanvas bagi agriculture dalam bertani. Agriculture itulah yang kini dikenal sebagai pertanian organik, pertanian alami, dan pertanian lestari, tergantung degradasi dan intensitas ke-alami-nya.

Marilah kita mengenal lebih jauh alam Wonosobo, apakah seperti yang digambarkan USA dan kawan-kawan sebagai lahan luas tak terbatas dengan pelaku bisnis pertanian a la korporasi, atau sebagaimana yang digambarkan A.V. Chayanov sebagai pertanian berbasis rumah tangga pada lahan-lahan sempit yang dimiliki sebagian besar oleh petani gurem. Atau berada di campuran keduanya, yakni, saling beriringan, kadang menyalib di tingkungan, terjadi kompetisi, persaingan antara pembisnis pertanian bersifat korporasi vs petani gurem pada bentangan alam yang sama dan lahan yang bisa-bisa tak hanya beriring tetapi tumpang tindih. Yang terakhir ini akan menelorkan kerentanan terhadap konflik-agraria, yang umumnya dimenangkan oleh yang kuat uangnya, sejauh penegah hukum mudah disuapi uang, bukan berdiri di atas kebenaran mengambil keputusan lewat timbangan keadilan.

Mengenal Alam Wonosobo
Kita mulai saja dari sumber penghidupan rakyat, yakni kecenderung tata guna lahan, baik yang berupa sawah (lahan basah) maupun non-sawah (lahan kering) di Kabupaten Wonosobo. Luas lahan di Kabupaten Wonosobo, sesuai dengan kondisi geografisnya, luas sawah sangatlah sempit yakni hanya 19 % (18,564 hektar) dari total lahan dan itu menghasilkan padi kering sawah 135,899 ton pada tahun 2010. Sementara itu luas lahan keringnya adalah 81 % nya (79,904 hektar) dari total lahan, dengan hasil sangat banyak, pada tahun 2010, yang antara lain berupa: dari yang terkecil hasilnya yakni teh 149.48 ton, kopi 689.00 ton; yang cukup besar yakni buah-buahan 106,925 ton, dan yang sangat besar adalah sayuran termasuk kenthang 191,238 ton serta palawija termasuk ketela dan jagung adalah 195,812 ton. Sedang, pada tahun 2009, tanaman primadona, disamping sayuran termasuk kenthang, adalah tembakau, yang jumlah pohonnya ada 19,767,000 batang pada luas lahan 988.40 hektar yang menghasilkan 419.3 ton daun tembakau kranjang.

Secara traditional wilayah yang menghasilkan paling banyak primadona tembakau adalah Anggrang-gondok utamanya di desa-desa Reco, Kapencar, Butuh dan Candiyasan, sementara di wilayah Dieng, secara lebih sedikit ada di antara lain desa-desa Krinjing dan Serang, dan di wilayah Sigedang ada di desa-desa Surengede dan Buntu. Untuk primadona kenthang adalah di wilayah Dieng, utamanya di desa-desa Dieng Wetan dan Sikunang. Sedikit di bawahnya ada di desa-desa Parikesit dan Patak Banteng. Kenthang juga, dalam jumlah lebh sedikit ditanam di wilayah Sigedang, yakni di desa-desa Surengede, Kejajar, Sigedang dan Tambi.


Kalau dilihat dari penguasaan/ kepemilikan lahan, dari seluas 79,904.15 hektare lahan kering, maka yang paling mini adalah padang rumput (5.8 ha), yang lumayan kolam ikan (219.7 ha), yang cukup luas adalah waduk (1,497.6 ha) dan perkebunan (2,681.4 ha),  yang luas pekarangan/bangunan (7,460.7 ha), dan yang sangat luas adalah hutan negara (18,888.1 ha) diungguli secara lipat dua oleh tegalan/kebun (46,221.5 ha), yang separoh kurang darinya berupa hutan rakyat (19,481.6 ha). Dari hutan negara tersebut terbagi sebagai berikut: hutan suaka alam 3,953.6 ha, hutan wisata 43.7 ha, hutan produksi tetap 11,148.98 ha, dan hutan produksi terbatas 4,546.08 ha. Hasil produksi hutan antara lain adalah kayu bulat, kayu gergajian, kayu olahan, dan hasil ikutan seperti gondorukem dan terpentin (dari getah pinus).

