Selasa, 23 April 2013

Andai Kita tak Abai dengan Bung Hatta, UUD 1945, dan Koperasi, Bangsa Indonesia sudah Makmur dan Sejahtera



artikel penulis, diambil dari Kuliah Akhbar-nya, Seri 1,  menyambut HUT RI-67, Hari Tani, Hari Pangan Sedunia dan Hari Ibu, tanggal 10 Agustus s.d. 9 November 2012 yang diselenggarakan di CINDENEST, Jln. Pangkur no.19, Ganjuran-Manukan, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta.

Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia

Berandai

Apabila akhir-akhir ini Anda membaca surat kabar, Anda akan berjumpa dengan persoalan-persoalan besar sosial ekonomi yang menyangkut harkat hidup orang banyak yang akan mengusik pikiran, bisakah itu akan lebih bagus kalau dikelola secara kooperasi. Beberapa dari antara persoalan tersebut adalah: reforma agrarian termasuk kepemilikan hutan dan tambang, kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, sistem jaminan sosial, industry kreatif masyarakat adat maupun ekonomi rumah tangga rakyat jelata, bahkan sekolah dan rumah sakit di daerah terpencil, pembangunan sarana-sarana publik di daerah-daerah, pengadaan buku serta perpustakaan dan literature serta sarana komunikasi tingkat desa/dusun dan kampung, pengelolaan uang bersama-sama untuk rakyat, sarana transportasi rakyat, pemeliharaan dan pelestarian bermanfaat dari ekosistem dan keseluruhan lingkungan hidup, menjaga keamanan daerah perbatasan dan penangkapan ikan oleh pencuri asing di perairan Nusantara, memungkasi dan mereduksi berbagai diskriminasi serta kekerasan, dlsb. Bayangkan kalau itu semua dikelola oleh kooperasi, bukan diserah jualkan dengan hampir-hampir sistem lego kepada perusahaan swasta besar korporasi, bukan pula swasta besar korporasi menyewa pengamanan sendiri atau memakai tentara dan polisi yang nota bene dibayar oleh pajak rakyat lewat negara. Bayangkan, pemerataan pekerjaan dan penghasilan serta kesejahteraan dan keadilan sosial akan lebih terealisasikan. Bila itu dikelola oleh kooperasi secara kooperatif. Mengapa tidak? Karena dari kooperasi rakyat, kurupsi lebih sulit dilakukan, bila pun dilakukan biaya akan lebih besar, karena harus mengumpulkan dari yang kecil-kecil. Beda dengan bila langsung memelihara yang besar, korporasi, koruptor tinggal berhubungan dengan satu dua orang, selesai sudah praktek jahatnya, dan jauh lebih murah ongkosnya. Apalagi semua praktek kotor itu dikelola dan didesain melalui perlindungan hukum dan administrative, lancarlah. Tapi menderitalah bangsa dan rakyatnya ini, karena cenderung secara sistematis menjadi sapi perah para elit dan sebagian besar pemimpinnya.


Bung Hatta, Mohammad Hatta, satu dari 2 Pahlawan Proklamator Republik Indonesia, sejak kecil ketika baru di sekolah lanjutan atas, sudah mendengar, melihat kecenderungan elit dan pemimpin dari ranah kelahirannya Bukit Tinggi. Bagaimana pada tahun 1920-an, organisasi dagang Kerukunan Orang Minangkabau (KOM) bangkrut berantakan karena dipimpin oleh intelek cocok tanam. Kesimpulannya: organisasi dagang harus dikelola orang yang tahu dagang. Pada kesempatan lain, sama dengan pendapat ekonom Belanda pro Rakyat Indonesia, J.H. Boeke –yang dikagumi oleh almarhum Prof. Mubyarto dan kebetulan kerangka teorinya saya pinjam dalam disertasi – Bung Hatta melihat bahwa beberapa koperasi utamanya konsumsi gagal karena mengandaikan ilmu kooperasi sama saja dengan gotongroyong, guyup rukun, tanpa perlu pengurus dan menajer belajar ilmu kooperasi termasuk pembukuan dan disiplin pengelolaan uang, barang dan tak ketinggalan organisasi orang. Republik kita ini telah salah dikelola oleh orang yang salah tempat juga.




