Oleh
Francis
Wahono
SEMAI
(Social Ecolonomis & Management Institute)
Cindelaras
Paritrana Foundation, Yogyakarta
Jejer: Humanisasi
Tema makalah yang diberikan oleh
panitia kepada saya sangat besar dan membuat gentar (daunting)
pemakalah. Saya diharap merambah dan
mensintesiskan iman, IPTEK, budaya di “era globalisasi”. Ungkapan “era globalisasi” adalah ungkapan
netral, tanpa perlu dipertanyakan secara kritis, seolah tiada dosa dan
baik-baik saja. Dengan mohon maaf pada panitia, atas dua catatan di atas, saya
memilih judul yang lebih sintesis
dan terjangkau oleh sebuah makalah pendek ini. Makalah pendek ini tak hendak
mengeksplorasi tuntas segala segi iman, IPTEK dan budaya, tetapi sekedar hendak
memberikan sintesis
yang menjadi panduan pilihan hidup tindak keseharian. Makalah ini sekedar
sebuah sketsa.
Penyampaian saya coba babak-lakonkan dalam simbol wayang,
“perang tanding Arjuna dan Karno”, agar kita lebih mudah memotretnya dengan
pikiran.
Mengikuti cara bernalar N. Driyarkara
(Sudiarja et al. (eds.) 2006: 708-715), humanisasi dapat saya rumuskan
sebagai usaha manusia untuk melaksanakan sikap/pandangan hidup sebagai makhluk
yang unik, sehingga ia bebas dari kesengsaraan, kekangan, dan paksaan alam.
Semula humanisme, atau sikap/pandangan hidup atas keunikkan manusia, ditentang
oleh agama, karena menyangkal transendensi dan hidup kekal, tapi setelah yang
profan disadari merupakan bagian dari evolusi eskhatologis, maka oleh Gereja
sudah dijadikan sobat. Dalam ekonomi Budhis-nya E.F. Schumacher (1973: 58),
humanisasi dirumuskan sebagai karya-luhur (good work) manusia yang
terdiri dari 3 tugas yakni: ” memberikan kesempatan kepada manusia untuk
mempergunakan dan memperkembangkan kemampuan-kemampuannya; dengan bergubung
dengan orang lain dalam pekerjaan bersama, manusia bisa mengatasi kecenderungan
sifat egoisnya; dan menyediakan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan
manusia untuk ber-ada”. Atau lebih ringkas dirumuskan oleh Goulet (1971: 18)
sebagai: “berkecukupan agar semakin bermakna” (to have enough in order to be
more), tentunya, sebagai manusia. Dalam kata-kata Hans Kung (1993b: 31),
humanisasi berarti bahwa: “manusia harus semakin menjadi bermakna dan berpenuh
daripada kondisinya sekarang ini, manusia harus semakin menjadi semakin
manusiawi...lebih dari sebelumnya manusia harus mendulang semua pontensinya
dengan sehebat mungkin agar masyarakat yang semakin manusiawi dan ber-utuh-lingkungan terealisasi.”