Semua tanaman yang bermacam sifat tersebut berinteraksi dengan tataguna dan pola kepenguasaan lahan. Memahami dan memperlakukan tanaman dengan bijak sesuai dengan tanah dan air serta iklim adalah perbuatan manusia. Sementara itu tataguna dan penguasaan lahan menentukan tanggungjawab yang dituntut oleh manusia terhadap alamnya.

Sebagai contoh akan hubungan manusia dan alam, kawan atau lawan, atas tanaman tembakau, salah satu primadona hasil bumi Wonosobo, tataguna dan penguasaan lahan kering dan berlereng yang sepenuhnya diserahkan pada kuasa juragan tembakau yang berani berspekulasi menyewa lahan di depan sementara petani yang semula pemilik menjadi buruh, akan dengan mudah mengejar perolehan bisnis, dus ber-agribisnis, daripada agriculture. Sifatnya ekstensif daripada intensif. Maka menghemat tenaga kerja menjadi ciri khasnya, dan boros air, serta berlimpah ruah pupuk buatan (fertilizer), pestisida, herbisida dan fungisida. Benih pun dipilih yang paling cepat menghasilkan, maka benih-benih hibrida kalau bukan malah benih transgenik, yang tidak bisa dijadikan benih lagi. Benih lokal yang kendati sifatnya menonjol pada sifat tertentu dan sudah adaptable pada ekosistemnya, tetapi kadang hasilnya tidak menarik mata, misal terlalu kecil atau terlalu besar hingga sulit distandardisasi oleh kemasan untuk pasar, atau warnanya kurang nge-jreng hijau atau merah atau kuning. Olah yang agribnisnis, yang tak tahan telaten, yang serba ingin cepat, dan serba jadi uang, kerapkali berentangan dengan alam, bahkan merusak dan mengkotorinya, hingga alam berbalik menyerang karena tidak tahan lagi daya penyesuaiannya. Misalnya seperti kasus tomcat yang merupakan predator wereng coklat, justru meledak kalau fungsi predator diganti oleh pestisida, hingga pekerjaan tomcat terdesak, maka ia cari obyek baru termasuk meganggu manusia.

Penyelesaian memakai pertanian organik dan alami, yang pada dasarnya melestarikan ekosistem, dari tanah dengan microbanya sampai benih dan pohon pelindungnya, tidaklah cukup. Sebab reforma agraria yang mengatur tata laksana penguasaan lahan yang adil, hingga tidak terjadi dominasi atas pelaku konservasi, namanya petani, oleh pemegang modal besar, adalah pula keharusan. Penyelesaian ekologis harus dikawal dengan penyelesaian struktur sosial ekonomi.



Kasus contoh ke dua adalah primadona kenthang. Kenthang yang ditanam adalah berasal dari bibit ‘unggul’, artinya juga hasil rekayasa genetika yang rentan terhadap musuk alam tertentu tetapi resisten/ tahan terhadap yang lain. Masalahnya musuh alam itu bisa dilawan dengan pestisida buatan, namun akan mengalami saturasi, titik jenuh, hingga justru bakterinya meningkat daya tahannya terhadap pestisida tertentu. Kenthang ditanam di cekungan dataran tinggi Dieng bekas kaldera, hingga kecenderungan air tirisan residue pestisida tidak gampang tapis pergi mengalir ke bawah. Tanah terkontaminasi residue pestisida cukup tinggi. Dan selain merusakkan bangunan petilasan candi, juga mengancam manusia petani penanamnya dan konsumennya. Pada kemiringan atau lereng, atau ereng-ereng, slope, cara salah mengelola tanah, juga akan berakibat erosi yang tinggi. Hara berkurang, tanah rusak dan kenyal, hingga lama-lama hasil kenthang menurun. Satu-satunya jalan-gelap bagi para petani penggarap adalah ditumpahkan lebih banyak lagi pestisida. Memang compost dan telethong dari dataran rendah seperti Bantul dan Sleman telah dibawa naik ke kebun-kebun kenthang untuk pemupukan, tetapi urea, posfat, di derah yang sudah banyak mineralnya, dimanjakan juga tanahnya. Belum hasil kenthang yang sarat residue kimia anorganik, akan masuk perut konsumen, dan bertiwikrama jadi racun ke dalam tubuh, yang mengurangi daya tahannya.

