Tampilkan postingan dengan label cindelaras. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cindelaras. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 April 2013

Andai Kita tak Abai dengan Bung Hatta, UUD 1945, dan Koperasi, Bangsa Indonesia sudah Makmur dan Sejahtera



artikel penulis, diambil dari Kuliah Akhbar-nya, Seri 1,  menyambut HUT RI-67, Hari Tani, Hari Pangan Sedunia dan Hari Ibu, tanggal 10 Agustus s.d. 9 November 2012 yang diselenggarakan di CINDENEST, Jln. Pangkur no.19, Ganjuran-Manukan, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta.

Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia

Berandai

Apabila akhir-akhir ini Anda membaca surat kabar, Anda akan berjumpa dengan persoalan-persoalan besar sosial ekonomi yang menyangkut harkat hidup orang banyak yang akan mengusik pikiran, bisakah itu akan lebih bagus kalau dikelola secara kooperasi. Beberapa dari antara persoalan tersebut adalah: reforma agrarian termasuk kepemilikan hutan dan tambang, kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, sistem jaminan sosial, industry kreatif masyarakat adat maupun ekonomi rumah tangga rakyat jelata, bahkan sekolah dan rumah sakit di daerah terpencil, pembangunan sarana-sarana publik di daerah-daerah, pengadaan buku serta perpustakaan dan literature serta sarana komunikasi tingkat desa/dusun dan kampung, pengelolaan uang bersama-sama untuk rakyat, sarana transportasi rakyat, pemeliharaan dan pelestarian bermanfaat dari ekosistem dan keseluruhan lingkungan hidup, menjaga keamanan daerah perbatasan dan penangkapan ikan oleh pencuri asing di perairan Nusantara, memungkasi dan mereduksi berbagai diskriminasi serta kekerasan, dlsb. Bayangkan kalau itu semua dikelola oleh kooperasi, bukan diserah jualkan dengan hampir-hampir sistem lego kepada perusahaan swasta besar korporasi, bukan pula swasta besar korporasi menyewa pengamanan sendiri atau memakai tentara dan polisi yang nota bene dibayar oleh pajak rakyat lewat negara. Bayangkan, pemerataan pekerjaan dan penghasilan serta kesejahteraan dan keadilan sosial akan lebih terealisasikan. Bila itu dikelola oleh kooperasi secara kooperatif. Mengapa tidak? Karena dari kooperasi rakyat, kurupsi lebih sulit dilakukan, bila pun dilakukan biaya akan lebih besar, karena harus mengumpulkan dari yang kecil-kecil. Beda dengan bila langsung memelihara yang besar, korporasi, koruptor tinggal berhubungan dengan satu dua orang, selesai sudah praktek jahatnya, dan jauh lebih murah ongkosnya. Apalagi semua praktek kotor itu dikelola dan didesain melalui perlindungan hukum dan administrative, lancarlah. Tapi menderitalah bangsa dan rakyatnya ini, karena cenderung secara sistematis menjadi sapi perah para elit dan sebagian besar pemimpinnya.

Selasa, 12 Maret 2013

Menumbuhkan Gerakan Petani Organik

Salah satu program pendidikan dan pemberdayaan ekologis-ekonomis CINDELARAS PARITRANA adalah pendidikan pertanian organik secara partisipatif. Pendidikan tersebut dilakukan di komunitas desa atau dusun yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Memang kebanyakan petani secara umur sudah menjadi semakin tua, namun petani-petani muda yang bersemangat masih cukup ada. Tanpa pendidikan pertanian organik, pola pertanian yang dilakukan kebanyakan konvensional, yakni mempergunakan pupuk buatan, pestisida serta herbisida yang berlebihan bertahun-tahun. Tambahan lagi, benih-benih hibrida maupun hasil intervensi transgenik banyak masih menjadi andalan. Bibit lokal atau endemik masih kurang digunakan. Pendidikan pertanian organik selain memperkenalkan kembali penanaman benih lokal juga mendorong lebih banyak penggunaan pupuk kandang dan kompos serta pestisida dan herbisida alami. Banyak dari petani belum menyadari kalau penggunakan asupan kimia non-organik secara berlebihan menimbulkan ancaman kesehatan maupun merusak kualitas tanah mereka. Sementara itu bahan-bahan organik yang ada di sekitarnya bersifat menyuburkan tanah tidak banyak digunakan. Dari segi perhitungan bisnis, penerapan pertanian organik dalam jangka menengah dan panjang akan lebih menguntungkan selain juga menyehatkan manusia dan lingkungan.

Melihat keprihatinan tersebut, CINDELARAS PARITRANA mengajak petani muda dari 5 komunitas masing-masing mewakilkan 2 orang untuk belajar ekologi tanah dengan Wadah Belajar Petani di Godean. Pelatihan Ekologi Tanah (PET) adalah pendidikan untuk mengetahui kondisi tanah secara fisik, kimia dan biologi dengan alat sederhana. Artinya secara fisik bisa mengetahui struktur tanah, kemampuan tanah menyimpan air, udara tanah, dan daya kapiler tanah. Selain itu, secara kimia juga dapat mengetahui keasaman tanah, kapasitas tukar kation, uji mineral atau mengetahui kesuburan tanah. Secara biologi petani juga bisa mengetahui kehidupan tanah. Dalam PET tersebut tanah yang diuji sebagai bahan praktek adalah tanah dari lahan mereka sendiri. Cara ini untuk menyadarkan mereka agar mereka bisa memilih tindakan yang tepat terhadap tanah mereka sendiri. Setelah diuji mereka tahu lahannya sudah rusak akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia terus menerus.

