Selasa, 12 Maret 2013

LOLET: Menyiapkan Tokoh Perubahan Komunitas

Local Leadership Training (LOLET) atau Pelatihan Pemimpin Setempat merupakan metode pengembangan komunitas yang diterapkan Cindelaras Paritrana. Dari kelompok-kelompok yang terbentuk perlu dimunculkan sebagian orang yang dipercaya menjadi pimpinan dan sekaligus menjadi penggerak lokal pada masing-masing kelompok. Karena tuntutan sebagai dinamisator kelompok, para penggerak lokal ini memerlukan pendidikan dengan porsi berbeda. Para penggerak lokal ini terdiri dari: (1) para pemimpin lokal yang formal dan sadar atau simpati; (2) para pemimpin lokal yang informal termasuk tokoh panutan, etnis, agama, cendekiawan, dan pengusaha lokal; dan (3) para petani militan, baik yang sudah mendapatkan pendidikan PERPEC maupun yang belum. Di samping itu respon terhadap PERPEC terimplementasi secara berbeda pada masing-masing kelompok, namun mereka terikat pada roh gerakan yang sama. Untuk itu didesain sebuah program yang dikhususkan bagi para penggerak lokal ini, yakni LOLET.

Tahun 2004, tepatnya, 17-19 Desember 2004, bertempat di Puluhan, penggerak lokal Lo-Rejo bersama dengan penggerak lokal dari delapan komunitas lain (Sumbersari, Jetis, Kleben, Nglipar, Wanglu, Kedunggubah, Tobong, Ngliseng) berkumpul. Kepada mereka diberikan pelatihan dengan materi: Analisa Sosial berkaitan dengan tema Otonomi Daerah, Pengelolaan Sumber Daya Air, Globalisasi Neoliberalisme, dan Reforma Agraria. Pertemuan yang dihadiri 23 peserta (21 laki-laki dan 2 perempuan) ini sekaligus menjadi media komunikasi antar komunitas. Harapannya, ke depan terbentuk konsolidasi jaringan organisasi melalui pemahaman kesadaran dan sinkronisasi kegiatan tanpa mengesampingkan corak lokalitas masing-masing komunitas. Selain itu lewat LOLET juga memungkinkan terjadinya proses saling mengenal antar komunitas untuk memunculkan rasa solidaritas. Melalui program ini para penggerak lokal diajak melakukan dialog dan berbagi pengalaman agar tumbuh saling pengertian, rasa senasib dan seperjuangan dalam garis gerakan yang sama. Proses pembelajaran para penggerak lokal dilaksanakan di salah satu komunitas. Di lokasi ini peserta juga bisa belajar tentang apa yang dilihat dan dialami. Kemudian mereka juga dituntun untuk berbagi pengalaman, sehingga masing-masing komunitas bisa saling menilai, saling memperkaya, dan saling menguatkan.

Capaian lebih lanjut adalah munculnya tokoh-tokoh lokal yang secara tegas menolak praktek-praktek globalisasi neoliberalisme dan secara aktif mengambil langkah alternatif. Sebut saja Ignatius Purwanto dan Danang Eko Saputro dari Kleben; Sarmadi, Marsudi, dan Abdullah dari Jetis; Sukapno dari Pakelan-Sejati; Nanang dan Darusman dari Sumbersari; Maryanto dari Wanglu; Kamiyono dari Tobong; Marno dari Ngliseng; Partiman dan Suhardi dari Praon, dan Saryono dari Lorejo. Mereka adalah local leaders yang mensosialisasikan pertanian organik, yakni cara bertani yang mengandung nilai-nilai solidaritas, kepercayaan dan ramah lingkungan. Jika bertani organik harus bersertifikat, mereka menolak tegas, salah satunya Purwanto dari Kleben yang tegas mengatakan pada seorang ibu yang hendak membeli beras organik di dusunnya, ”Ibu jauh-jauh dari Jakarta sampai Kleben mau mencari beras organik atau mau membeli secarik kertas? Silakan tinggal di sini tiga bulan melihat cara budi daya kami kalau tidak percaya.” Bagi Purwanto, bertani organik tidak sekedar masalah produk, tetapi ada saling percaya, ada kemerdekaan tersendiri dan terbebas dari eksploitasi pasar bebas.

Selain itu, hasil dari LOLET ini mampu menumbuhkan kesadaran para pemimpin local untuk membangun kekuatan kemandirian finansial dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam maupun Credit Union yang dikelola lebih murni dan konsisten untuk para anggota, sebagaimana disebutkan di atas, yakni Credit Union “Ngudi Lestari” di Jetis, Semi Credit Union Kelompok Usaha Pedukuhan Praon (KUPP) “Rahayu” dan Credit Union “Cindelaras Tumangkar” (CUCT) di Lo-Rejo. CUCT yang lahir dari salah satu komunitas dan berakar dari masyarakat, akhirnya mampu merengkuh sejumlah anggota yang tersebar di DIY dan Jawa Tengah. Selain itu melalui SEMAI, perintis-perintis CU-CU kami sudah ikut membidani lahirnya CU-CU Primer di daerah-daerah lain, seperti: di Jombang, Purworejo, Salatiga, Lampung, Medan, dan membantu mengupgrade sebuah CU di Bagan Batu, Riau. Perlu dipahami bahwa kesadaran kritis yang dihasilkan melalui pendidikan PERPEC dan LOLET ini tentu tidak mudah dicapai. Butuh waktu dan proses yang panjang, bahkan tidak sedikit yang harus mengalami benturan-benturan kenyataan. Namun pada akhirnya tetap membawa pada kesadaran kritis komunitas sebagai dasar perjuangan merebut kedaulatan dan membangun kemandirian sosial ekonomi, khususnya kedaulatan finansial dan pangan.