Selain itu, interaksi dengan tanah plus hara-nya yang semakin berkurang dan air-nya yang semakin mengering serta iklim yang semakin tidak menentu, juga menciptakan perseteruan horizontal antar alam, dan perseteruan vertical antara alam dengan manusia. Akhirnya manusia yang memetik kerugiannya, maka juga yang di satu sisi harus mengerem proses perusakan di sisi lain melestarikannya.

Manusia sebagai Kawan Alam
Berbicara mengenai manusia sebagai kawan alam adalah berbicara mengenai manajemen. Terhadap dan bersama alam, dari titik pangkal alam, manajemen atau pengelolaan, terdiri dari 8 tahap secara gradasi dari yang tidak akur sampai yang sedikit berkawan, cukup berkawan, sangat berkawan, dan paling sempurna total berkawan dengan alam:

(1)   Manajemen Teknik Kimia Anorganik dan Rekayasa Biologi atau ‘modern farming’, atau secara salah kaprah ‘pertanian konvensional’;

(2)   Manajemen Siklus flora dan fauna atau ‘mixed farming’ (pertanian campuran);

(3)   Manajemen waktu atau pertanian memakai ‘Pranata Mangsa’.

(4)   Manajemen Penanaman atau teknik penanaman atau ‘ecofarming’ (pertanian ramah lingkungan);

(5)   Manajemen Tanah, agronomis, atau ‘pertanian organis’, (aplikasi kimia organik dan biologi) dari yang semi organis atau ‘Lower External Inputs of Sustainable Agriculture’ (LEISA) sampai yang penuh sampai air tipis residue kimia anorganis;

(6)   Manajemen Tanaman atau ‘natural farming’ (pertanian alami);

(7)   Manajemen Lahan atau ‘permaculture’ (permanent agriculture);

(8) Manajemen Berkelanjutan Menyeluruh atau ‘Holistic Sustainable Agriculture’, yakni pertanian yang mengaplikasikan manajemen no.2 sampai 7 secara serempak dilengkapi dengan pilihan pola berbudaya dan berkeyakinan yang menjubuhkan antara kegiatan produsen dan konsumen.

Maka bila mengikuti tema dari diskusi terbuka ini, yakni tentang pertanian organis, kita hanya menjalankan manajemen berkawan dengan alam no.5 saja. Dari situ dapat disimpulkan betapa luas dan dalam usaha manusia berkawan dengan alam. Marilah kita ekplorasi ringkas satu per satu. Karena dengan waktu yang amat singkat dan tanpa praktek di lahan, hampir tidak mungkin kita menyecap pengetahuan dan praktek berkawan dengan alam ini. Yang bisa kita diskusikan di sini sekedar sebuah pengantar dari ilmu berkawan dengan alam yang sangat komplit. 



Add 1. Manajemen Aplikasi Teknik Kimia Anorganis dan Rekayasa Biologi.
Manajemen Aplikasi Kimia Anorganis dan Rekayasa Biologi (Genetika) adalah yang dilakukan Modernisasi Pertanian atau Revolusi Hijau jilid 1 (bibit hibrida) maupun ke-2 (produk transgenik). Untuk tanaman padi, seperti Indonesia, selain aplikasi pupuk buatan, pestisida, herbisida, fungisida ke dalam tanah, juga bibit hibrida dari jaman PB 5 sampai Cisadane dan IR, sampai Ciherang, semuanya cenderung boros air dan rentan pada hama tertentu, yang cocok dibasmi dengan pestisida tertentu. Alur logika bisnisnya dari pabrik kembali ke pabrik dengan keuntungan yang lebih besar. Pada Revolusi Hijau jilid-2, produk transgenik diperkenalkan. Yang semakin bisnis tinggi dari produk transgenik ini adalah diciptakannya benih terminator, yakni benih ini selain dimodifikasi dengan sifat bawaan (gen) tertentu – misal gemuk seperti Babi, juga dengan dimuati pestisida tertentu, lantas pula dibuat satu kali tanam mancet untuk ditanam kembali turuannya, jadi dibuat mandul. Dari situlah pabrik akan selalu dibutuhkan untuk memproduksi bibit baru, karena petani tidak bisa memproduksinya sendiri. Pabrik semakin berlipat untungnya, petani semakin tak berdaulat bahkan memproduksi bibitnya sendiri. Belum kalau kita memperhitungkan, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh derasnya residue kimia anorganik yang tidak terurai ke dalam tanah. Selain membuat tanah menjadi miskin, termasuk miskin hara atau tinggi keasamannya, juga residue tersebut berbahaya bagi para petani dan pemakan produknya. Selain itu residue kimia anorganik tersebut juga membunuh jasad renik, cacing tanah, dan predator untuk hama tanaman. Gerakan Pengendalian Hama Terpadu dengan Sekolah Lapangannya yang pada tahun 1990-an sampai awal 2000-an disponsori oleh FAO adalah gerakan memperlambat dampak negatif dari Revolusi Hijau. Murid-murid dari Sekolah Lapangan yang aktif berkisar 10,000 orang tersebar di seluruh penjuru tanah air inilah sekarang menjadi penggerak pertanian organik di mana-mana.

