Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Cindelaras Paritrana Foundation, Indonesia
Pendahuluan
Bukan ketiadaan
senjata yang membuat sebuah bangsa tidak bertahan lagi alias ambruk, tetapi
karena tidak tersedianya pangan yang cukup untuk rakyatnya. Tanpa laras bedil,
tetapi dengan perut kenyang, seorang warga masih dapat adu jotos untuk
mempertahankan sejengkal tanah airnya. Namun dengan seribu laras bedil, tetapi
perut lapar, seorang warga tidak kuat mengayunkan sebilah bayonet. Kini, di
dunia, minimal ada satu negara, yakni Korea Utara, yang mempergunakan sumber
dayanya untuk membangun persenjataan nuklir, sementara rakyatnya dalam bahaya
kelaparan, menerima belas kasih sumbangan pangan dari negara-negara musuhnya.
Kebalikannya adalah negara Cuba, yang kendati kalah dalam hal senjata dan
blokade ekonomi dari USA dan sekutunya, namun karena mampu menyediakan pangan
sendiri, secara organik lagi, maka mampu bertahan sebagai bangsa. Maka adalah
sebuah ironi besar, bila setelah swadaya beras tahun 1985, pemerintahan Orde
Baru sampai kini orde-orde reformasi, memilih untuk membuka lebar-lebar kran
impor beras dan sereal utama lainnya (jagung dan kedelai) serta gula, dengan
menurunkan tarif masuk pangan hampir nol persen. Kalau negara-negara maju,
dengan berbagai cara subsidi non-tarif dan tarif (ada yang sampai 400 persen),
melindungi produsen pangan dalam negerinya, maka pemerintah kita berlomba untuk
menjadikan Indonesia pasar terbuka lebar bagi pangan dari negara-negara maju
dan berkembang lainnya. Dalih pemerintah adalah efisiensi, dalam arti membuat
harga pangan murah dalam negeri. Mereka dengan sengaja mengkhianati dan
menzalimi petani, si produsen sereal dan gula. Mereka tidak mau mengakui bahwa
produsen pangan adalah mayoritas pekerjaan bangsa Indonesia. Kalau ongkos
produksi pangan mereka relatif menjadi lebih mahal daripada pangan impor,
apalagi semua bentuk subsidi saprotan (saranan produksi pertanian) dicabut,
maka mereka otomatis akan berhenti produksi.
Daftar Bacaan:
Artinya petani akan kehilangan
pekerjaan tetapnya dan sekaligus kehilangan kesempatan mendapatkan pendapatan.
BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bukanlah cara penyelesaian yang
berkelanjutan, tetapi justru cara menjadikan masyarakat tidak berdaya, menjadi
pengemis bukan pekerja. Anehlah, bila wakil presiden, juga menteri pendidikan
berobsesi membuat rakyat menjadi pekerja keras, namun bersamaan dengan itu,
secara kontradiktif, mereka menjadi pembela keras program pemiskinan rakyat.
Rakyat dibuat, secara instant, menjadi konsumen, bukan dibantu untuk menjadi
produsen dengan kemampuan melipatgandakan nilai tambah. Aneh sekali. Pendiktean
dari IMF yang berupa LoI (letter of
intent) atau SAP (Structural
Adjusment Program = pengetatan ikat pinggang), yang didesain sedemikian
agar negara miskin sengsara sekalipun rakyatnya tetap membayar cicilan dan
bunga utang, justru mendapatkan teman dalam jajaran penguasa negeri yang
semestinya melindungi rakyatnya.. Kalau membaca dan menonton film Max Havelaar,
kita diingatkan bagaimana Penguasa Kolonial Belanda, negara kecil dengan
penduduk kecil, mampu menundukkan sebagian besar Nusantara yang besar dengan
penduduk banyak, bukan karena kehebatan tentaranya, tetapi karena lemah mental
penguasa pribumi, yakni para Bupati yang suka menjual rakyat dan mengorbankan
rakyat demi sekepeng uang dari penjajah. Hal serupa berulang lagi kini di tanah
Nusantara. Sengaja atau tidak sengaja Negara ini telah di-“jual” oleh
pemimpinnya. Betapa lain 180 derajat dari pemimpin-pemimpin perintis Republik
Indonesia. Mempercayakan keselamatan persediaan pangan pada mulut raksasa
globalisasi sama saja menyerahkan nasib bangsa ini pada kekuasaan dan kepentingan
penjajah abad-21. Bagaimana Globalisasi Pangan itu berkiprah dan menimbulkan
akibat kesengsaraan bangsa?