Sepulang dari pelatihan tersebut, banyak petani yang semakin kuat untuk berubah sikap. Mereka memanfaatkan bahan organik yang ada di sekitar mereka dan sudah tidak lagi menggunakan bahan kimia non-organik lagi. Sistem pertanian yang mereka terapkan tersebut mereka sebut dengan pertanian organik. Untuk menguatkan sistem pertanian organik yang mulai dijalankan, mereka yang ikut Pelatihan Ekologi Tanah sepakat untuk membentuk kelompok sebagai media bertemu mendiskusikan sistem pertanian yang dijalankan. Kelompok ini semula diberi nama ”Soko Alit”, kemudian pada perkembangannya berganti nama menjadi Petani Organik Cindelaras (POCi). Tujuan dibentuknya POCi adalah untuk memperkuat dan mengembangkan pertanian organik di komunitas masing-masing dan di komunitas lain dalam wilayah dampingan CINDELARAS PARITRANA. Kesepakatan tersebut didukung sepenuhnya oleh CINDELARAS PARITRANA. Dengan demikian, terjadi transformasi pengetahuan dari petani ke petani, sehingga lebih mudah diterima karena penyampaiannya dengan bahasa dan pengalaman para petani sendiri dalam mengelola lahan pertaniannya.

Balak: Membangun Paguyuban dan Menemukan Pestisida Nabati
Petani Organik Cindelaras (POCi) adalah sebuah kelompok yang beranggotakan petani dari komunitas Kleben, Jetis, Pakelan, dan Karangwuni. Masing-masing anggota mempunyai pengalaman spesifik untuk saling melengkapi dengan saling belajar satu dengan yang lain. Kleben dengan pengalaman pertanian organik padi, Jetis dengan pengalaman pertanian tumpangsari, Pakelan dengan pengalaman pertanian palawija lahan tadah hujan dan Karangwuni dengan biogasnya. POCi telah ikut mengembangkan pertanian organik di komunitas dampingan CINDELARAS PARITRANA pada kurun waktu 2006-2008, antara lain di Komunitas Balak, Payak, Pakelan, Karang Wetan, Karang Padang, Banjarsari, Kalidadap, Temben, bahkan di 3 desa di Naganraya, Acdeh: Cot Rambong, Cot Mee dan Kuala Tadu. POCi yang beranggotakan para petani organik, bersemangatkan ”Saka Alit” mempunyai harapan dari jumlah kecil para petani yang kecil pula, bila bersama-sama dan serempak, akan pula bisa menyangga gerakan besar pertanian organik di Indonesia. Kata ”POCi” sendiri menandai sebuah lambang tempat minuman, biasanya untuk menyedu teh, yang kendatipun kecil mungil bentuknya, tetapi mampu menyatukan orang dan membentuk komunitas, yang saling mendukung, saling asah-asuh, yang akan mampu menggerakkan masyarakat lebih luas mengubah diri dari bertani secara konvensional menjadi bertani secara organik. Begitu cita-cita, doa dan semangat yang mendasari kerja POCi.

Komunitas Balak di Cawas, Klaten memiliki lahan sawah yang luas dan sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani. Persoalan yang dihadapi pada waktu itu salah satunya di sektor petanian yaitu tanah pertanian semakin bantat (tanah kenyal dan mengeras), kebutuhan pupuk semakin banyak dan mahal, serangan hama keong semakin tak terkendali. CINDELARAS PARITRANA masuk komunitas Balak melalui sektor pertanian dengan mengadakan pelatihan pertanian organik dan ekologi tanah. Pesertanya ada 49 orang berasal dari wakil-wakil kelompok tani Desa Balak. Dalam pelatihan, proses yang terjadi adalah saling belajar dan berbagi pengalaman bertani. Hasilnya, mereka menemukan pestisida nabati untuk mengatasi serangan hama. Selesai pelatihan, mereka sepakat membentuk kelompok pertanian organik yang diberi nama ”Balak Gumbregah”. Kelompok tersebut sampai sekarang masih aktif dan mengembangkan diri membangun ekonomi berbasis pertanian organik dengan produksi beras organik, kompos, dan katul jahe yang pengolahannya memakai biogas dari bahan tlethong (kotoran) sapi.


Payak dan Pakelan: Pertanian Bersemangat Organik
Selain di Balak, CINDELARAS PARITRANA juga masuk komunitas Payak, Bantul, DIY, lewat sektor pertanian. Pertanian komunitas Payak adalah lahan sawah dengan pola tanam ”padi-padi-palawija.” Persoalan yang dihadapi Payak waktu itu di antaranya lahan sempit, kebutuhan sarana pertanian semakin tinggi dan harga semakin mahal serta bagaimana agar tanah sisa galian pembuatan batu bata bisa ditanami lagi. Untuk masuk sektor pertanian komunitas Payak, CINDELARAS PARITRANA bekerja sama dengan POCi mengadakan Pelatihan Ekologi Tanah (PET) dan pertanian organik. Peserta pelatihan 35 orang bapak-bapak dan ibu-ibu. Pelatihan dilakukan dengan diskusi dan praktek, yaitu pembuatan kompos, pestisida nabati, dan uji tanah dengan alat sederhana. Setelah tahu hasilnya mereka semangat untuk bertani organik, apalagi dalam pelatihan tersebut juga ada praktek membuat kompos atau pupuk organik yang terbukti ramah lingkungan.

