Jumat, 19 April 2013

Bank Indonesia: Kebijakan Moneter Triwulan I, Prospek Triwulan II 2013





Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11 April 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 5,75%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar 4,5% ± 1%. Mencermati meningkatnya tekanan inflasi jangka pendek harga bahan pangan (volatile foods) akhir-akhir ini dan masih berlanjutnya tekanan terhadap keseimbangan eksternal, Bank Indonesia akan memperkuat operasi moneter melalui penyerapan ekses likuiditas yang lebih besar ke tenor yang lebih jangka panjang. Bank Indonesia juga tetap mewaspadai sejumlah risiko terhadap tekanan inflasi tersebut dan akan menyesuaikan respons kebijakan moneter sesuai kebutuhan. Kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan kondisi fundamental yang selama ini dilakukan akan dilanjutkan, diperkuat dengan percepatan upaya-upaya pendalaman pasar valuta asing. Bank Indonesia juga memperkuat koordinasi bersama Pemerintah dengan fokus pada upaya menekan defisit transaksi berjalan dan meminimalkan potensi tekanan inflasi dari sisi volatile foods, termasuk kebijakan impor hortikultura.

Kamis, 18 April 2013

Pembangunan Pertanian Tinjauan Situasi 1990-2000 Sepuluh Tahun yang Lalu (2002)






Pembangunan pertanian sangat penting bagi Indonesia karena pertanian merupakan cara hidup mayoritas penduduk. Sektor pertanian (di luar kehutanan) memberikan kontribusi sebesar 15,75 persen dari GDP di tahun 2000 dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 45 persen penduduk. Namun, kebijakan pembangunan Indonesia lebih menekankan pada pembangunan industri, seperti terlihat dari menurunnya alokasi anggaran. Alokasi anggaran pemerintah untuk pertanian selama tahun 1969-1974 adalah sekitar 22,6 persen dari pengeluaran nasional, tapi di tahun 1994/1995 alokasi anggaran hanya sebesar 11 persen, dan mencatat rekor terendah 9,8 persen di tahun 1999/2000 (BPS, 2001).

Hal menonjol dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah program Revolusi Hijau untuk padi (diperkenalkannya varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia serta irigasi), sehingga Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984. Namun keberhasilan ini terbukti tidak berlangsung lama ketika di tahun 1990 Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras, dengan impor sebanyak 3 juta ton di tahun 1998. Ditambah lagi, pertanian di Indonesia didominasi oleh petani-petani kecil, dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,25 - 0,5 hektar per rumah tangga petani.
Hal ini menyulitkan petani-petani untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan pertanian besar, dan pada kenyataannya rumah tangga petani mendapatkan penghasilan terendah dibanding kelompok masyarakat lain di Indonesia. Keprihatinan lain adalah cepatnya laju konversi lahan pertanian yang subur (biasanya persawahan) yaitu sekitar 30.000 hektar per tahun (Kompas, 10 Oktober 2001; BPS, 2001).

Agenda 21 Indonesia Sektor Kehutanan Catatan Posisi Sepuluh Tahun Lalu 2002




Sektor kehutanan memainkan peranan penting dalam ekonomi Indonesia terutama melalui produksi dan ekspor kayu dan produk-produk berbahan baku kayu. Dari tahun 1989 hingga 1999, industri perkayuan memberi kontribusi sebesar 20 persen dari total pendapatan Indonesia dalam mata uang asing (Suara Pembaruan, 13 Oktober 1999). Indonesia memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia, dengan luas mencapai 108,5 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2001). Oleh karena itu proyek-proyek pembangunan seperti perkebunan komersil, waduk, program transmigrasi dan pertambangan bergantung pada konversi kawasan hutan. Banyak masyarakat lokal dan adat di Indonesia, khususnya di luar Jawa, bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan sosial budaya mereka. Tambahan lagi, hutan diketahui mempunyai fungsi ekologis baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Selama lebih dari tiga dekade yang dimulai pada tahun 1967, berbagai fungsi hutan ini belum dikelola dengan baik dan pemerintah lebih menekankan pada pemanfaatan kayu dibanding manajemen hutan berbasis ekosistem. Hal ini telah menyebabkan eksploitasi hutan besar-besaran dan konversi kawasan hutan untuk tujuan-tujuan komersil yang akhirnya mengakibatkan penipisan sumber daya hutan. Laju penebangan hutan di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia dengan kisaran antara 1,6 hingga 2,1 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2001).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR



 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
SUMBER DAYA AIR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang;
b. bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras;
c. bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;

Selasa, 16 April 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2005
TENTANG DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 216 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548), perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah Tentang Desa;

Menyimpan Benih, Pangan Masa Depan



Wawancara dengan Vandana Shiva
Guido S Purwanto

Dr. Vandana Shiva
“The world has enough for everyone's need, but not enough for everyone's greed,” kata  Mahatma Gandhi. Bumi ini mampu mencukupi kebutuhan setiap orang, tapi tidak bagi yang tamak. Ibu Bumi sudah menyediakan benih-benih terbaik demi keberlanjutan yang harmonis seluruh makhluk dalam pangkuannya. Namun, ada sementara orang yang merekayasa benih, kemudian dengan berbekal selembar sertifikat kemudian memperjualbelikan pada petani, tanpa mengindahkan etika.
Dr Vandana Shiva, salah satu tokoh yang pantas kita kenali. Ia salah seorang penerus Mahatma Gandhi dalam bidang pertanian. Bij Satyagraha, atau paham non-kooperativ dalam bidang perbenihan mengambil nafas perjuangan Gandhi ketika melawan imperialisme. 

Dr  Vandana Shiva lahir di Dehradun, India. Seorang fisikawan terkenal, kemudian dilatih menjadi pecinta lingkungan. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Navdanya (Sembilan Benih), salah satu program dari Yayasan Penelitian Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekologi (RFSTE). Navdanya secara aktif terlibat dalam peremajaan pengetahuan adat dan budaya, dan aktif berkampanye untuk hak-hak rakyat. Lembaga ini memiliki 52 bank benih di seluruh India, dan lahan pertanian organik tersebar di area seluas delapan hektar di Uttarakhand, India utara.  Dr Shiva telah menulis 57 penerbitan, di antaranya:  Earth Demokrasi: Keadilan, Perdamaian dan Keberlanjutan (2005), dan Manifesto tentang Masa Depan Pangan dan Benih (2007).

Berikut, petikan wawancara Vandhana Shiva dengan sebuah penerbitan di India.

Minggu, 14 April 2013

Perang Pangan Organik Alamiah Melawan Pangan Hasil Rekayasa Genetika






Sebenarnya sudah dari tahun 1998, Uni Eropa menerapkan labeling atas produk-produk hasil dari benih rekayasa genetik. Namun sejak bulan November 2012, setelah penelitian ilmuwan Perancis atas benih jagung hasil rekayasa genetik (GMO) yang potensial menyebabkan kanker, berbagai negara di Asia menghentikan impor benih-benih hasil rekayasa genetika dari Amerika Serikat, khususnya dari perusahaan Monsanto. Rusia juga menyetop impornya. Jepang, Australia, New Zealand, China, Saudi Arabia, Thailand, India, Chile dan Africa Selatan mulanya juga hanya menerapkan GMO-labeling atas produk-produk hasil benih rekayasa genetik, yang menyebabkan harga jual di pasar menjadi lebih tinggi, tetapi menyadarkan masyarakat bahwa jika mereka memilih produk itu, mereka sadar bahwa telah memilih produk yang dapat menyebabkan kanker. Peru 100% melarang perdagangan produk GMO di negerinya.Sekarang total 49 negara di seluruh dunia melawan produk GMO/GE.