Pada konteks bangsa-bangsa berkembang atau Selatan, mengikuti Sen (1999:
87-110) tiadanya humanisasi dapat dibaca dari indikator ‘ketidak-berdayaan
kapabilitas” bangsa atau orang. Kapan
bangsa atau orang mengalami ‘ketidak-berdayaan kapabilitas’? Jawabnya adalah:
bila lemah dalam penguasaan dan akses sarana-sarana menjadi manusia sepenuhnya,
yakni bila hak-hak dasar hidup pribadi, keluarga, sipil, ekonomi, sosial dan
budayanya tidak terpenuhi atau diingkari (Sen 1999 dan Goldewijk 1999). Secara
konkret, kalau orang tersebut petani, ia petani dengan tanah sempit (kendati
UUPA 1960 mewajibkan negara memberikan minimal 2 hektar tanah subur kepada tiap
keluarga petani beraqnggotakan 7 orang) dan tidak mendapatkan akses air irigasi
yang memadai (sumber air dikuasai perusahaan raksasa kemasan air atau digunakan
investor besar tambak, atau juga mataair mengecil karena hutan dibabat terus
tanpa penghijauan), bila karena
itu petani tidak mempunyai pekerjaan yang cukup, akhirnya juga pendapatanya tidak cukup untuk
menanggung makan, kesehatan dan bersosial dan budaya. Bila ia adalah nelayan,
ia tidak mempunyai kapal dan sulit mendapatkan ijin mencari ikan atau tidak
diakui hak adatnya di suatu wilayah tangkapan ikan, akibatnya tidak cukup
penghasilan, oleh karenanya
terlilit hutang turun temurun. Dalam situasi demikian mana mungkin keluarga
nelayan membiayai pendidikan anak dan kesehatan keluarga. Bila ia buruh kebun,
ia tak boleh berserikat, hingga tidak bisa tawar menawar upah dan jaminan
sosial vis-a-vis manajemen kebun.
Bila ia masyarakat adat sekitar hutan atau deposit mineral, ia diingkari hak
adatnya untuk hidup dari hasil hutan atau dirusak lingkungan hidupnya oleh
tambang yang ia tidak diberi-share. Bila ia guru dan dosen, digaji
rendah tidak setimpal dengan beban kerjanya atau dipotong gajinya untuk
berbagai macam pungutan, atau dipersulit dengan berbagai aturan yang tidak ada
relevansinya dengan pendidikan.
Berhadapan dengan kekuasaan negara
yang pro kapital dan kekuasaan kapital yang menglobal sebagaimana roh buruk-nya
dinyalakan oleh ideologi neoliberalisme, humanisasi adalah sebuah perjuangan,
bukan sesuatu yang dapat diharap sebagai belas kasih. Bahkan dalam arti
tertentu, humanisasi adalah sebuah perang. Perang dari praktek iman, sejauh
humanisasi dimengerti sebagai bentuk purna praktek iman, berhadapan dengan
neoliberalisme. Yang menjadi kesulitan dalam perang ideologis ini adalah bahwa
neoliberalisme tersebut sudah begitu mencengkeram, menyelusupi, dan menjerat baik
birokrasi pemerintah, kaum intelektual maupun masyarakat luas yang mengambang
dan tidak kritis. IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) tak pelak lagi menjadi
alat penyebarannya, justru karena telah pula dikomodifikasi dengan mantra “bila
secara bisnis IPTEK tidak menguntungkan, maka tidak akan berkembang’.
Kurusetra:
Praktik Iman vs. Neoliberalisme
Bila pertempuran ideologi dan praksis
(aksi yang tersadari) di medan dunia adalah pernang tanding antara Arjuna dan Karna,
masing-masing sebagai wakil Pandawa dan Kurawa, maka Padang Kurusetra telah
hampir dikuasai oleh Kurawa yang Neoliberalis. Artinya pejuang humanisasi,
praktek iman, seperti Arjuna dan kawan-kawan dalam posisi terjepit.