Demokrasi mestinya bukan siapa saja semau gue berkompetisi untuk mendapatkan kedudukan, dan tidak mampu dan tak punya cita-cita pengabdian pada kesejahteraan rakyat. Sudah ideologi tak jelas, motif tak lurus, tindakan penuh manipulasi dan ketidak jujuran, kerjanya cuma tidur di ruang sidang, dan kalau ada uang matanya hijau, kalau ada peluang piknik berebut budget. Ciri orang kuasa baru dan orang kaya baru, ‘kere munggah bale’. Menata dan memilih sistem ekonomi sosial budaya dan politik itu membutuhkan orang yang mampu dan berkomitmen, bukan sembarang dan preman berdasi atau berdasi yang preman. Dan Bung Hatta, juga sadar itulah yang beliau sebutkan sebagai ‘mental inlander’, bukan bangsa inlander tetapi mentalnya inlander, bukan pemenang bukan juragan bukan pula penguasa, tapi mental kere munggah mbale. Maka beliau sekolah, setinggi mungkin pada jamannya, dengan seluruh resoures keluarga dan jaringan yang memungkinkan, setelah tamat, pulang kembali memerdekaan dan membangun negerinya. Kini semangat seperti itu, sebetulnya banyak, tetapi celaka mereka kerja di bawah, tidak mendapatkan kesempatan ke atas, karena jalur partai korup adalah jalur yang sulit dimasuki oleh mereka.

Orang-orang Indonesia yang banyak dan baik itulah yang diimbau oleh kuliah ini untuk cancut taliwanda, menurut kemampuan, situasi, dan bagiannya sendiri-sendiri. Karena terlaksananya kooperasi tergantung dari orang-orang semacam Bung Hatta tersebut. Tidak harus berpendidikan tinggi, tetapi berdedikasi tinggi diserati usaha memajukan diri dalam kemampuan dan ketrampilan lewat pergulatan praktek dan interaksi dengan teman-teman sejawat. Mari kita taksirkan kira-kira manusia Bung Hatta, Bapak dan inspirator Kooperasi Indonesia seperti apa?


Bung Hatta

            Pertama-tama harus dicatat, Bung Hatta membedakan antara ‘Individualita’ dan Individualisme. Beliau pro Individualita. Tetapi menentang keras Individualisme. Individualita itulah yang harus banyak diusahakan oleh orang Indonesia kalau mau merdeka. Itulah manusia merdeka, yang secara individu mampu, berkomitmen, kerja keras, berdisiplin, jujur, dan jelas orientasi hidupnya. Maka juga bersifat mandiri dan berdaulat.

Lain dengan ‘Individualisme’, itu beliau fahami dari pilar Kapitalisme, yang pada jaman beliau mengalami tiwikrama dari kapitalisme perorangan menjadi kapitalisme monopoli. Pilar utama Kapitalisme adalah kepemilihan private property atau hak kepemilikan pribadi di atas segala. Itulah egoism ekonomi sosial politik budaya, kesombongan luar dalam. Maka wawasan hidupnya ya self-interest, kepentingan pribadi diagungkan. Dan nilai self-interest itu bisa melegalkan tindakan kekerasan, misal perang di Afganistan dan Irak, yang mengorbankan jiwa rakyat jelata tak bersalah maupun prajurit tentara yang ingusan diperlakukan bak mesin.

Pilar kedua dari Kapitalisme adalah pasar bebas, yang dalam ekonomi hanya ada dalam teks untuk mahasiswa/i tingkat satu sampai dua. Karena itu model disederhanakan dengan seribu satu asumsi, pengandaian, yang diberi lambing huruf Yunani ‘myu’ atau error. Karena jelas dari praktek, Kapitalisme baik yang berwajah colonial maupun imperialisme itu hanya bisa pasar bebas untuk dirinya, bila dilindungi oleh negara yang kuat. Maka VOC diback up oleh Pemerintah Kolonial. Kini WTO diback up oleh tentara dan senjata politik bantuan dan mesiu dari negara Adidaya, serta diback up sistem hukum international yang mengikat yang terjajah, tapi membebaskan yang menjajah. Tulisan Ikrar Nusa Bakti dua hari lalu dalam harian Kompas mengenai Freeport di Papua sungguh membuat nafas sesak ndak mengerti. Juga tulisan Sri Palupi pada harian sama hari sama mengenai ‘budak belian modern’ yang bernama TKI/TKW yang justru, dua-duanya dilindungi oleh Hukum dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia.