Globalisasi
Pangan
Buku Susan
George, How the Other Half Die, dan D.H. Penny, Kemiskinan: Peranan
Sistem Pasar (1990) menjadi karya klasik dunia dan Indonesia untuk
meneropong praktek globalisasi pangan. Kedua buku tersebut, yang pertama
ditulis oleh seorang insider lembaga international terkait dengan pangan, yang
kedua ditulis oleh seorang ekonom Australia, lulusan Cornell University, yang
mencitai petani Indonesia, menyimpulkan bahwa sistem pasar tidak pernah dapat
menjadi jaminan ketersediaan pangan bagi semua umat manusia termasuk rakyat
Indonesia. Justru yang terjadi kebalikannya: pasar menciptakan ketidakadilan
pangan yang bermuara pada kelaparan. Namun, sayang sejak tahun 1990-an
pemerintah Indonesia cenderung mengikuti, semula anjuran Ann Booth dari ANU,
dan kemudian paska krisis moneter, suruhan dari IMF. Kata mereka: impor pangan,
termasuk beras, gula, jagung dan kedelai lebih hemat (efisien) daripada
produksi sendiri, manakala harga pasar internasional komoditi pangan tersebut
lebih murah daripada harga memproduksi sendiri dalam negeri oleh para petani
Indonesia. Terhadap anjuran demikian, petani yang tidak tamat SD pun akan cepat
menangkap kalau ini rumusan pedagang pangan internasional yang sedang jual
kecap. Soal pangan bukan sekedar soal harga komoditi, tetapi terutamanya soal
ketahanan bangsa: artinya, rakyat yang berdaya, artinya rakyat yang bekerja
untuk memproduksi pangan (peluang kerja), untuk memproses, mengangkut dan
memperdagangan dalam negeri (peluang usaha), dari situ artinya, soal memenuhi
kebutuhan perut maupun dari surplus kebutuhan non-perut, bersama-sama untuk
selain menghasilkan harga diri (orang bekerja lebih berharga, orang menganggur
merasa sampah masyarakat) juga menghasilkan pendapatan. Akhirnya pendapatan
menciptakan daya beli, termasuk membeli pangan impor. Kalau logika Booth dan
IMF diikuti, darimana asalnya petani akan mendapatkan income untuk
membeli komoditi pangan impor, sekalipun murah harganya. Sementara sumber
pendapatan petani dari bertani semakin menciut, dari mana pendapatan petani?
Disuruh pindah ke sektor informal dan kasual, kalau pun ada, itupun butuh biaya
psikologis dan ekonomis, dan pasti keamanannya tidak terjamin, karena sektor
itu di kota dikejar-kejar petugas tata tertib kota atau
Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Menjadi buruh kota pun, bukan solusi,
sebab selain kerja semakin berat, mudah di-PHK, juga upah kecil, perumahan tak
ubahnya kandang ayam, gizi tak lebih supermie tiap hari. Akibat dari kebijakan
impor pangan adalah kemunduran dan akhirnya kematian produksi pangan oleh
petani dalam negeri. Sampai di sini kita baru bicara soal harga dan pendapatan,
belum soal kesehatan/keamanan pangan, selera. Itu belum memperkirakan
kemungkinan fluktuasi harga pangan di pasar international, apalagi Indonesia
menjadi pembeli pangan yang 60 persen dari pasar pangan dunia. Kalau harga
pangan naik, ya sudah, habislah petani dan bangsa ini, seperti sekarang ini
harga pasar kedelai dan beras internasional melambung. Seperti itu saja,
Presiden kita masih tega-teganya bilang: penyebab ini semua bukan kebijakan
pemerintah tetapi situasi ekonomi luar negeri (krisis keuangan USA dan krisis harga
minyak yang melambung pada kisaran US$ 100 per barel). Dalam negeri, krisis
pangan seperti itu, belum kalau kita hubungkan ketersediaan pangan dengan
ketersediaan energi, yang memang berhubungan erat. Kenaikan bahan bakar minyak,
yang kendati kita produsen minyak relatif besar toh karena kesalahan manajemen
harus impor, menaikan ongkos bahan baku pupuk buatan dan angkutannya, artinya
menaikan salah satu asupan produksi pangan.