Neoliberalisme datang menyerang dan
menguasai dari hampir semua arah. Negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, yang
kaya sumber daya alam dan besar calon konsumennya, karena salah manejemen dan
beratnya korupsi para pemimpinnya, terjerat dalam hutang yang berat. Ketidak
mampuan mengembalikan hutang memaksa pemerintahnya untuk menanda tangani LOI (letter of intent), artinya diopname
sebagai pasien Lembaga Keuangan Dunia (IMF). Artinya, program SAP (structural adjusment program),
pengetatan ikat pinggang agar tetap bisa mengangsur hutang tuan-tuan besar, miskin seperti apa pun
rakyatnya. Suku bunga Bank dinaikan, agar jangan banyak uang dipinjam untuk
investasi dalam negeri. Investani merosot, produksi anjlok, buruh-buruh di-PHK,
pengangguran meroket. Penghasilan rakyat menurun drastis, kemiskinan dan
kesengsaraan tercipta. Sementara itu, di tingkat global, setelah USSR dan Eropa
Timur di bawah Soviet ambruk, kekuasaan militer, politik dan ekonomi dunia
tinggal USA. Jadilah USA satu-satunya polisi dunia, jawara global, sampai pada akhir-akhir ini mulai
tersaingi oleh jawara ekonomi militer baru, Cina. Perangkat neoliberalisme yang
meliputi, perdangangan bebas (sembarang: barang, jasa, uang, informasi,
teknologi, ilmu, cerita rakyat, produk rakyat, makhluk hidup – microorganisme),
privatisasi (korporisasi dari BUMN), desentralisai kekuasaan politik dan bisnis
dibakukan dalam ikatan modial yang penuh sangsi. Ikatan-ikatan modial itu
antara lain TRIPs (hak cipta dan paten), AOA (produk pertanian), GATS (jasa),
dan TRIMs (investasi). Semua aturan internasional itu telah entah diratifikasi
entah dibuatkan undang-undang senada oleh negara-negara Selatan seperti
Indonesia. Pada pelaku raksasa yang lain, adalah korporasi lintas negara, yang
dengan berbagai macam cara
me-monopoli-sasikan diri sehingga dari hilir ke hulu, dari lambung kanan ke
kiri menguasai produksi dan pemasaran.
Rakyat kecil yang termarginalkan diberi hiburan dengan berbagai program
jaminan pengamanan sosial, yang serba sementara dan tidak tuntas (cf. Van
Drimmelen 1998; Wibowo dan F. Wahono 2003).
Maka, media untuk meningkatkan
kapabilitas dari rakyat hampir semua hilang, seperti biaya sekolah dan
kesehatan yang seharusnya diongkosi negara. Kebutuhan hidup rakyat banyak
seperti pangan (beras, kedelai, jagung, gula, dlsb) serta energi (minyak tanah,
gas dan bensin) hampir semua harus diimpor dan semakin mahal.
Kesengsaraan dan kesrakatan di tingkat masyarakat ini, yang
memanggil agama untuk mempraktekan imannya. Minimal ada dua jalan, lembaga agama
dan orang beragama dapat menjadi pemadam kebakaran (itu bila mengurus korban
saja) atau bisa sekaligus beradvokasi untuk ikut merubah kebijakan nasional
maupun global (kadang tak berpengalaman dan menunggu data cukup, dan tak pernah
cukup).
Dari segi uang, lembaga agama pasti
kalah dengan para kapital. Maka peluangnya, bila khotbah etikis tidak mempan
lagi, melalui pertarungan IPTEK. Tapi IPTEK ini juga telah dikuasai oleh
kapital. Namun, untuk menguasai IPTEK, selain uang, orang dapat mengandalkan
ketekunan dan otak cemerlang, serta kesempatan. Jadi peluangnya masih besar.
Hanya saja, agar IPTEK sebagai alat dapat dimenangkan oleh praktek iman, maka
praktek iman atau usaha humanisasi perlu menstranformasikan diri, mengubah diri
total dari dalam kekuatan eksistensinya. IPTEK perlu dijala dengan wadah-nya
yakni budaya. Tetapi budaya perlu transformasi agar dapat mengendalikan IPTEK.
Pasopati: IPTEK (ilmu
pengetahuan dan teknologi)
Perihal IPTEK ada yang beranggapan ia
netral-netral saja, tetapi ada yang beranggapan ia sama sekali tidak netral.
Gunnar Myrdal mengatakan IPTEK tidak bebas dari premis nilai. Selalu ada nilai
yang diandaikan dibalik produk IPTEK. Dengan kata lain IPTEK bukan bebas nilai,
tetapi syarat nilai. Kawanan nilai dan prakteknya yang menjadi rumah IPTEK
itulah budaya.