Catatan kedua mengenai Bung Hatta, yakni bahwa beliau konsisten sampai mendekati akhir hidupnya memakai istilah ‘kooperasi’ atau ‘co-operation’ dan bukan ‘koperasi’ apalagi ‘koeperasi’ seperti kita. Dalam bahasa Inggris maupun Eropa lainnya, dari mana istilah itu berasal, istilah ‘kooperasi’ lebih benar dan tepat. Tekanannya pada ‘co-op’, jadi betul-betul itu kumpulan orang. Bukan uang, bukan badan hukum sembarang, tetapi kumpulan orang yang adalah anggota, tetapi terbuka. Kuliah ini hendak memakai ‘kooperasi’ sekarang dan selanjutnya, untuk menandai inilah ‘kooperasi yang sejati sebagaimana dicita-citakan oleh Bung Hatta’. Kebanyakan kooperasi sekarang ini adalah ‘koperasi’, kumpulan uang untuk usaha sementara orang pengurus, lupa anggotanya.

Catatan ketiga, sesuai dengan perjalanan hidup Bung Hatta, beliau, juga untuk kooprasi, menandaskan pentingnya pendidikan. Pendidikan ekonomi, pendidikan sosial dan pendidikan politik. Kooperasi bagi beliau adalah gerakan politik ekonomi yang sosial. Maka bukan sekedar ‘badan usaha’ seperti Undang-Undang koperasi 1992, juga bukan ‘badan hukum’, yang boleh didirikan oleh investor bukan anggota, seperti Draft Rancangan Undang-Undang koperasi tahun 2010.

Pendidikan politik ekonomi yang sosial itulah yang waktu ini adalah sebuah kelangkaan. Semestinya hal ini telah masuk sejak awal dari sejak SD kelas 4, sebagaimana juga pelajaran mengenai lingkungan hidup. Siapa gurunya bagaimana kurikulum dan praktek laboratorium masyarakatnya? Agar tidak menambah isi tas anak-anak SD yang bobotnya sudah 5 -9 kg, maka ilmu kooperasi tersebut disuversikan ke dalam pelajaran muatan lokal wajib atau pada pelajaran-pelajaran lain. Anak-anak kita malah lebih fasik dalam pikiran dan emosi serta semangat dengan ilmu Kapitalisme daripada Kooperasi. Mau menjadi generasi tukang, pengkopi, dan ‘inlander’ lagi?
           
UUD 1945

Langkah tersebut, pendidikan politik ekonomi yang sosial a la kooperasi adalah salah satu pelaksanaan jelas dan tuntas dari Preambule UUD 1945. Visi dan missi Republik Indonesia ini adalah di preambule berserta Pancasilanya. Satu yang menonjol utama adalah ‘hendak mencerdaskan bangsa dan kehidupannya’. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang kritis terhadap antara lain Kapitalisme, karena itu membuat manusia nomor dua seraya yang empunya capital nomor satu. Sekarang lebih kompleks dan menyeluruh yakni sudah bertiwikrama menjadi Neoliberalisme. Seraya cerdas, bangsa ini juga harus berdaulat sambil ikut menyelenggarakan ketertiban dunia dengan damai. Nah, daulat ini yang tidak dipunyai lagi oleh elite dan pimpinan bangsa ini, tetapi saya yakin masih berkobar di antara rakyat jelata dan para orang mudanya. Jangan putus asa, dan berhenti, karena melihat situasi yang seolah tak mungkin diubah. Kalau nglokro, kita kalah dengan para Kapital besar. Kita harus percaya bahwa situasi bisa berubah, bahwa yang kini berkuasa berlimpah harta, dalam semalam, bisa berbalik berantakan masuk bui selamanya. Harus yakin, terus berjuang, terus maju, dengan kadang ‘keras kepala diserta kehendak dan hati yang membara’. Semangat UUD 1945 dalam preambule adalah semangat yakin diri merdeka dan mampu mengelola politik ekonomi yang sosial dan berkepribadian nasional.

