Selasa, 07 Mei 2013

HUMANISASI SEBAGAI TRANSFORMASI BUDAYA


 Sarana Iman Merebut IPTEK dari Cengkeraman Neoliberalisme·


Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomis & Management Institute)
Cindelaras Paritrana Foundation, Yogyakarta

Jejer: Humanisasi
Tema makalah yang diberikan oleh panitia kepada saya sangat besar dan membuat gentar (daunting) pemakalah.  Saya diharap merambah dan mensintesiskan iman, IPTEK, budaya di “era globalisasi”.  Ungkapan “era globalisasi” adalah ungkapan netral, tanpa perlu dipertanyakan secara kritis, seolah tiada dosa dan baik-baik saja. Dengan mohon maaf pada panitia, atas dua catatan di atas, saya memilih judul yang lebih sintesis dan terjangkau oleh sebuah makalah pendek ini. Makalah pendek ini tak hendak mengeksplorasi tuntas segala segi iman, IPTEK dan budaya, tetapi sekedar hendak memberikan sintesis yang menjadi panduan pilihan hidup tindak keseharian. Makalah ini sekedar sebuah sketsa.

Penyampaian saya coba babak-lakonkan dalam simbol wayang, “perang tanding Arjuna dan Karno”, agar kita lebih mudah memotretnya dengan pikiran.
Mengikuti cara bernalar N. Driyarkara (Sudiarja et al. (eds.) 2006: 708-715), humanisasi dapat saya rumuskan sebagai usaha manusia untuk melaksanakan sikap/pandangan hidup sebagai makhluk yang unik, sehingga ia bebas dari kesengsaraan, kekangan, dan paksaan alam. Semula humanisme, atau sikap/pandangan hidup atas keunikkan manusia, ditentang oleh agama, karena menyangkal transendensi dan hidup kekal, tapi setelah yang profan disadari merupakan bagian dari evolusi eskhatologis, maka oleh Gereja sudah dijadikan sobat. Dalam ekonomi Budhis-nya E.F. Schumacher (1973: 58), humanisasi dirumuskan sebagai karya-luhur (good work) manusia yang terdiri dari 3 tugas yakni: ” memberikan kesempatan kepada manusia untuk mempergunakan dan memperkembangkan kemampuan-kemampuannya; dengan bergubung dengan orang lain dalam pekerjaan bersama, manusia bisa mengatasi kecenderungan sifat egoisnya; dan menyediakan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan manusia untuk ber-ada”. Atau lebih ringkas dirumuskan oleh Goulet (1971: 18) sebagai: “berkecukupan agar semakin bermakna” (to have enough in order to be more), tentunya, sebagai manusia. Dalam kata-kata Hans Kung (1993b: 31), humanisasi berarti bahwa: “manusia harus semakin menjadi bermakna dan berpenuh daripada kondisinya sekarang ini, manusia harus semakin menjadi semakin manusiawi...lebih dari sebelumnya manusia harus mendulang semua pontensinya dengan sehebat mungkin agar masyarakat yang semakin manusiawi dan ber-utuh-lingkungan terealisasi.” Pada konteks bangsa-bangsa berkembang atau Selatan, mengikuti Sen (1999: 87-110) tiadanya humanisasi dapat dibaca dari indikator ‘ketidak-berdayaan kapabilitas”  bangsa atau orang. Kapan bangsa atau orang mengalami ‘ketidak-berdayaan kapabilitas’? Jawabnya adalah: bila lemah dalam penguasaan dan akses sarana-sarana menjadi manusia sepenuhnya, yakni bila hak-hak dasar hidup pribadi, keluarga, sipil, ekonomi, sosial dan budayanya tidak terpenuhi atau diingkari (Sen 1999 dan Goldewijk 1999). Secara konkret, kalau orang tersebut petani, ia petani dengan tanah sempit (kendati UUPA 1960 mewajibkan negara memberikan minimal 2 hektar tanah subur kepada tiap keluarga petani beraqnggotakan 7 orang) dan tidak mendapatkan akses air irigasi yang memadai (sumber air dikuasai perusahaan raksasa kemasan air atau digunakan investor besar tambak, atau juga mataair mengecil karena hutan dibabat terus tanpa penghijauan), bila karena itu petani tidak mempunyai pekerjaan yang cukup, akhirnya juga pendapatanya tidak cukup untuk menanggung makan, kesehatan dan bersosial dan budaya. Bila ia adalah nelayan, ia tidak mempunyai kapal dan sulit mendapatkan ijin mencari ikan atau tidak diakui hak adatnya di suatu wilayah tangkapan ikan, akibatnya tidak cukup penghasilan, oleh karenanya terlilit hutang turun temurun. Dalam situasi demikian mana mungkin keluarga nelayan membiayai pendidikan anak dan kesehatan keluarga. Bila ia buruh kebun, ia tak boleh berserikat, hingga tidak bisa tawar menawar upah dan jaminan sosial vis-a-vis manajemen kebun. Bila ia masyarakat adat sekitar hutan atau deposit mineral, ia diingkari hak adatnya untuk hidup dari hasil hutan atau dirusak lingkungan hidupnya oleh tambang yang ia tidak diberi-share. Bila ia guru dan dosen, digaji rendah tidak setimpal dengan beban kerjanya atau dipotong gajinya untuk berbagai macam pungutan, atau dipersulit dengan berbagai aturan yang tidak ada relevansinya dengan pendidikan.