Menyusuri pergulatan Theilard de
Chardin dan Stephen Hawking akan rahasia mikro dan makro alam semesta, kita
tahu bahwa IPTEK bila digali secara habis-habisan, akhirnya akan mempertemukan
orang dengan kekuatan penyimpul sistematis
Hyang Maha Besar. Dengan kata lain IPTEK adalah salah satu alat utama
menuju Tuhan, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi alat utama untuk menjauhi
Tuhan.
Bertemu dengan Tuhan, dalam konotasi
iman adalah bertemu dengan Kerajaan Kasih, Damai dan KeadilanNya.
Sebaliknya tidak bertemu dengan Tuhan,
dalam konotasi iman adalah jatuh dalam Kegelapan, Peperangan, dan Penindasan.
Humanisasi gagal bila orang tidak
bertemu Tuhan tetapi jatuh dalam Kegelapan.
IPTEK sebagai alat untuk bertemu Tuhan
maupun bila gagal bertemu Kegelapan harus diperebutkan.
Bila IPTEK sebagaimana secara dominan
terjadi sekarang ini, dikuasai oleh neoliberalisme, artinya dijauhkan dari
praktek iman untuk humanisasi, maka habislah manusia. Manusia tidak lagi
manusiawi penuh, tetapi barangkali jadi komoditi yang dibuang bila sudah usang.
Manusia seharusnya tidak mengalami keusangan dengan tubuhnya yang menua, tetapi
mengalami transformasi “fully human” beyond
ketuaan fisik.
Pasopati sebagai senjata pamungkas dalam Arjuna-,Karna
tanding hanya dapat diperoleh lewat keber-tapa-an Arjuna, artinya Arjuna
sebagai manusia bertransendensi mendekati citra keDewa-annya. Transendensi
manusia beyond fisik itulah transformasi budaya.
Kresna dan Salya:
Transformasi Budaya
Praktek iman, yang tinggi atau transendensi,
harus berkendaraan ‘luasannya’ yakni bertranformasi budaya agar bisa mengapai
IPTEK yang tidak selalu dalam wilayah kekuasaan iman, juga agar dapat merangkul
pluralitas dari etnis dan agama, kalau tidak praktek iman akan kerdil dan kuper (kurang pergaulan).
Budaya, menurut Koentjaraningkrat
terdiri dari 3 lapisan yakni nilai-nilai ideal (norma-norma kehidupan),
kelakuan yang berpola, dan produknya (fisik umumnya). Peradaban seperti habitus
adalah budaya yang berjalan dan berkembang dengan waktu. Transformasi budaya
adalah habitus, peradaban,
yang diabdikan pada tujuan humanisasi, memanusikan manusia. Pada sendirinya,
sebagai konsekuensi, transformasi budaya tentunya harus menentang ideologi
seperti neoliberalisme, sebab neliberalisme menentang pe-manusia-an manusia ( ia
mengkomodifikasikan manusia).
Keprihartinan van der Meulen (1970-an)
mengenai Revolusi Industri abad-18, yang pada dasarnya berputar karena revolusi
IPTEK, sebagai pemula praktek neoliberalisme amatlah relevan sampai kini:
“Meskipun pada abad ke-18, Revolusi
Industri sudah siap dimulai, tetapi tidak ada persiapan untuk menertibkan
kegoncangan sosial yang diakibatkannya. Semua ikatan tradisional, yang pernah
“berjasa” mempertahankan keseimbangan sosial, menjadi hancur-berantakan dalam
kegoncangan atau justru sengaja dipatahkan. Demikianlah karena timbulnya
semangat liberal, maka dimana-mana dilakukan usaha memutuskan ikatan gilda,
sedangkan ikatan keluarga dan keagamaan hancur dalam perpindahan kaum buruh ke
pusat-pusat industri baru. Jelaslah, betapa dibutuhkan banyak penderitaan,
perjoangan dan pemberontakan sebelum manusia insyaf, bahwa industrialisasi liar
(baca: IPTEK untuk bisnis semata) tanpa jaminan-jaminan dan undang-undang
sosial menciptakan keadaan, yang mewujud-nyatakan sebutan “homo homini lopus” (manusia serigala bagi sesamanya).” (van der
Meulen 1970?: 16).