Pada pasal 33, UUD 1945, adalah bentuk model politik ekonomi yang sosial, kini tentu juga ekologial, yang merupakan jaminan sistem agar ‘fakir miskin dan yatim piatu mampu dipelihara negara’, agar ‘hak pekerjaan dan pangan rakyat terpenuhi’, agar ‘HAM dan Ecosoc dapat direalisasikan’, agar ‘perdamaian dan kebebasan agama dan menjalankan ibadatnya terjamin’, agar ‘partisipasi dalam demokrasi sungguh oleh orang cerdas dan berkomitmen pada Republic’, dst.

Berulang kali Bung Hatta menjelaskan (sayang penjelasan UUD 1945 hilang dalam amandemen), bahwa yang dimaksud ekonomi ber-azas kekeluargaan itu masuknya kooperasi. Menurut Hatta, istilah ‘kekeluargaan’ diambil dari tradisi gerakan Taman Siswa. Jadi, bukan KKN. Antara Murid dan Guru, Majikan dan Buruh, Atasan dan Bawahan, meskipun ada jenjang hierarkhi tetapi itu harus dilandasi jiwa dan semangat ‘kekeluargaan’. Seperti semangat ‘kepamongan’ untuk pendidikan. Semangat ‘demokrasi yang saling ngemong’ untuk perusahaan. Semangat memuliakan rakyat, mendengarkan dan melayani rakyat, untuk pemerintahan negara. Penjelasan itu cukup dan paripurna.

Kooperasi

Kooperasi dengan ‘oo’ dua adalah bentuk atau sistem ekonomi ber-azas kekeluargaan. Bukan ekonomi keluarga, tetapi azas kekeluargaan. Bila kita ambil dari pemikiran dan praktek Robert Owen dan koperasi a la Rondhale, maka sebagai industriawan yang besar dan sukses, Owen mempraktekkan azas kekeluargaan. Bukan sekedar sikap philantrophis dimana tanpa sistem tetapi atas dasar benevolence/ kebaikan hati yang bisa ngot-ngotan, tetapi jadi sistem yang baku. Baik sekolah buruhnya maupun larangan anak di bawah 12 tahun bekerja di pabrik, dan juga larangan perempuan bekerja di pabrik. Itu sistem dari terjemahan pilihan nilai. Tokok neo-populisme, seperti A.V. Chayanov dari Russia yang dibunuh Stalin memperkenalkan pertanian berbasis ekonomi rumah tangga. Di Sumba menurut penelitian, ekonominya juga berbasis ekonomi rumah tangga. Memang sistem belis yang intinya saling hutang piutang selama lamanya sampai anak cucuk melanggengkan ‘kemiskinan’. Memang benar, sebelum Revolusi Hijau, Clifford Geertz menyoroti sifat involutif dari rumah tangga petani Jawa, yang tidak maju-maju, karena tambahan jumlah keluarga bukan memajukan lahan tetapi meng-kreatif-mundurkan lahan garapan dan teknikny, maka ‘berbagilah dalam kemiskinan’. Transmigrasi juga hanya perpanjangan dari itu, maka akhirnya memindah kemiskinan di Jawa ke luar Jawa.

Nah, kooperasi itu menstranformasikan basis kekeluargaan, luasannya komunitas, ke tingkat pengetahuan dan teknis manajerial serta disiplin yang sering dianggap professional dalam mengelola keuangan, barang dan orang (organisasi). Transformasi, artinya tidak meninggalkan INTI kekeluargaannya, tetapi memperkenalkan dan belajar lewat pendidikan dan pelatihan akan disiplin dan profesionalitas mengelola uang, barang dan orang. Itulah yang disebut oleh baik J.H. Boeke dan Bung Hatta, bahwa pendidikan ilmu kooperasi yang bersifat politik ekonomi yang bersosial tidak boleh diandaikan, apalagi disamakan dengan gotong royong tradisional, harus diadakan secara sadar terpola dan terevaluasi serta ternilai. Dengan itu sistem traditional yang ‘koneksi keluarga’ harus diakhiri, seraya sistem Kapitalis harus dihindari, dengan mengetengahkan sistem berazas kekeluargaan, komuniter, patembayatan yang menjawab jaman ini.

Bagaimana selanjutnya alam pikiran dan landasan teori bagi kooperasi? Minggu depan kita sambung lagi. Terimakasih. Selamat berdiskusi.

Yogyakarta, 10 Agustus 2012.

1 komentar:

  1. Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D





    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D






    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D




    BalasHapus