Add 2. Manajemen Siklus flora dan fauna atau ‘mixed farming’
Inti dari manajamen siklus hewan dan tumbuhan, yang bersifat simbiotik, saling mengisi dan saling menghidupi, ini adalah praktek tradisional dari bertani hampir di seluruh dunia. Sebagai contoh misalnya petani pengolah lahan juga sekaligus menangkar hewan seperti lembu, kambing dan kerbau. Pupuk kompos yang menghemburkan dan menyuburkan tanah didapat dari mengeringkan telethong, kotoran binatang, dicampur sisa-sisa makanan. Jerami atau batang-batang tanaman yang tidak dimakan manusia dikumpulkan untuk pakan ternak. Begitu seterusnya. Dan bisa ditambah dengan membuat digester untuk biogas mempergunakan kotoran ternak. Biogas mensuplai energi untuk rumah tangga, untuk memasak makanan dari petani, bisa juga dijadikan energi penerangan rumah tangga petani. Memang, mixed farming tidak harus pertanian organik, tetapi paling baik kalau juga mengaplikasikan pertanian organik, karena bahan pakan untuk ternak dan makan untuk manusia akan bebas dari pestisida yang tak terurai.

Add 3. Manajemen Waktu atau ‘Pranata Mangsa’.
Manajemen waktu atau pranata mangsa ini dipergunakan oleh nenek moyang kita. Kendati perubahan iklim juga menciptakan anomali cuaca (ketidak konsistenan cuaca, atau salah mangsa), namun sebagai pedoman walaupun harus digeser beberapa hari, masih dapat dipakai dengan cukup baik.

Perhitungannya berdasarkan ilmu perbintangan, khususnya bintang waluku atau gubug penceng di ufuk selatan. Ada 12 mangsa yang punya 12 sifat yang harus diperhitungkan agar masa tanam, masa mengolah, kapan waktu memupuk pas: mangsa kasa (hujan segar), karo (benih tumbuh), katelu (pohon berdaun/ bersemi), kapat (kapuk berbuah, burung manyar buat sarang), kalima (hujan deras), kanenem (pohon buah masak buahnya), kapitu (hujan curah tinggi, bisa banjir), kawolu (hujan mereda, kucing gandhik, apokat dan kepel berbunga), kasanga (padi mulai berisi ada yang menguning), kasadasa (padi menua, apokat duku salak berbuah), destha (umbi-umbian dan padi siap dipanen, burung meloloh-beri makan anaknya), dan sadha (hujan mereda, daun layu, matahari terik, air berkurang).


Add 4. Manajemen Penanaman atau teknik penanaman atau ‘ecofarming’
Intinya manajemen tanaman: tanaman tegakan dan lindung, tanaman sela dan pangan serta pakan, tanaman hasil uang (cash crop), tanaman pupuk endemik, tanaman obat-obatan dan pestisida, semua difungsikan dan saling mendukung secara berkelanjutan.

Add 5. Manajemen Tanah, agronomis, atau ‘pertanian organis’ atau LEISA
Intinya manajemen tanah: mengolah tanah, mempupuk tanah, dlsb. Ilmu tanah atau agronomi menjadi andalan. Alam tanah dan tumbuhan-tumbuhan serta ternak hewan mempunyai logikanya sendiri, maka sesedikit mungkin asupan (inputs) dari luar. Istilah LEISA adalah dari situ, artinya Lower External Inputs for Sustainable Agriculture. Kunci dari penghemburan dan pensuburan tanah adalah pengolahan tanah yang benar menurut lapis-lapisnya dan ditambah dengan kompos.