Selain mengembangkan pertanian organik di komunitas lain, POCi memperkuat pertanian organik di komunitasnya sendiri (komunitas anggota POCi) yaitu di Pakelan, Moyudan, Sleman, DIY. Pakelan adalah komunitas yang sebagian besar warganya sebagai petani. Pertanian di Pakelan adalah setengah tadah hujan dengan pola ”padi-padi-palawija” itu pun jika airnya lancar. Materi pelatihan di Pakelan meliputi: PET, pertanian organik dan mengulas tentang sistem tumpangsari baik teori maupun praktek. Peserta pelatihan ada 14 orang, 3 di antaranya perempuan. Dalam pelatihan tersebut petani Pakelan mengajak 4 petani dari Sejati Pasar ikut ngangsu kawruh dalam POCi. Selesai pelatihan para peserta semakin kuat untuk bertani organik dan membentuk kelompok Petani Organik Guyup Rukun(POGR) yang anggotanya adalah petani dari Pakelan dan Sejati Pasar. Dengan POGR mereka mempunyai tujuan untuk mempererat gotong-royong dan bertekad menjadi ”pioneer” di lingkungan mereka dan menjadi fasilitator di tempat-tempat sekitarnya.


LOLET: Menyiapkan Tokoh Perubahan Komunitas

Local Leadership Training (LOLET) atau Pelatihan Pemimpin Setempat merupakan metode pengembangan komunitas yang diterapkan Cindelaras Paritrana. Dari kelompok-kelompok yang terbentuk perlu dimunculkan sebagian orang yang dipercaya menjadi pimpinan dan sekaligus menjadi penggerak lokal pada masing-masing kelompok. Karena tuntutan sebagai dinamisator kelompok, para penggerak lokal ini memerlukan pendidikan dengan porsi berbeda. Para penggerak lokal ini terdiri dari: (1) para pemimpin lokal yang formal dan sadar atau simpati; (2) para pemimpin lokal yang informal termasuk tokoh panutan, etnis, agama, cendekiawan, dan pengusaha lokal; dan (3) para petani militan, baik yang sudah mendapatkan pendidikan PERPEC maupun yang belum. Di samping itu respon terhadap PERPEC terimplementasi secara berbeda pada masing-masing kelompok, namun mereka terikat pada roh gerakan yang sama. Untuk itu didesain sebuah program yang dikhususkan bagi para penggerak lokal ini, yakni LOLET.

Tahun 2004, tepatnya, 17-19 Desember 2004, bertempat di Puluhan, penggerak lokal Lo-Rejo bersama dengan penggerak lokal dari delapan komunitas lain (Sumbersari, Jetis, Kleben, Nglipar, Wanglu, Kedunggubah, Tobong, Ngliseng) berkumpul. Kepada mereka diberikan pelatihan dengan materi: Analisa Sosial berkaitan dengan tema Otonomi Daerah, Pengelolaan Sumber Daya Air, Globalisasi Neoliberalisme, dan Reforma Agraria. Pertemuan yang dihadiri 23 peserta (21 laki-laki dan 2 perempuan) ini sekaligus menjadi media komunikasi antar komunitas. Harapannya, ke depan terbentuk konsolidasi jaringan organisasi melalui pemahaman kesadaran dan sinkronisasi kegiatan tanpa mengesampingkan corak lokalitas masing-masing komunitas. Selain itu lewat LOLET juga memungkinkan terjadinya proses saling mengenal antar komunitas untuk memunculkan rasa solidaritas. Melalui program ini para penggerak lokal diajak melakukan dialog dan berbagi pengalaman agar tumbuh saling pengertian, rasa senasib dan seperjuangan dalam garis gerakan yang sama. Proses pembelajaran para penggerak lokal dilaksanakan di salah satu komunitas. Di lokasi ini peserta juga bisa belajar tentang apa yang dilihat dan dialami. Kemudian mereka juga dituntun untuk berbagi pengalaman, sehingga masing-masing komunitas bisa saling menilai, saling memperkaya, dan saling menguatkan.

Capaian lebih lanjut adalah munculnya tokoh-tokoh lokal yang secara tegas menolak praktek-praktek globalisasi neoliberalisme dan secara aktif mengambil langkah alternatif. Sebut saja Ignatius Purwanto dan Danang Eko Saputro dari Kleben; Sarmadi, Marsudi, dan Abdullah dari Jetis; Sukapno dari Pakelan-Sejati; Nanang dan Darusman dari Sumbersari; Maryanto dari Wanglu; Kamiyono dari Tobong; Marno dari Ngliseng; Partiman dan Suhardi dari Praon, dan Saryono dari Lorejo. Mereka adalah local leaders yang mensosialisasikan pertanian organik, yakni cara bertani yang mengandung nilai-nilai solidaritas, kepercayaan dan ramah lingkungan. Jika bertani organik harus bersertifikat, mereka menolak tegas, salah satunya Purwanto dari Kleben yang tegas mengatakan pada seorang ibu yang hendak membeli beras organik di dusunnya, ”Ibu jauh-jauh dari Jakarta sampai Kleben mau mencari beras organik atau mau membeli secarik kertas? Silakan tinggal di sini tiga bulan melihat cara budi daya kami kalau tidak percaya.” Bagi Purwanto, bertani organik tidak sekedar masalah produk, tetapi ada saling percaya, ada kemerdekaan tersendiri dan terbebas dari eksploitasi pasar bebas.