Di negara-negara
maju seperti USA, EU, Jepang dan Australia, New Zealand dan Canada, pangan
diproteksi perdagangannya dan disubsidi produksinya, bahkan bisa mencapai 600
persen; kita yang ekonominya masih berbasis pertanian hampir tidak ada proteksi
maupun subsidi. Proteksi juga bukan hanya soal harga, tetapi soal
kesehatan/keamanan, terutamanya kini terkait dengan membanjirkan produk pangan
transgenik yang diam-diam dengan ijin pemerintah mulai ditanam di berbagai
kantung. Misalnya, di Gunung Kidul, penanaman jagung transgenik dalam satu
hamparan luas telah meminta syarat dibabatnya jagung lokal dalam radius
tertentu.
Selain terkait
dengan harga, kesehatan/keamanan, selera (yang bisa direkayasa seperti selera
mie instant, mcdonald, kfc dlsb), keterkaitan dengan produk lain, singkat kata
“ pangan dalam kerangka pasar”, ketersediaan pangan juga terkait dengan
syarat-syarat produksi yang sarat dengan politik ekonomi pertanian yang punya
tujuan kemakmuran dan keadilan petani. Syarat-syarat itu antara lain adalah
akses penguasaan tanah dan air yang cukup untuk keluarga petani, minimal 2
hektar sawah subur untuk tiap keluarga beranggota 7 orang (bdk dengan UUPA
1960, mengapa perlu dipertahankan daripada diubah dalam situasi wakil rakyat dalam
lembaga pembuat undang-undang tidak berpihak atau penuh agenda proyek partai),
kebebasan menanam aneka ragam produk pangan dan berorganisasi oleh petani,
dukungan ilmu pengetahuan, teknologi tepat guna dan penelitian serta penyuluhan
oleh negara (ini hak petani yang harus diberikan oleh negara karena petani
sudah bayar PBB dan lain-lain pajak), akses modal uang lewat pinjaman lunak
yang bottom-up dari petani gurem sekalipun (bukan hanya dinikmati petani
lahan luas di desa), akses lumbung paceklik yang didukung pemerintah (Bulog
di-perumkan, harus diganti ‘lumbung-lumbung paceklik’ per dusun atau sub-desa
seluruh Indonesia, diisi oleh pangan-pangan lokal, yang tidak hanya beras
tetapi juga sagu, jagung, ketela, umbi-umbian, dlsb), akses pasar untuk surplus
pangan (harga layak yang ditopang oleh subsidi pemerintah), kontrol petani atas
plasma nutfah endemik dan kearifan lokal yang didukung oleh pemerintah lewat
bank benih dan dokumentasi budaya lokal pertanian dibacking universitas dan lembaga
penelitian dan pendataan lainnya. Syarat yang terakhir yakni bahwa kedaulatan
pangan tergantung pada kultur, budaya, bertani. Budaya bertani yang sarat
dengan kearifan lokal dan ramah dengan lingkungan hidup yang telah menyejarah
dan tahan banting berabad-abad lamanya, atau agri-culture, telah diganti
dengan teknis-bisnis bertani, agro-bisnis, yang bersifat instan apalagi belum
teruji sejarah. Hilangnya budaya bertani petani berarti juga hilangnya
nilai-nilai dan ilmu bertani sarat kearifan lokal dan ramah lingkungan. Semua
syarat-syarat produksi pangan ini sekarang diporakporandakan dengan rancangan
mengubah UUPA 1960 memenuhi ‘pasar bebas’ tanah dan air dari IMF/Bank dunia. Maka
RUU pertanahan nasional perlu betul-betul dicermati dan hati-hati, salah-salah
RUU yang mengacu pada payung TAP MPR RI no. IX tahun 2001, yang hanya mengenal
2 macam hak atas tanah (hak milik dan hak guna), artinya meniadakan hak-hak
komunal seperti tanah kas-desa (bondho desa), hak masyarakat adat, hak ulayat). Ilmu
pengetahuan pun sudah dibeli oleh perusahaan kemia/penganda benih. Perangkat
aturan dagang internasional yang dengan sangat dan terlalu cepat diratifikasi
Indonesia, seperti TRIPs (Trade Related
aspects of Intellectual Property Rights), GATS (General Agreement on Trade Related Services), TRIMs (Trade Related Investment Measures), AOA
(Agreement on Agriculture), dlsb sudah menggantikan UUD 1945 kita (yang
diamandemen sekalipun). Persoalan kedaulatan pangan, akhirnya adalah persoalan
lebih mendasar yakni kedaulatan petani atas lahan garapan, air dan hutannya,
serta keanekaragaman hayati.