Aplikasi pestisida dan fungisida serta herbisidapun yang bersifat alami. Dari daun nimba sampai tembakau, sampai jahe, pun dapat dipergunakan. Untuk membasmi rumput waderan, memakai daun bambu. Untuk membasmi yuyu memakai daun dan batang pohon pepaya yang getaknya bisa membuat rontok kaki-kaki yuyu. Untuk mengenyahkan tikus, pematang disetrip, dan ditembok tanggul lagi, hingga lobang liang persembunyian tikus musnah, juga jarak antar tanaman diperlebar biar cukup terang.

Add 6. Manajemen Tanaman atau ‘natural farming’
Intinya manajemen penanaman: sistem surjan (hemat lahan), sistem tupangsari (hemat air), dan dari alam ke alam dipakai sebagai prinsip. EM-4 bisa dibikin sendiri dari buah-buahan yang membusuk, gula/ tetes, dan bahan alami yang lain. Sebagaimana pertanian organik, tetapi sama sekali mempergunakan alam, termasuk rerumputan dan binatang seperti semut mempunyai fungsinya.

Add 7. Manajemen Permaculture.
Intinya adalah manajemen lahan, sistem tanggul, sistem penahan, terasering, sistem penyimpanan air, dan design landscap menjadi andalan. Metode pekarangan luas di desa-desa atau kalau di negara Barat, farm, itulah contoh permaculture. Metode ini sepenuhnya juga mengaplikasikan pertanian organik dan mix farming, lengkap, idealnya, dengan biogas. Bila di Wonosobo dilakukan gerakan ini, kami yakin Brand Wonosobo pewaris kerajaan Mataram Syailendra abad-7 yang makmur, beradab, indah, nyaman, dan damai akan terwujud.

Add 8. Manajemen berkelanjutan holistik.
Manajemen ini mengaplikasikan manajemen no.2 sampai 7, dengan tambahan beberapa unsur. Pada manajemen berkelanjutan menyeluruh unsur penghayatan budaya maupun keyakinan yang transendental, seperti religiusitas bisa masuk menjadi bagian. Manajemen berkelanjutan holistik. Termasuk juga ke dalam keyakinan kultural tersebut adalah pola pengaturan hidup, pilihan pangan, pilihan pakaian, pilihan tempat tinggal, pilihan ambience yang menyangkut yang kasat mata dan telinga serta alat-alat peraba, pilihan pengaturan tata ruang, pilihan hiasan, pilihan rekreasi, pilihan bacaan dan pengkayaan ilmu, dan pilihan agama,dst. ‘Deep farming’, USA, pertanian yang dipraktekan oleh AWI, Jepang, maupun Schumacher Society, Inggris, bisa masuk wilayah manajemen berkelanjutan holistik ini. Untuk memastikan bahwa akan ‘berkelanjutan’ tidak harus tidak reforma agraria pro petani harus terselenggara.




Penutup
Organic farming atau tingkat lebih tinggi sedikit dan menyeluruh permaculture dan holistic agriculture adalah rumus perkawanan manusia dan alam yang mensyaratkan tidak hanya penguasaan teknologi alami, tetapi juga wawasan dan struktur kepenguasaan lahan yang pro rakyat pelaku utama yakni produsen tanaman, petani/ pekebun, peng-hutan, dan konsumen hasil, rakyat jelata. Wawasan mengisyaratkan pentingnya pendidikan penyadaran dan massa. Sementara struktur kepenguasaan lahan mengandaikan berjalannya reforma agraria yang dijamin kepastian hukum terutama dari para penegakknya. Penguasaan teknologi alami mengharuskan pelaku menjalankan pelatihan, utamanya yang berbasis praktek atau sekolah lapangan. Ketiga agenda itu harus dilaksanakan serempak dan dalam kurang waktu yang cukup panjang, sekitar 5 tahun. Peran pemerintah dan wakil rakyat adalah memastikan ke-3 agenda berjalan, dari sisi aturan hukum, semangat memberikan contoh, kreatifitas promosi, dan alokasi anggaran maupun para pendamping yang sudah mempraktekannya dengan sukses. Selain itu, peran swasta juga harus diatur dan didorong, agar mereka menjadi contoh dan semi ing pamrih, karena keuntungan akan dinikmati bersama-sama, dan jangan sampai menjadi penghalang khususnya soal penguasaan lahan, dimana Swasta cenderung serakah sementara rakyat tani kadang mudah tersulut, jalan damai dan adil harus dikedepankan.