Selain itu, hasil dari LOLET ini mampu menumbuhkan kesadaran para pemimpin local untuk membangun kekuatan kemandirian finansial dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam maupun Credit Union yang dikelola lebih murni dan konsisten untuk para anggota, sebagaimana disebutkan di atas, yakni Credit Union “Ngudi Lestari” di Jetis, Semi Credit Union Kelompok Usaha Pedukuhan Praon (KUPP) “Rahayu” dan Credit Union “Cindelaras Tumangkar” (CUCT) di Lo-Rejo. CUCT yang lahir dari salah satu komunitas dan berakar dari masyarakat, akhirnya mampu merengkuh sejumlah anggota yang tersebar di DIY dan Jawa Tengah. Selain itu melalui SEMAI, perintis-perintis CU-CU kami sudah ikut membidani lahirnya CU-CU Primer di daerah-daerah lain, seperti: di Jombang, Purworejo, Salatiga, Lampung, Medan, dan membantu mengupgrade sebuah CU di Bagan Batu, Riau. Perlu dipahami bahwa kesadaran kritis yang dihasilkan melalui pendidikan PERPEC dan LOLET ini tentu tidak mudah dicapai. Butuh waktu dan proses yang panjang, bahkan tidak sedikit yang harus mengalami benturan-benturan kenyataan. Namun pada akhirnya tetap membawa pada kesadaran kritis komunitas sebagai dasar perjuangan merebut kedaulatan dan membangun kemandirian sosial ekonomi, khususnya kedaulatan finansial dan pangan.

Pada paruh kedua tahun 2010, CINDELARAS PARITRANA memperkenalkan LOLET II. Lebih maju dari LOLET I, program LOLET II tidak hanya melakukan pendidikan penyadaran dan ketrampilan pengorganisasian pada tingkat komunitas pada pimpinan lokal, baik formal maupun informal, tetapi mendorong terjadinya organisasi rakyat yang bersifat politik, ekonomi, sosial dan budaya di tingkat distrik atau regensi, atau di tingkat wilayah pemerintahan otonomi daerah, pemerintahan regional terendah, yakni antara pusat dan lokal, namun masih di bawah Provinsi. Setelah Orde Reformasi tahun 2000-an, bila sebuah organisasi rakyat mulai masuk ranah politik, khususnya advokasi kebijakan publik, tidak harus mampu bermain di tingkat distrik, tapi juga di tingkat pemerintahan otonom terendah dalam Republik Indonesia.

Pada tingkat distrik, Kabupaten atau Kotamadya ini, Bupati atau Walikotanya dipilih langsung oleh rakyat secara langsung. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Secara bersama-sama, Bupati dan DPRD selain menentukan Anggaran dan Belanja atau budget Distrik atau Kabupaten, juga menentukan kebijakan pemerintah untuk pembangunan daerah dan rakyat di daerah itu. Adanya organisasi rakyat, civil society organisation, pada tingkat daerah atau distrik akan sangat strategis sebagai alat tawar-menawar politik ekonomi dalam memengaruhi kebijakan daerah termasuk alokasi budget bagi pembangunan rakyat, yakni: pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan aturan-aturan terkait dengan tata guna dan hak milik dan penguasaan atas sumber-sumber agraria. Program reforma agraria untuk petani dan program kesetaraan gender, walaupun itu secara politik legal berada di ranah Pemerintah Pusat, namun dalam eksekusi materinya atau implementasi politik sosial ekonominya, berada dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Daerah dan DPRD.

CINDELARAS PARITRANA sadar akan kekurang-pengalaman dalam politik praktis dan pengorganisasian perempuan, kendati memiliki keunggulan dalam kerja sosial ekonomi. Melalui program LOLET II ini, CINDELARAS PARITRANA bekerjasama dengan perkumpulan PERGERAKAN (untuk organisasi petani) dan HAPSARI (untuk organisasi perempuan) bermaksud mendorong berdirinya organisasi petani dan perempuan tingkat distrik. Dalam memfasilitasi (pendidikan penyadaran, ketrampilan sampai strategic planning untuk mendirikan sebuah organisasi) pendirian organisasi petani dan organisasi perempuan, CINDELARAS PARITRANA mendapatkan pendampingan bidang pemberdayaan sosial ekonomi, sementara PERGERAKAN dan HAPSARI mengurusi bidang penguatan politik dan budayanya. Maka pada akhir paruh kedua tahun 2010 dan awal tahun 2011 berhasil didirikanlah tiga organisasi perempuan; Serikat Petani Kulonprogo (SERTANI) dan Serikat Perempuan Independen Kulonprogo (SPIK) di Kabupaten Kulonprogo, serta Serikat Perempuan Bantul (SPB) di Kabupaten Bantul.

Fokus sumbangan CINDELARAS PARITRANA terhadap tiga organisasi tersebut meliputi tiga hal: (1) mengembangkan keanggotaan Credit Union di antara anggota Serikat; (2) mempergunakan sumber keuangan dari CU untuk mendorong kedaulatan pangan terutama dengan mempromosikan pertanian organik, dan (3) memperlancar proses perdagangan adil (fair trade and distribution) di antara anggota organisasi dan simpatisan, baik berupa barang pertanian maupun hasil kerajinan para perempuan dan jasa wisata desa. Wisata desa itu telah berjalan tujuh bulan ini dengan andalan “petik dan goreng teh rakyat” sambil makan “ketela bakar” mengagumi “kambing etawa juara nasional” dan merenungkan arti hidup dalam kultur Jawa dengan patok negaranya, dalam sejuknya udara siang dan dinginnya malam. Semua dapat ditemukan di Dusun Keceme, Puncak Suroloyo, Pegunungan Menoreh, Kulonprogo, DIY. yang menyediakan 10 pondok penginapan terbuat dari bambu, lengkap dengan aula ruang makan dan kamar mandi/WC.