Bagaimana transformasi budaya itu?
Kembali ke siasat perang Baratayudha khususnya Arjuna-Karna tanding. Anak panah
Pasopati, IPTEK jaman sekarang, memang terlepas dari busur yang dikendalikan
Arjuna, namun terlepasnya panah itu tidak mungkin mengenai sasarannya, yakni
Karna, kalau, di satu sisi Kresna tidak mensiasati keraguan Arjuna melepaskan
anak panah terarah pada saudara sama-ibu, Karna; di lain sisi Salya tidak me-njingkat-kan (melentingkan kaki belakang
kuda) kuda agar kereta sedikit terungkit. Siasat Kresna dan Salya itulah yang
kita sebut sebagai transformasi budaya. Untuk merebut dan mengenggam IPTEK di
tangan tujuan kita, iman yang meluaskan gapaian tangannya dengan mempergunakan
jasa transformasi budaya. Karena iman pada dasarnya canggung dan penuh
perhitungan, kurang cekatan dan luwes, bila harus memegang kendali IPTEK.
Mengapa, hubungan iman dan lembaga agama, seperti kalpika (mata cicin) dan
embanan (wadah pemegangnya), kendati lembaga agama
memelihara iman, namun untuk bergerak lincah tidak jarang lembaga agama menjadi
penghalang kalau bukan beban iman.
Untuk bergerak dan merebut IPTEK dari
cengkeraman neoliberalisme, seperti hubungan dalam sel antara inti dan
plasmanya, demikian iman dan transformasi budaya. Tanpa transformasi budaya,
iman tidak mudah bergerak pada arena profan seperti IPTEK.
Bagaimana budaya ditransformasikan?
Inti dari budaya, yakni “norma-norma nilai budaya”, seperti kebenaran, perdamaian,
keadilan berlaku tetap hampir untuk semua lembaga agama dan kesatuan budaya.
Yang bisa berubah dan mesti berubah adalah lapisan “kelakuan budaya”, dan
akhirnya juga “produk budaya” ikut berubah. Maka acapkali transformasi
diartikan perubahan dari dalam dengan titik pangkal inti budaya (yang tak perlu
berubah).
Contoh dari itu, berhadapan dengan
neoliberlisme, adalah norma-norma nilai yang terkandung dalam hak-hak asasi
manusia dan ekonomi, sosial serta budaya, serta nilai-nilai dari konservasi ekologi.
Nilai-nilai dari hak asasi manusia dan hak ecosoc
serta konservasi ekologi adalah nilai kebenaran, kedamaian dan keadilan yang
juga ada dalam budaya-budaya Jawa, berbagai Batak dan Dayak, Flores, Papua,
dlsb. Juga nilai yang sama terkandung dalam ajaran-ajaran Gereja dan berbagai
agama. Nilai normatifnya sama, tetapi untuk IPTEK yang dicengkeram oleh
neoliberalisme, nilai itu butuh diekspresikan dalam laku dan produk budaya yang
sesuai. Laku dan produk hak-hak asasi dan konservasi ekologi adalah bentuk
transformasi budaya dari nilai dasariah tadi. Bagaimana dengan kesetaraan
gender?
Kesetaraan gender apakah ada nilai
normatifnya dalam budaya traditional yang cenderung paternalistik. Kesetaraan
gender sering kali disilang-sengketakan
dengan paternalisme. Padahal inti paternalisme, khususnya dalam budaya Minang,
adalah maternalisme juga. Inti nilainya adalah parentalisme, bukan pater maupun
bukan mater. Parentalisme artinya garis keturunan orang tua (laki-perempuan).
Dengan itu justru kesetaraan gender adalah bentuk transformasi budaya dari
parentalisme, orang tua tidak dibedakan laki atau perempuan atau mencakup
kedua-duanya.