Pada paruh kedua tahun 2010, CINDELARAS PARITRANA memperkenalkan LOLET II. Lebih maju dari LOLET I, program LOLET II tidak hanya melakukan pendidikan penyadaran dan ketrampilan pengorganisasian pada tingkat komunitas pada pimpinan lokal, baik formal maupun informal, tetapi mendorong terjadinya organisasi rakyat yang bersifat politik, ekonomi, sosial dan budaya di tingkat distrik atau regensi, atau di tingkat wilayah pemerintahan otonomi daerah, pemerintahan regional terendah, yakni antara pusat dan lokal, namun masih di bawah Provinsi. Setelah Orde Reformasi tahun 2000-an, bila sebuah organisasi rakyat mulai masuk ranah politik, khususnya advokasi kebijakan publik, tidak harus mampu bermain di tingkat distrik, tapi juga di tingkat pemerintahan otonom terendah dalam Republik Indonesia.

Pada tingkat distrik, Kabupaten atau Kotamadya ini, Bupati atau Walikotanya dipilih langsung oleh rakyat secara langsung. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Secara bersama-sama, Bupati dan DPRD selain menentukan Anggaran dan Belanja atau budget Distrik atau Kabupaten, juga menentukan kebijakan pemerintah untuk pembangunan daerah dan rakyat di daerah itu. Adanya organisasi rakyat, civil society organisation, pada tingkat daerah atau distrik akan sangat strategis sebagai alat tawar-menawar politik ekonomi dalam memengaruhi kebijakan daerah termasuk alokasi budget bagi pembangunan rakyat, yakni: pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan aturan-aturan terkait dengan tata guna dan hak milik dan penguasaan atas sumber-sumber agraria. Program reforma agraria untuk petani dan program kesetaraan gender, walaupun itu secara politik legal berada di ranah Pemerintah Pusat, namun dalam eksekusi materinya atau implementasi politik sosial ekonominya, berada dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Daerah dan DPRD.

CINDELARAS PARITRANA sadar akan kekurang-pengalaman dalam politik praktis dan pengorganisasian perempuan, kendati memiliki keunggulan dalam kerja sosial ekonomi. Melalui program LOLET II ini, CINDELARAS PARITRANA bekerjasama dengan perkumpulan PERGERAKAN (untuk organisasi petani) dan HAPSARI (untuk organisasi perempuan) bermaksud mendorong berdirinya organisasi petani dan perempuan tingkat distrik. Dalam memfasilitasi (pendidikan penyadaran, ketrampilan sampai strategic planning untuk mendirikan sebuah organisasi) pendirian organisasi petani dan organisasi perempuan, CINDELARAS PARITRANA mendapatkan pendampingan bidang pemberdayaan sosial ekonomi, sementara PERGERAKAN dan HAPSARI mengurusi bidang penguatan politik dan budayanya. Maka pada akhir paruh kedua tahun 2010 dan awal tahun 2011 berhasil didirikanlah tiga organisasi perempuan; Serikat Petani Kulonprogo (SERTANI) dan Serikat Perempuan Independen Kulonprogo (SPIK) di Kabupaten Kulonprogo, serta Serikat Perempuan Bantul (SPB) di Kabupaten Bantul.

Fokus sumbangan CINDELARAS PARITRANA terhadap tiga organisasi tersebut meliputi tiga hal: (1) mengembangkan keanggotaan Credit Union di antara anggota Serikat; (2) mempergunakan sumber keuangan dari CU untuk mendorong kedaulatan pangan terutama dengan mempromosikan pertanian organik, dan (3) memperlancar proses perdagangan adil (fair trade and distribution) di antara anggota organisasi dan simpatisan, baik berupa barang pertanian maupun hasil kerajinan para perempuan dan jasa wisata desa. Wisata desa itu telah berjalan tujuh bulan ini dengan andalan “petik dan goreng teh rakyat” sambil makan “ketela bakar” mengagumi “kambing etawa juara nasional” dan merenungkan arti hidup dalam kultur Jawa dengan patok negaranya, dalam sejuknya udara siang dan dinginnya malam. Semua dapat ditemukan di Dusun Keceme, Puncak Suroloyo, Pegunungan Menoreh, Kulonprogo, DIY. yang menyediakan 10 pondok penginapan terbuat dari bambu, lengkap dengan aula ruang makan dan kamar mandi/WC.



1 komentar:

  1. Teman-teman dapat menelusuri pengalaman ini dalam buku "MANAJEMEN DAN PRAKTEK GERAKAN SOSIAL BARU". Silakan hubungi CINDE BOOKs Telp 0274 889611, atau berkunjung ke jl Pangkur 19, Ganjuran, Manukan, Condongcatur, Jogja.

    BalasHapus