Berhadapan dengan kekuasaan negara yang pro kapital dan kekuasaan kapital yang menglobal sebagaimana roh buruk-nya dinyalakan oleh ideologi neoliberalisme, humanisasi adalah sebuah perjuangan, bukan sesuatu yang dapat diharap sebagai belas kasih. Bahkan dalam arti tertentu, humanisasi adalah sebuah perang. Perang dari praktek iman, sejauh humanisasi dimengerti sebagai bentuk purna praktek iman, berhadapan dengan neoliberalisme. Yang menjadi kesulitan dalam perang ideologis ini adalah bahwa neoliberalisme tersebut sudah begitu mencengkeram, menyelusupi, dan menjerat baik birokrasi pemerintah, kaum intelektual maupun masyarakat luas yang mengambang dan tidak kritis. IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) tak pelak lagi menjadi alat penyebarannya, justru karena telah pula dikomodifikasi dengan mantra “bila secara bisnis IPTEK tidak menguntungkan, maka tidak akan berkembang’.

 Kurusetra: Praktik Iman vs. Neoliberalisme

Bila pertempuran ideologi dan praksis (aksi yang tersadari) di medan dunia adalah pernang tanding antara Arjuna dan Karna, masing-masing sebagai wakil Pandawa dan Kurawa, maka Padang Kurusetra telah hampir dikuasai oleh Kurawa yang Neoliberalis. Artinya pejuang humanisasi, praktek iman, seperti Arjuna dan kawan-kawan dalam posisi terjepit.

Neoliberalisme datang menyerang dan menguasai dari hampir semua arah. Negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, yang kaya sumber daya alam dan besar calon konsumennya, karena salah manejemen dan beratnya korupsi para pemimpinnya, terjerat dalam hutang yang berat. Ketidak mampuan mengembalikan hutang memaksa pemerintahnya untuk menanda tangani LOI (letter of intent), artinya diopname sebagai pasien Lembaga Keuangan Dunia (IMF). Artinya, program SAP (structural adjusment program), pengetatan ikat pinggang agar tetap bisa mengangsur hutang tuan-tuan besar, miskin seperti apa pun rakyatnya. Suku bunga Bank dinaikan, agar jangan banyak uang dipinjam untuk investasi dalam negeri. Investani merosot, produksi anjlok, buruh-buruh di-PHK, pengangguran meroket. Penghasilan rakyat menurun drastis, kemiskinan dan kesengsaraan tercipta. Sementara itu, di tingkat global, setelah USSR dan Eropa Timur di bawah Soviet ambruk, kekuasaan militer, politik dan ekonomi dunia tinggal USA. Jadilah USA satu-satunya polisi dunia, jawara global, sampai pada akhir-akhir ini mulai tersaingi oleh jawara ekonomi militer baru, Cina. Perangkat neoliberalisme yang meliputi, perdangangan bebas (sembarang: barang, jasa, uang, informasi, teknologi, ilmu, cerita rakyat, produk rakyat, makhluk hidup – microorganisme), privatisasi (korporisasi dari BUMN), desentralisai kekuasaan politik dan bisnis dibakukan dalam ikatan modial yang penuh sangsi. Ikatan-ikatan modial itu antara lain TRIPs (hak cipta dan paten), AOA (produk pertanian), GATS (jasa), dan TRIMs (investasi). Semua aturan internasional itu telah entah diratifikasi entah dibuatkan undang-undang senada oleh negara-negara Selatan seperti Indonesia. Pada pelaku raksasa yang lain, adalah korporasi lintas negara, yang dengan berbagai macam cara me-monopoli-sasikan diri sehingga dari hilir ke hulu, dari lambung kanan ke kiri menguasai produksi dan pemasaran.  Rakyat kecil yang termarginalkan diberi hiburan dengan berbagai program jaminan pengamanan sosial, yang serba sementara dan tidak tuntas (cf. Van Drimmelen 1998; Wibowo dan F. Wahono 2003).