Demikian
globalisasi bisnis dan teknologi pangan tidak hanya telah menelan Indonesia,
tetapi sudah hadir di tengah-tengah sawah dan ladang petani. Otonomi daerah
yang semestinya dapat memagari kalau perlu mengusir, justru ikut melancarkan,
karena Daerah berlomba untuk raising fund, bagi elite birokrasinya yang
harus bayar utang biaya seluman mendapat kekuasaan, untuk kemudian juga mengumpalkan
modal untuk pensiun kaya raya sampai tujuh turunan. Raising fund artinya
menjual apa yang bisa dijual, termasuk tanah kas desa yang semula dibagikan
untuk petani gurem dan buruh tani desa, hak kuasa dan kelola hutan, hak kuasa
dan tanam sawit atas lahan gambut dan situ (telaga/ danau), hak tangkap ikan di
dalam zone batas landas kontinen dari garis pantai bagi kapal pukat harimau dan
lebih besar penguasaha asing, hak eksplorasi tambang, dslb., sementara si
pejabat (utamanya Bupati dan kroninya) masih berkuasa. Tentu tidak peduli pada
bagaimana pejabat selanjutnya masih mendapat sisa yang bisa dilego, apalagi perpikir
mengenai rakyat petani produsen pangan, bagaimana hidup. Kedaulatan petani
telah diganti oleh kedualatan pembisnis yang didukung birokrasi pemerintah
lengkap dengan undang-undang dan peraturannya.
Lebih dari
Sekedar Melawan
Dalam menutup
tulisan ini, kita diingatkan dengan sedih bagaimana tragedi Max Havelaar,
penguasa pribumi bersekongkol dengan penjajah asing memerasi rakyat jelatanya
sendiri, dan kadang dinampakkan lebih sadis dan tak berperikemanusiaan dari
pada yang bangsa asingnya. Boleh jadi yang asing berkedok pada ilmu
yang ilmiah dan dasi-jas lengkap, atau kalau tidak masih menebar ‘dana sosial’
disamping pengeruk harta berlipat ganda. Pangan yang semestinya menjadi
kebutuhan pokok manusia bermartabat, yang dirumus sebagai hak azasi, telah tidak
hanya dijadikan komoditi, tetapi telah dijadikan alat kekerasan politik,
seperti dalam hal embargo.
Proses harus
dilawan dan dibalikkan, antara lain dengan gerakan sosial kemandirian atau
kedaulatan pangan bangsa. Bagaimana, salah satunya petani gurem kurang dari 0.2
ha sawah didorong dan fasilitasi membentuk koperasi berbasis lahan sempit (BUBT
= Badan Usaha Buruh Tani) sebagaimana usulan Sajogyo tahun 1976, bila toh
reforma agraria yang pro petani gurem masih dianggap sulit secara politik,
atau suam-suam kuku alias demi pencitraan atau tidak pernah serius. Usulan lain
adalah dari Kasryno 1986 dkk, yang memberlakukan pajak progresif atas
penguasaan tanah, yang hasilnya dikelola langsung oleh koperasi petani gurem berbasis
lahan. Reklaiming tanah oleh banyak organisasi petani, atau reforma agraria
oleh mereka yang berhak (agrarian reform by leverage), adalah inisiatif baik bila
reforma agraria a la UUPA 1960 macet, namun harus disertai perencanaan oleh
partisipan petani mengenai pembagian, penggunaan dan pengerjaan lahan (tidak
malah dijual kembali ketika sudah dapatnya) atau
panitia reforma agrarian yang benar-benar independen dan cakap untuk berbuat
adil. Itu harus disertai oleh usaha-usaha yang pro petani pekerja, grassroots, seperti: moratorium impor
pangan, beras untuk seketika, gula bertahap, kedelai dan jagung juga bertahap.