Sejak dini baik di sekolah formal, maupun informal, maupun keluarga, pertanian alami syukur menuju permaculture dan pertanian holistik yang berkelanjutan harus menjadi kurikulum yang dipraktekkan. Semua didukung dengan budget yang cukup serta perencanaan partisipatif oleh pemerintah dan rakyat, hingga bertemulah kepentingan petani produsen dan rakyat konsumen.

Wonosobo yang subur lahannya, kaya sumber airnya, cuaca mendukung untuk tanaman gunung, harus menjadikan primadona pertanian alami holistik, mewarisi peninggalan-peninggalan jaman kuno budaya tinggi Kerajaan Mataram Kuno dinasti Syailendra. Itu semua kalau dikemas dengan jeli akan menjadi mendorong kerja ekologi ekonomi yang akhirnya menyejahterakan rakyat. Jangan sampai alam yang indah dan subur dirusak oleh keserakahan agribisnis, yang hanya uang sesaat yang dilihat di pelupuk mata, sementara uang dari hasil bertani selaras alam holistik yang akan berkelanjutan tidak dikerjakan. Ekonomi, budaya, sosial, religiositas, people’s forestry, ecotourism serta ecotrade dalam kerangka membangun Wonosobo selaras alam harus dipadukan dan dijalankan. Hingga suatu hari tak jauh ke depan Branding Wonosobo bukan daerah pegunungan gundhul dan buthak, tetapi daerah pegunungan nyaman dan tenteram, yang dicintai para dewa dan disayangi manusia. Semoga.

Yogyakarta, 10 April 2012
Update, 27 April 2013

Daftar Kepustakaan

Batara, Lily Noviani dan Ika N. Krishnayanti. 2010. Natural Farming: Rahasia Sukses Bertani Masa Kini. Jakarta: Bina Desa.

Batara, Lily Noviani dan Ika N. Krishnayanti. 2010. 19 Kiat Sukses Bertani Alami. Jakarta: Bina Desa.

Batara, Lily Noviani dan Ika N. Krishnayanti. 2010. Berbagi Pengalaman Sukses Bertani Alami. Jakarta: Bina Desa.

Fukuoka, Masanobu (transl. Frederic P. Metreaud). 1985. The Natural Way of Farming: The Theory and Practice of Green Philosophy. Tokyo: Japan Publications.

Gershuny, Grace. 1993. Start with the Soil. Emmaus: Rodale Press.

Indrowurjatno, AL. 1997. Pranata Mangsa: Kajian Bertani Berdasarkan Penanggalan Jawa. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Metzner, Joachim & N. Daldjoeni. Eds. 1987. Ekofarming: Bertani Selaras Alam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

McKibben, Bill. 2007. Deep Economy: The Wealth of Communities and The Durable Future. New York: Holt Paperbacks.

Mollison, Bill. 1988. Permaculture: A Designers’ Manual. Tyalgum: Tagari Publications.

Perlas, Nicanor and Renee Vellve. 1997. Oryza Nirvana? An NGO Review of the International Rice Research Institute in Southeast Asia. Quezon City: SEARICE.

Pracaya. 2008. Pengendalian Hama & Penyakit Tanaman Organik. Yogyakarta: Kanisius.

Rodale, Maria. 2010. Organic Manifesto. New York: Rodale.

Rosset, Peter and Medea Benjamin. Eds. 1994. The Greening of the Revolution: Cuba’s Experiment with Organic Agriculture. Melbourne: Ocean Press.

SPTN-HPS, Lesman, Mitra Tani. 2003. Belajar Pertanian Organik. Yogyakarta: Oxfam GB.

Sutanto, Rachman. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Veeresh, G.K., K. Shivashankar, and M.A. Singlachar. Eds. 1997. Organic Farming and Sustainable Agriculture. Bangalore: Association For Promotion of Organic Farming.

Tjahjadi, Riza V. Ed. 1993. Nature and Farming: Biodynamic Agriculture and Communal Resources Adaptation Systems: Selected Cases in Indonesia. Jakarta: PAN-Indonesia.

Tokuno, Gajin. 1986. Let Nature Do the Growing: The Fertilizer-free Vegetable Garden. Tokyo: Japan Publications.

Winangun, S.J., Wartaya. ed. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.

1 komentar:

  1. Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D




    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D






    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D




    BalasHapus