Maka, media untuk meningkatkan kapabilitas dari rakyat hampir semua hilang, seperti biaya sekolah dan kesehatan yang seharusnya diongkosi negara. Kebutuhan hidup rakyat banyak seperti pangan (beras, kedelai, jagung, gula, dlsb) serta energi (minyak tanah, gas dan bensin) hampir semua harus diimpor dan semakin mahal.

Kesengsaraan dan kesrakatan di tingkat masyarakat ini, yang memanggil agama untuk mempraktekan imannya. Minimal ada dua jalan, lembaga agama dan orang beragama dapat menjadi pemadam kebakaran (itu bila mengurus korban saja) atau bisa sekaligus beradvokasi untuk ikut merubah kebijakan nasional maupun global (kadang tak berpengalaman dan menunggu data cukup, dan tak pernah cukup).

Dari segi uang, lembaga agama pasti kalah dengan para kapital. Maka peluangnya, bila khotbah etikis tidak mempan lagi, melalui pertarungan IPTEK. Tapi IPTEK ini juga telah dikuasai oleh kapital. Namun, untuk menguasai IPTEK, selain uang, orang dapat mengandalkan ketekunan dan otak cemerlang, serta kesempatan. Jadi peluangnya masih besar. Hanya saja, agar IPTEK sebagai alat dapat dimenangkan oleh praktek iman, maka praktek iman atau usaha humanisasi perlu menstranformasikan diri, mengubah diri total dari dalam kekuatan eksistensinya. IPTEK perlu dijala dengan wadah-nya yakni budaya. Tetapi budaya perlu transformasi agar dapat mengendalikan IPTEK.

Pasopati: IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi)

Perihal IPTEK ada yang beranggapan ia netral-netral saja, tetapi ada yang beranggapan ia sama sekali tidak netral. Gunnar Myrdal mengatakan IPTEK tidak bebas dari premis nilai. Selalu ada nilai yang diandaikan dibalik produk IPTEK. Dengan kata lain IPTEK bukan bebas nilai, tetapi syarat nilai. Kawanan nilai dan prakteknya yang menjadi rumah IPTEK itulah budaya.

Menyusuri pergulatan Theilard de Chardin dan Stephen Hawking akan rahasia mikro dan makro alam semesta, kita tahu bahwa IPTEK bila digali secara habis-habisan, akhirnya akan mempertemukan orang dengan kekuatan penyimpul sistematis  Hyang Maha Besar. Dengan kata lain IPTEK adalah salah satu alat utama menuju Tuhan, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi alat utama untuk menjauhi Tuhan.

Bertemu dengan Tuhan, dalam konotasi iman adalah bertemu dengan Kerajaan Kasih, Damai dan KeadilanNya.

Sebaliknya tidak bertemu dengan Tuhan, dalam konotasi iman adalah jatuh dalam Kegelapan, Peperangan, dan Penindasan.

Humanisasi gagal bila orang tidak bertemu Tuhan tetapi jatuh dalam Kegelapan.

IPTEK sebagai alat untuk bertemu Tuhan maupun bila gagal bertemu Kegelapan harus diperebutkan.

Bila IPTEK sebagaimana secara dominan terjadi sekarang ini, dikuasai oleh neoliberalisme, artinya dijauhkan dari praktek iman untuk humanisasi, maka habislah manusia. Manusia tidak lagi manusiawi penuh, tetapi barangkali jadi komoditi yang dibuang bila sudah usang. Manusia seharusnya tidak mengalami keusangan dengan tubuhnya yang menua, tetapi mengalami transformasi “fully humanbeyond ketuaan fisik.

Pasopati sebagai senjata pamungkas dalam Arjuna-,Karna tanding hanya dapat diperoleh lewat keber-tapa-an Arjuna, artinya Arjuna sebagai manusia bertransendensi mendekati citra keDewa-annya. Transendensi manusia beyond fisik itulah transformasi budaya.

Kresna dan Salya: Transformasi Budaya

Praktek iman, yang tinggi atau transendensi, harus berkendaraan ‘luasannya’ yakni bertranformasi budaya agar bisa mengapai IPTEK yang tidak selalu dalam wilayah kekuasaan iman, juga agar dapat merangkul pluralitas dari etnis dan agama, kalau tidak praktek iman akan kerdil dan kuper (kurang pergaulan).