Sementara subsidi dan proteksi diperlakukan sebagaimana Jepang dan negara maju.
Selalu ingat, pangan lebih kuat daripada bedil sebagai ketahanan bangsa. Tanpa
bedil asal orang kecukupan pangan masih bisa “duel berperang,” (tentu lewat
pikiran dan prestasi kerja, bukan hanya senjata) tetapi tanpa pangan dengan
seribu bedil kita tak mungkin mempertahankan bangsa dan negara. Yang mengerikan
pada tahun 2030 (mengikuti pentanggalan Kompas untuk memancang harapan
ke depan), kalau tidak dilakukan koreksi besar-besaran mengenai cetak biru dan
kebijakan serta program ikutan ke arah kemandirian bangsa/negara termasuk
pangan (grand strategic planning berdasar data sahih), boleh jadi nama
Indonesia tinggal menandai sebuah masa lalu. Seraya itu pula bangsa dan negara
Indonesia sudah menjadi bagian dari ekonomi USA, EU, Jepang, dan celakanya
bagian dari Republik Rakyat China, bahkan dikendalikan lewat Singapura dan
Kualalumpur.
Yogyakarta, 19
Mei 2006
Diupdate: Trawas,
26 Februari 2008.
Diupdate: Jogya,
9 Maret 2008.
Diupdate
terakhir: Pontianak, 29 April 2013.
Daftar Bacaan:
BPS.
2004. Data dan Informasi Kemiskinan tahun 2004 Buku 1: Provinsi. Katalog
BPS: 2331. Jakarta: BPS.
GEORGE,
Susan. 1976. How the Other Half Dies: The Real Reasons for World Hunger.
Middlesex: Penguin Books.
GOLDEWIJK,
Berma Klein dan bas de Gaay Fortman. 1999. Where Needs Meet Rights:
Economic, Social and Cultural Rights in a New Perspective. Geneva: Risk
Books.
GRACE,
Brewster. 2002. “Patents and Plants: How Developing Countries are protecting
their genetic resources” dalam John Feffer (ed.). 2002. Living in Hope:
People Challenging Globalization. Manila: Ibon Books, hal. 84-96.
HAVERKORT,
Bertus, Katrien van “t Hooft and Wim Hiemstra (eds.). 2002. Ancient Roots,
New Shoots: Endogenous Development in Practice. AB Leusden: Compas and Zed
Books.
MADELEY,
John. 2002. Food for All: The Need for a New Agriculture. Manila: Ibon
Books.
SAJOGYO,
Goenardi, et al. 1994, Menuju Gizibaik yang merata di Pedesaan dan di Kota.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
SAJOGYO,
(eds. Francis Wahono, AB. Widyanta, Y.Indarto). 2006. Ekososiologi:
Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus
Uji). Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
SUMARWOTO,
Otto, 2001. Atur-Diri-Sendiri: Paradigma baru Pengeloaan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
WAHONO,
Francis, AB. Widyanta, Titus Odong Kusumajati (eds.).2000. Pangan, Kearifan
Lokal dan Hak-Hak Asasi Petani. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas.
WAHONO,
Francis (ed.) 2002. Hak-Hak Asasi Petani dan Proses Perumusannya. Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
BalasHapusTerimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
JTM Casino, Hotel & Spa, Waterloo, Waterloo Region
BalasHapusJTM Casino, Hotel & Spa, 양산 출장마사지 Waterloo, Canada, 83026, Canada. JTM casino and spa, spa, luxury 영천 출장샵 hotel, 안성 출장안마 gaming and more - stay at 원주 출장안마 the casino, 이천 출장안마