Program Pemberdayaan Komunitas Basis

PERPEC atau Peasants’ Rights Participatory Education for A Community-Based Rural Empowerment pada dasarnya adalah musyawarah untuk mufakat yang terbimbing pada awal dari proses, dan semakin mendekati puncak dilepas pada mekanisme rembug masyarakat desa sendiri. Tentu tema-tema pokok yang merupakan 6 (enam) matra pengarus-utamaan program-program CINDELARAS PARITRANA tetap dijalankan, dan merupakan kurikulum pendidikan. Pada PERPEC I meliputi: (1) Hak-Hak Asasi Petani, (2) Kritik terhadap Globalisasi dan Menggalang Gerakan Sosial Baru, (3) Pemberdayaan Berkelanjutan khususnya Pertanian Organik, (4) Mengembangkan Bela Kemanusiaan, (5) Menggalang Solidaritas lewat Credit Union dan Koperasi, dan (6) Meningkatkan Kesetaraan Gender.

Untuk PERPEC II lebih menekankan pada pendidikan pelatihan strategi dan kiat-kiat untuk menjadikan 6 matra pengarus-utamaan berjalan secara realistis dalam kehidupan sehari-hari bagi para petani dan masyarakat miskin lainnya. Misalnya saja, tentang pemberdayaan berkelanjutan melalui pertanian organik yang dilatihkan, dari bagaimana menyiapkan lahan pertanian dengan kompos dan bibit pilihan, sampai pada pemeliharaan dan pengadaaan lumbung pangan berikut mekanisme penjualan hasil produksinya. Tentang membangun Credit Union (CU) maupun memekarkannya, diadakan pendidikan filosofi dan manajemen CU secara sederhana, strategi pengembangan dan pemanfaatannya, serta bagaimana CU dipakai sebagai salah satu kaki dari kaki-usaha. Pada kedua contoh, lumbung dan CU, praktek tentang kesetaraan gender sudah di-subversifkan ke dalam pendidikan pelatihan tersebut. Contoh ketiga adalah bagaimana sebuah komunitas diorganisir sebagai organisasi perjuangan hak petani dan mengembangkan model alternatif yang pro rakyat.

Dengan kata lain, semua matra pengarus-utamaan itu dijadikan bahan pembelajaran bersama yang akhirnya mengerucut pada sebuah rumusan kecil bahwa kunci keberhasilan program pemberdayaan terletak pada sikap mental dan kreativitas pelaku pembangunan itu sendiri, alias masyarakatnya. Oleh karena itu, langkah awal menemani dan memberdayakan masyarakat dicoba melalui dialog dengan mereka, yakni melalui program pendidikan penyadaran yang dikenal dengan PERPEC. PERPEC ini sudah dijalankan CINDELARAS PARITRANA sejak tahun 2001 sebagai bagian dari dialog bersama, seiring dengan berjalannya proyek yang didanai CCFD. Pada tahun-tahun berikutnya, CINDELARAS PARITRANA mengambil langkah baru dengan melakukan pendidikan PERPEC terlebih dahulu ke komunitas-komunitas dampingannya yang baru. Kalau CO-PAR dimaksudkan untuk memetakan berbagai faktor yang memengaruhi pemiskinan dan pembodohan rakyat-jelata di pedesaan dan membuat strategic planning mengatasinya, maka PERPEC didesain untuk meningkatkan wawasan dan ketrampilan rakyat-jelata, khususnya keluarga petani kecil, hingga mampu mengatur langkah mengatasi masalah bersama seraya mengembangkan model alternatifnya.

Tahun 2002, melalui PERPEC, CINDELARAS PARITRANA membuka relasi dengan enam komunitas baru, yaitu: Jetis, Praon, dan Ngoro-oro di Gunungkidul, Ngliseng di Bantul, Pagerharjo di Kulonprogo, kelimanya di propinsi DIY, dan Sumbersari di Purworejo, Jawa Tengah. Dampak dari pendidikan PERPEC yang diperkuat dengan pendampingan tenaga lapangan CINDELARAS PARITRANA adalah munculnya kesadaran kritis di masing-masing komunitas. Meskipun kesadaran kritis yang terbangun masih bersifat personal, namun ada pencapaian positif yang harus diapresiasi. Khusus di Sumbersari, kesadaran yang terbangun menghasilkan upaya konsolidasi membentuk organisasi tani alternatif, Kelompok Muda Karya Tani, yakni kelompok orang muda bertani organik. Pada tahun 2003, melalui program PERPEC, CINDELARAS PARITRANA kembali mengembangkan komunitas dampingan. Ada tujuh dusun di DIY, yaitu Ngrandu, Wanglu, dan Tobong di Gunungkidul, kemudian Sendangsari, dan tiga dusun yang masuk kawasan Lo-Rejo (Puluhan, Jitar, dan Pingitan) di Sleman, dan satu dusun di Jawa Tengah, yaitu Kedunggubah di Kaligesing, Purworejo. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat ternyata berdampak juga pada semakin terpinggirkannya kaum perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah keluarga atau rumah tangga, maka PERPEC tahun 2003 sedikit diperbaharui dengan menambahkan satu materi baru, yaitu tentang kesetaraan gender.