Karna Pralaya
Arjuna Jaya : Humanisasi
Hanya dengan bertransformasi budaya
itulah praktek iman dapat berhumanisasi. Tanpa transformasi budaya, iman sering
terkungkung oleh budaya lembaga agama dari mana semula tumbuh atau berkembang.
Maka iman perlu dibebaskan dari kungkungan budaya yang mandeg, caranya dengan
menunggang kendaraan transformasi budaya. Dengan transformasi budaya, praktek
iman bisa dan mampu mengendalikan IPTEK, merebut IPTEK dari cengkeraman
neoliberalisme, untuk tujuan humanisasi, memanusiakan manusia sebagai pemenuhan
bentuk kecitraan Tuhan Allah.
Karna pralaya, mati, Arjuna jaya,
hidup, lambang keangkara-murkaan
mati, lambang kehidupan menyala. Itulah humanisasi yang dapat dicapati ketika
praktek iman menunggang transformasi budaya untuk menguasai IPTEK, hingga
menjadi alat memanusiakan manusia, bukan sebaliknya mengkomodifikasikan
manusia.
Yogyakarta, 8 Desember 2007
Upate: Pontianak, 29 April 2013
Kepustakaan
Dahler, Franz dan Eka Budianta. 2000. Pijar Peradaban
Manusaia, Denyut Harapan Evolusi. Yogyakarta: Kanisisus.
Drimmelen, Rob van. 1998. Faith in a Global Economy, A
Primer for Christians. Geneva: WCC Publications.
Ferguson, Kitty. 1992. Stephen Hawking, Quest for a
Theory of Everything. Toronto: Bantam Books.
Fuellenbach, John. 1989. The Kingdom of God: The Hear
of Jesus’ Message for Us Today. Manila: Divine Word Publications.
Goldewijk, Berma Klein and Bas de Gaay Fortman. 1999. Where
Needs Meet Rights: Economic, Social and Cultural Rights in a New Perspective.
Geneva: WCC.
Goulet, Denis. 1971. The Cruel Choice: A New Concept
in the Theory of Development. New York: Atheneum.
Hawking, Stephen W. 1988. A Brief History of Time,
from the Big Bang to Black Holes. Toronto: Bantam Books.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan
Pembangunan. Bunga Rampai.l Jakarta: Gramedia.
Kung, Hans. 1993.a. Credo: The Apostles’ Creed
Explained for Today. London: SCM Press.
Kung, Hans. 1993.b. Global Responsibility: In Search
of a New World Ethic. New York: Continuum Publishing Company.
Kung, Hans. 1993.c. A Global Ethic: The Declaration of
the Parliament of the World’s Religions. New York: Continuum.
Meulen, van der. circa 1970-an. Balajar dari Lahirnya
Industrialisasi di Eropa. Jakarta: Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi
Katolik.
Peursen, c.a. van. (terj. Dick Hartoko). 1976. Strategi
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful, Economics
as if People Mattered. New York: Harper and Row.
Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New
York: Anchor Books.
Sony Keraf, A. Dan Michael Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisus.
Sudiarja, A, G. Budi Subanar, et al. (eds.). 2006. Karya
Lengkap Driyarkara. Jakarta: Gramedia (kerjasama dengan: Kompas, Kanisius
dan Serikat Yesus).
Wibowo, I. dan Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme.
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Zen, M.T. (ed.). 1984. Sains, Teknologi dan Hari Depan
Manusia. Jakarta: Gramedia untuk OBOR.
· Makalah
disampaikan pada Seminar Cendekiawan Katolik Yogyakarta dengan tema “Bagaimana
Iman, IPTEK dan Budaya dapat sejalan dalam era Globalisasi” yang
diselenggarakan oleh Bhumiksara Rukun
Lokal Yogyakarta, di Ruang Seminar LPU-Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta,
Sabtu, 08 Desember 2007.
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
BalasHapusTerimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D