Budaya, menurut Koentjaraningkrat terdiri dari 3 lapisan yakni nilai-nilai ideal (norma-norma kehidupan), kelakuan yang berpola, dan produknya (fisik umumnya). Peradaban seperti habitus adalah budaya yang berjalan dan berkembang dengan waktu. Transformasi budaya adalah habitus, peradaban, yang diabdikan pada tujuan humanisasi, memanusikan manusia. Pada sendirinya, sebagai konsekuensi, transformasi budaya tentunya harus menentang ideologi seperti neoliberalisme, sebab neliberalisme menentang pe-manusia-an manusia ( ia mengkomodifikasikan manusia).

Keprihartinan van der Meulen (1970-an) mengenai Revolusi Industri abad-18, yang pada dasarnya berputar karena revolusi IPTEK, sebagai pemula praktek neoliberalisme amatlah relevan sampai kini:

“Meskipun pada abad ke-18, Revolusi Industri sudah siap dimulai, tetapi tidak ada persiapan untuk menertibkan kegoncangan sosial yang diakibatkannya. Semua ikatan tradisional, yang pernah “berjasa” mempertahankan keseimbangan sosial, menjadi hancur-berantakan dalam kegoncangan atau justru sengaja dipatahkan. Demikianlah karena timbulnya semangat liberal, maka dimana-mana dilakukan usaha memutuskan ikatan gilda, sedangkan ikatan keluarga dan keagamaan hancur dalam perpindahan kaum buruh ke pusat-pusat industri baru. Jelaslah, betapa dibutuhkan banyak penderitaan, perjoangan dan pemberontakan sebelum manusia insyaf, bahwa industrialisasi liar (baca: IPTEK untuk bisnis semata) tanpa jaminan-jaminan dan undang-undang sosial menciptakan keadaan, yang mewujud-nyatakan sebutan “homo homini lopus” (manusia serigala bagi sesamanya).” (van der Meulen 1970?: 16).

Bagaimana transformasi budaya itu? Kembali ke siasat perang Baratayudha khususnya Arjuna-Karna tanding. Anak panah Pasopati, IPTEK jaman sekarang, memang terlepas dari busur yang dikendalikan Arjuna, namun terlepasnya panah itu tidak mungkin mengenai sasarannya, yakni Karna, kalau, di satu sisi Kresna tidak mensiasati keraguan Arjuna melepaskan anak panah terarah pada saudara sama-ibu, Karna; di lain sisi Salya tidak me-njingkat-kan (melentingkan kaki belakang kuda) kuda agar kereta sedikit terungkit. Siasat Kresna dan Salya itulah yang kita sebut sebagai transformasi budaya. Untuk merebut dan mengenggam IPTEK di tangan tujuan kita, iman yang meluaskan gapaian tangannya dengan mempergunakan jasa transformasi budaya. Karena iman pada dasarnya canggung dan penuh perhitungan, kurang cekatan dan luwes, bila harus memegang kendali IPTEK. Mengapa, hubungan iman dan lembaga agama, seperti kalpika (mata cicin) dan embanan (wadah pemegangnya), kendati lembaga agama memelihara iman, namun untuk bergerak lincah tidak jarang lembaga agama menjadi penghalang kalau bukan beban iman.

Untuk bergerak dan merebut IPTEK dari cengkeraman neoliberalisme, seperti hubungan dalam sel antara inti dan plasmanya, demikian iman dan transformasi budaya. Tanpa transformasi budaya, iman tidak mudah bergerak pada arena profan seperti IPTEK.

Bagaimana budaya ditransformasikan? Inti dari budaya, yakni “norma-norma nilai budaya”, seperti kebenaran, perdamaian, keadilan berlaku tetap hampir untuk semua lembaga agama dan kesatuan budaya. Yang bisa berubah dan mesti berubah adalah lapisan “kelakuan budaya”, dan akhirnya juga “produk budaya” ikut berubah. Maka acapkali transformasi diartikan perubahan dari dalam dengan titik pangkal inti budaya (yang tak perlu berubah).

Contoh dari itu, berhadapan dengan neoliberlisme, adalah norma-norma nilai yang terkandung dalam hak-hak asasi manusia dan ekonomi, sosial serta budaya, serta nilai-nilai dari konservasi ekologi. Nilai-nilai dari hak asasi manusia dan hak ecosoc serta konservasi ekologi adalah nilai kebenaran, kedamaian dan keadilan yang juga ada dalam budaya-budaya Jawa, berbagai Batak dan Dayak, Flores, Papua, dlsb. Juga nilai yang sama terkandung dalam ajaran-ajaran Gereja dan berbagai agama. Nilai normatifnya sama, tetapi untuk IPTEK yang dicengkeram oleh neoliberalisme, nilai itu butuh diekspresikan dalam laku dan produk budaya yang sesuai. Laku dan produk hak-hak asasi dan konservasi ekologi adalah bentuk transformasi budaya dari nilai dasariah tadi. Bagaimana dengan kesetaraan gender?