Memasuki tahun 2004, materi PERPEC yang sama diberikan kepada tiga komunitas baru, yaitu: Sejati, Pakelan, dan Kleben yang dilaksanakan di pendopo Lo-Rejo. Ketiganya ada di wilayah Kabupaten Sleman. Dari hasil PERPEC ini, terjadi konsolidasi antara komunitas Sejati dan Pakelan dan membentuk paguyuban bersama dengan nama paguyuban Pertanian Organik Guyub Rukun (POGR), sementara komunitas Kleben membentuk paguyuban Bangunrejo. Lima komunitas ditambahkan lagi di tahun 2005-2006. Tahun 2005 PERPEC diselenggarakan di Dusun Geger di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan di Dusun Tugu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tahun 2006 meski terjadi gempa, materi PERPEC tetap dilaksanakan di tiga komunitas, yaitu: Jomboran, Sleman, dan Sodo, Gunungkidul, (DIY) dan Balak, Klaten, (Jateng). Materi PERPEC diberikan bersamaan dengan program-program emergency, recovery, dan rehabilitasi untuk korban bencana gempa. Dalam penanganan korban Gempa Yogya 2006, CINDELARAS PARITRANA ikut ambil bagian secara aktif di 24 komunitas, di luar komunitas reguler. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya hanya sembilan komunitas yang siap dan terorganisir untuk menerima materi PERPEC. Komunitas tersebut terdiri dari beberapa dusun, yakni: Kaligondang, Bungas, Payak Cilik, Dermojurang (Kabupaten Bantul), Terbah, Mongkrong, Jonggrang (Kabupaten Gunungkidul), dan Nglatihan II, Mirisewu (Kabupaten Kulonprogo). Program PERPEC baru dilanjutkan tahun 2009 yang dilaksanakan di tiga dusun: Modinan, Bakalan (Sleman), dan Nabin (Magelang, Jateng).

Pada tahun 2010/ 2011, CINDELARAS PARITRANA mengadakan pendidikan pelatihan PERPEC II yang lebih maju selangkah untuk mendampingi enam komunitas yang sudah mendapatkan pendidikan penyadaran PERPEC I. Adapun PERPEC II lebih dari sekedar penyadaran sebagaimana PERPEC I dan mengisinya dengan strategic planning untuk membangun model alternatif pro rakyat ditambah dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk itu. Pada saat ini, fokus program ada pada dua hal pokok dasar kehidupan sehari-hari petani, yakni: membangun kedaulatan finansial lewat pengembangan Credit Union a la filosofi petani dan lumbung pangan organik yang bersifat fair trade and distribution. Keenam komunitas yang dipilih pada tahun 2010/ 2011 berdasar pada dialog dengan masyarakat sendiri, yakni: Lo-Rejo dan Kleben (Kabupaten Sleman), Payak Cilik (Kabupaten Bantul), Jetis dan Praon (Kabupaten Gunungkidul), ketiganya di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Balak (di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah).

Sebagai hasilnya, di enam komunitas pedesaan tersebut para petani yang bergabung sudah mulai mendirikan Lumbung Pangan, khususnya padi. Bahkan di Jetis, Lumbung Padi sudah berjalan lama, maka Komunitas Jetis menambah satu lumbung baru, yakni Lumbung Kotoran Hewan (tlethong), khususnya sapi dan kambing, untuk kompos. Di enam komunitas tersebut, CINDELARAS PARITRANA, juga mendorong dan memfasilitasi masyarakat tani untuk lebih menguatkan manajemen dan manfaat dari Credit Union atau semi-Credit Union yang telah kami fasilitasi sejak beberapa tahun lalu. Di lingkungan gerakan CINDELARAS PARITRANA, pada saat ini sudah ada tiga Credit Union/ Semi-Credit Union: (1) Credit Union “Cindelaras Tumangkar” dengan anggota per 30 Juni 2011, sebesar 2797 orang (laki-laki: 1525 orang, perempuan: 1272 orang) beroperasi di seluruh DIY dan Jawa Tengah dimana anggota komunitas Lo-Rejo, Balak, Payak Cilik, Kleben dll. menjadi anggotanya; (2) Credit Union “Ngudi Lestari” di Komunitas Jetis, dengan anggota per 30 Juni 2011 sebesar 340 orang atau 119% penduduk karena anggotanya juga dari dusun tetangga, dan (3) Semi-Credit Union KUPP “Rahayu“ di Komunitas Praon, dengan anggota per 30 Juni 2011 sebesar 141 unit rumah tangga atau 40% dari total rumah tangga di Praon.

Sejak 2002 hingga 2011, PERPEC telah dilaksanakan di 34 komunitas. Meliputi dua provinsi, empat kabupaten di DIY dan tiga kabupaten di Jawa Tengah. Secara personal program ini sudah diikuti 1021 orang. Dari proses PERPEC ini mereka menyadari bahwa hidupnya telah terkooptasi oleh kekuatan dahsyat yang berada di luar dirinya. Tanpa sadar pula mereka tergiring pada pola hidup individualis. Kerekatan dan kepedulian sosial menjadi barang usang yang tak diperlukan lagi. Secara kasat mata, PERPEC berhasil mengubah pandangan mereka. Masyarakat pun menanggapi kegiatan pendidikan ini dengan respon yang berbeda. Ciri yang paling nampak adalah adanya kesadaran untuk hidup dalam kebersamaan, tidak lagi individual. Ini terlihat dari upaya mereka membentuk kelompok-kelompok yang bersedia membangun mimpi bersama. Ada yang secara konsisten menjaga “mimpi bersama” tersebut, meski tak segera mengubahnya menjadi kenyataan. Ada yang mulai melangkah dan menemukan lorong alternatif menuju pembebasan. Ada yang masih berjalan di tempat. Ada juga yang justru menemui kebuntuan.