Kesetaraan gender apakah ada nilai normatifnya dalam budaya traditional yang cenderung paternalistik. Kesetaraan gender sering kali disilang-sengketakan dengan paternalisme. Padahal inti paternalisme, khususnya dalam budaya Minang, adalah maternalisme juga. Inti nilainya adalah parentalisme, bukan pater maupun bukan mater. Parentalisme artinya garis keturunan orang tua (laki-perempuan). Dengan itu justru kesetaraan gender adalah bentuk transformasi budaya dari parentalisme, orang tua tidak dibedakan laki atau perempuan atau mencakup kedua-duanya.

 Karna Pralaya Arjuna Jaya : Humanisasi

Hanya dengan bertransformasi budaya itulah praktek iman dapat berhumanisasi. Tanpa transformasi budaya, iman sering terkungkung oleh budaya lembaga agama dari mana semula tumbuh atau berkembang. Maka iman perlu dibebaskan dari kungkungan budaya yang mandeg, caranya dengan menunggang kendaraan transformasi budaya. Dengan transformasi budaya, praktek iman bisa dan mampu mengendalikan IPTEK, merebut IPTEK dari cengkeraman neoliberalisme, untuk tujuan humanisasi, memanusiakan manusia sebagai pemenuhan bentuk kecitraan Tuhan Allah.

Karna pralaya, mati, Arjuna jaya, hidup, lambang keangkara-murkaan mati, lambang kehidupan menyala. Itulah humanisasi yang dapat dicapati ketika praktek iman menunggang transformasi budaya untuk menguasai IPTEK, hingga menjadi alat memanusiakan manusia, bukan sebaliknya mengkomodifikasikan manusia.

Yogyakarta, 8 Desember 2007

Upate: Pontianak, 29 April 2013


Kepustakaan

Dahler, Franz dan Eka Budianta. 2000. Pijar Peradaban Manusaia, Denyut Harapan Evolusi. Yogyakarta: Kanisisus.

Drimmelen, Rob van. 1998. Faith in a Global Economy, A Primer for Christians. Geneva: WCC Publications.

Ferguson, Kitty. 1992. Stephen Hawking, Quest for a Theory of Everything. Toronto: Bantam Books.

Fuellenbach, John. 1989. The Kingdom of God: The Hear of Jesus’ Message for Us Today. Manila: Divine Word Publications.

Goldewijk, Berma Klein and Bas de Gaay Fortman. 1999. Where Needs Meet Rights: Economic, Social and Cultural Rights in a New Perspective. Geneva: WCC.

Goulet, Denis. 1971. The Cruel Choice: A New Concept in the Theory of Development. New York: Atheneum.

Hawking, Stephen W. 1988. A Brief History of Time, from the Big Bang to Black Holes. Toronto: Bantam Books.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Bunga Rampai.l Jakarta: Gramedia.

Kung, Hans. 1993.a. Credo: The Apostles’ Creed Explained for Today. London: SCM Press.

Kung, Hans. 1993.b. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. New York: Continuum Publishing Company.

Kung, Hans. 1993.c. A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World’s Religions. New York: Continuum.

Meulen, van der. circa 1970-an. Balajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa. Jakarta: Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik.

Peursen, c.a. van. (terj. Dick Hartoko). 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful, Economics as if People Mattered. New York: Harper and Row.

Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New York: Anchor Books.

Sony Keraf, A. Dan Michael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisus.

Sudiarja, A, G. Budi Subanar, et al. (eds.). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: Gramedia (kerjasama dengan: Kompas, Kanisius dan Serikat Yesus).

Wibowo, I. dan Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Zen, M.T. (ed.). 1984. Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia. Jakarta: Gramedia untuk OBOR.






· Makalah disampaikan pada Seminar Cendekiawan Katolik Yogyakarta dengan tema “Bagaimana Iman, IPTEK dan Budaya dapat sejalan dalam era Globalisasi” yang diselenggarakan  oleh Bhumiksara Rukun Lokal Yogyakarta, di Ruang Seminar LPU-Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta, Sabtu, 08 Desember 2007.

1 komentar:

  1. Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D




    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D






    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D


    BalasHapus