Membangun Kesadaran Kritis dan Partisipasi Aktif

Metode CO-PAR atau Community Organising through Participatory Action Research yang dipakai oleh CINDELARAS PARITRANA adalah hasil sintesa dari 3 alat penelitian partisipatoris yang selain untuk mendapatkan kesimpulan sahih, juga untuk pendidikan penyadaran dan sekaligus untuk pengorganisasian (menyatukan platform perjuangan rakyat). Alat yang pertama adalah alat penelitian yang berupa serial kuesioner yang didesain, dicobakan dan dikembangkan oleh Francis Wahono selama tahun 1992/ 1993 untuk penelitian lapangan di dua desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penelitian untuk penulisan disertasi Ph.D. bidang perubahan sosial ekonomi di pedesaan itu sendiri adalah kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif dan banyak diskusi partisipatifnya dari 17 enumerator yang berasal dari masyarakat. Adapun alat yang kedua adalah dari buku CO-PAR yang dikembangkan dan dipakai oleh para aktivis sosial dan akademisi kontekstual di Filipina Selatan. Sedang alat yang ketiga adalah dari kumpulan karangan mengenai penelitian partisipatif yang dikeluarkan oleh Social Institute di India.

CO-PAR pertama dalam kerangka CINDELARAS PARITRANA, dicobakan di sepuluh dusun di dua desa di Pacitan untuk studi mengenai usaha-usaha off-farm masyarakat dengan tekanan pada keadilan gender pada tahun 1999. Pada CO-PAR pertama, pendesain penelitian, Francis Wahono masih 90% terlibat dalam penelitian. CO-PAR kedua dilakukan untuk masyarakat Lo-Rejo yang berjumlah tiga dusun. CO-PAR kedua ini sudah disederhanakan dari segi kuesioner, jauh lebih sedikit dan fokusnya adalah mengetahui tingkat kemiskinan (termasuk yang tersembunyi) dari masyarakat. Pada CO-PAR kedua ini, pendesain penelitian sudah tidak terlalu banyak terlibat dalam penelitian. Pada CO-PAR ketiga, yakni dilaksanakan di Praon, Gunungkidul. Model CO-PAR-nya sudah lebih disederhanakan lagi dan fokusnya ada dua, yakni tingkat kemiskinan dan peran perempuan. Pada CO-PAR ketiga, pendesain penelitian sudah sama sekali tidak ikut dalam penelitian. Pada CO-PAR ketiga ini pelaku penelitian adalah para staff CINDELARAS PARITRANA.

Walaupun pada kedua CO-PAR, baik di Lo-Rejo maupun di Praon pendesain penelitian tidak ikut secara penuh, prinsip-prinsip participatory research masih dijalankan. Lebih dari itu, sejak tahun 2002 setiap pembukaan dari suatu komunitas untuk bergabung ke dalam pendampingan CINDELARAS PARITRANA, CO-PAR jauh lebih sederhana dan fleksibel, mendekati CO-PAR a la Filipina dan India. Dalam penyederhanaan yang difokuskan ada 5 (lima) pemetaan masyarakat: peta geografi, peta sosiatri, peta sumber penghidupan, peta sumber pendapatan, analisa deficit ekonomi dan non ekonomi (politik, sosial, budaya, keadilan gender, dan kerukunan hidup beragama), dan peta akar-akar kegagalan bertani dan berusaha. Dari hasil temuan lapangan, yang umumnya melibatkan para narasumber utama pedesaan dan orang-orang muda mereka, masyarakat petani desa mengadakan pembahasan bersama. Hasil pembahasannya adalah: (1) kesadaran bersama mengenai nasib mereka mengapa dipermiskin dan diperbodoh, dan oleh kekuasaan yang mana; (2) penemuan mengenai akar-akar pemiskinan dan pembodohan; (3) kemampuan mengidentifikasikan sumber-sumber penghidupan yang mana sajakah yang harus mereka perjuangkan secara damai dan legal hingga dapat mereka kuasa kembali; (4) usaha-usaha pengorganisasian, jejaring, kampanye, advokasi dan lobby apa yang perlu mereka lakukan tahap demi tahap; dan (5) model-model alternatif apa sajakah yang sudah mereka mulai sebagai pilot project.

Pendidikan Penyadaran Rakyat

LSM CINDELARAS PARITRANA secara metodis selama 14 tahun terakhir, telah mempergunakan 3 (tiga) alat penyadaran dan pengorganisasian rakyat, yakni: Community Organising through Participatory Action Research (CO-PAR), Peasants’ Rights Participatory Education for A Community-Based Rural Empowerment (PERPEC) dan Local Leadership Training (LOLET). Pada tahun pertama 1998/ 1999, CINDELARAS PARITRANA mulai merintis jaringan kerja dengan masyarakat desa, khususnya di tiga dusun di Kelurahan Sumberarum, Moyudan, Sleman, yang kemudian dikenal secara berkelompok karena disatukan oleh sebuah program sebagai komunitas Lo-Rejo. Pada tahun-tahun selanjutnya, pergulatan dan perjuangan masyarakat pedesaan, khususnya petani gurem, yang menjadi fokus perhatian CINDELARAS PARITRANA berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian Selatan. Banyak hal yang dapat dipelajari dari sikap hidup dan kesederhanaan berpikir para petani kecil di daerah tersebut. Kepasrahan menerima keadaan sekaligus keluh-kesah ketak-berdayaannya, menggugah tekad CINDELARAS PARITRANA untuk menjadi teman seperjalanan dalam usaha mereka membebaskan diri dari berbagai belenggu sosial ekonomi.

Untuk memulai program pembebasan tersebut, pada permulaannya CINDELARAS PARITRANA mengandalkan pada modal yang sangat kecil dan tak stabil, yakni tenaga pikiran serta dana sendiri yang berasal dari gaji dosen dan sisa fee penelitian. Pada tahun kedua, CINDELARAS PARITRANA melakukan program Community Organising through Participatory Action Research (CO-PAR) di komunitas Lo-Rejo dengan dukungan moral dan dana dari Catholic Committee contre la Faim et pour la Developpement (CCFD), Paris, Perancis. Dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pekerjaan serta komunitas yang minta difasilitasi, mulai tahun 2002 atau tahun keempat eksistensinya, CINDELARAS PARITRANA melakukan pendidikan penyadaran kaum tani tentang pelaksanaan dan perjuangan hak-hak asasi mereka dengan program Peasants’ Rights Participatory Education for A Community-Based Rural Empowerment (PERPEC) dan Local Leadership Training (LOLET). Untuk itu CINDELARAS PARITRANA mendapatkan dukungan moral dan dana dari Development and Peace (DNP), Montreal, Canada.

Dalam kaitannya dengan kebijakan Pemerintah, masyarakat desa, termasuk para petani dampingan CINDELARAS PARITRANA tak mampu bersikap kritis terhadap berbagai bentuk program pembangunan model top-down yang didikte Pemerintah. Masyarakat hanya diposisikan sebagai obyek pembangunan, bukan sebagai mitra sejajar. Selain itu, globalisasi yang mewujud dalam citra “modernisasi” sudah cukup lama merambah dan merasuki hampir segala aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali masyarakat di wilayah pedesaan. Saat ini mereka sadar bahwa globalisasi, yang bahkan difasilitasi oleh pemerintah telah menjajah mereka. Mereka belum merasakan arti kemerdekaan di tanah mereka sendiri.

Di sisi lain, budaya instant yang merasuki jiwa masyarakat terasa sekali menggusur nilai-nilai luhur budaya nenek moyang seperti “nek arep ngundhuh, yo melu nandur” (bila ingin ikut memanen, ya ikutlah menanam) dan ”ilmu iku kelakone kanthi laku” (ilmu itu bisa terlaksana dengan bertindak), sehingga semakin menjauhkan diri dari lokalitas budaya bangsa. Semua berpacu dengan kecepatan mengeksploitasi alam, mengejar keinginan dan nafsu lahir. Masyarakat desa sudah terlalu jauh dibawa pada arus pasar bebas yang mematikan daya tawar masyarakat pada umumnya. Guna membangun penyadaran masyarakat, khususnya kaum petani gurem dan keluarganya di pedesaan terhadap kekuatan yang menindas, memperbodoh dan akhirnya mempermiskinnya selama ini, seraya menimbulkan semangat dan gairah membangun model alternatif pro kebutuhan mereka, CINDELARAS PARITRANA melakukan program-program penyadaran dan pemberdayaan masyarakat.

CINDELARAS PARITRANA




Lembaga Swadaya Masyarakat CINDELARAS PARITRANA atau singkatnya CINDELARAS ini didirikan pada 27 Oktober 1998 oleh tiga sobat, yakni Dr. Ignatius Wibowo Wibisono, SJ; Francis Wahono, B.Ec (Hons), Ph.D, dan Andreas Suhana Nitiprawira, S.P, CSsR, atas sponsor hak pakai tanah dari Yohanes Djemangin Nitiprawira, seorang petani beken di Puluhan, Sumberarum, Moyudan, Sleman, D.I. Yogyakarta. Mandat utama lembaga ini adalah mengadakan pendidikan penyadaran, pengetahuan, ketrampilan dan pemberdayaan komunitas desa, khususnya petani dan para perempuan serta orang mudanya, agar mereka kritis terhadap neoliberalisme dan berani mencoba model-model alternatif yang pro dan berpusat pada rakyat. Selain itu, bila keadaan memanggil, seperti tsunami di Aceh, gempa di Bantul dan Klaten, serta erupsi gunung Merapi, lembaga juga sekemampuannya melibatkan diri pada kerja emergensi dan rehabilitasi berbasis komunitas. Selama eksistensinya, yang hampir 14 tahun Yayasan Cindelaras Paritrana, di ranah nasional, telah sukses menjadi coordinator perumusan hak-hak asasi petani (2001), coordinator Prepcom Rio+10 Indonesia untuk wilayah Jawa-Bali, tuan rumah gerakan sosial baru Indonesia (2005), coordinator koalisi LSM untuk emergensi dan rehabilitasi di Nagan Raya Aceh (2005-2008), dan coordinator advokasi koalisai 73 LSM suara korban gempa di Yogyakarta (2006-2007). Ciri khas pendidikan Lembaga ini adalah PERPEC (Peasant Rights Participatory Education) dan LOLET (Leadership Training), serta pemberdayaan berbasis inisitatif lokal rakyat yang memandirikan. Aksi dan refleksi sebagai metode sentral lembaga dilakukan dengan live-in dan bergerak bersama rakyat seraya merefleksikan hasilnya sebagai bahan memperkaya penulisan-penulisan buku. Sampai pertengahan 2012 ini, Yayasan Cindelaras Paritrana telah menerbitkan 25 buku, diharapkan sampai akhir tahun ada 3 tambahan buku baru lagi, yang berdasar pengalaman lapangan dibingkai dalam teori mutakhir. Untuk melaksanakan mandat pendidikan, penyebaran pengetahuan dan peningkatan ketrampilan sosial umum, Cindelaras Paritrana menyelenggarakan Lembaga SEMAI.

Alamat : Padhepokan Cindelaras, Jln. Pangkur no. 19,
Ganjuran, Manukan, Condongcatur,
Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta, 55283, Indonesia.
Ph.: +62 274 889611 dan Ph/fax.: +62 274 889612
Email: cindebooks@yahoo.com; website: www.cindelaras.org