Perang Pangan Organik Alamiah Melawan Pangan Hasil Rekayasa Genetika

Sebenarnya sudah dari tahun 1998, Uni Eropa menerapkan labeling atas produk-produk hasil dari benih rekayasa genetik. Namun sejak bulan November 2012, setelah penelitian ilmuwan Perancis atas benih jagung hasil rekayasa genetik (GMO) yang potensial menyebabkan kanker, berbagai negara di Asia menghentikan impor benih-benih hasil rekayasa genetika dari Amerika Serikat, khususnya dari perusahaan Monsanto. Rusia juga menyetop impornya. Jepang, Australia, New Zealand, China, Saudi Arabia, Thailand, India, Chile dan Africa Selatan mulanya juga hanya menerapkan GMO-labeling atas produk-produk hasil benih rekayasa genetik, yang menyebabkan harga jual di pasar menjadi lebih tinggi, tetapi menyadarkan masyarakat bahwa jika mereka memilih produk itu, mereka sadar bahwa telah memilih produk yang dapat menyebabkan kanker. Peru 100% melarang perdagangan produk GMO di negerinya.Sekarang total 49 negara di seluruh dunia melawan produk GMO/GE.

Amerika Serikat yang diuntungkan oleh ekspor benih hasil GMO bersikap enteng saja, membiarkan praktek labeling maupun pelarangan impor negara-negara lain tanpa mengambil sikap tegas, dan memberi kesempatan kepada perusahaan Monsanto untuk membuktikan bahwa benih-benih pertanian GMO-mereka aman. Maka mulailah kampanye “public relations” yang gencar dari Monsanto menangkal penilaian negatif atas produk-produk mereka. Puluhan juta dolar mereka keluarkan untuk membela citra produk mereka, bahkan dengan menyatakan bahwa hasil rekayasa genetika mereka adalah “alamiah” (natural) dan “sama sekali alamiah” (all natural). Namun justru karena itu marahlah para petani dan konsumen Amerika yang tidak mau dibohongi, terutama para petani dan konsumen hasil pertanian organik yang sungguh alamiah. Rekayasa genetika dari istilahnya saja sudah menunjukkan bahwa bukan alamiah.

Dari California muncul Proposisi 37 yang menuntut agar produk-produk GMO/GE (genetically engineered) diberi label, untuk membedakan mereka dari produk organik yang sungguh alamiah menjelang akhir 2012. Mulanya hanya 6 juta orang membubuhkan tanda tangan mendukung petisi itu. Pada awal Januari 2013, masyarakat Washington mengeluarkan I-522, mengusung 300 ribu tanda tangan untuk pelabelan produk GMO. Dan pada bulan Maret, gelombang protes anti GMO/GE meluas bukan saja melawan Monsanto, tetapi juga perusahaan rekayasa genetika pertanian lainnya seperti Giant Biotech dan Big Food dan rantai pemasaran mereka (GMA). Jumlah masyarakat Amerika yang menentang produk GMO/GE (rekayasa genetik) meledak hingga lebih dari 35 juta orang. Gerakan sosial pertanian menentang produk hasil rekayasa genetik makin luas merambat ke negara-negara bagian AS yang berjumlah 61 itu.

Gejala protes melawan GMO/GE yang terjadi di luar negeri dan di Amerika Serikat yang adalah negara asal produsen dan penyalur GMO/GE Monsanto, Giant Biotech, Big Food dan GMA sendiri seharusnya menyadarkan pemerintah (Kementan) dan masyarakat Indonesia untuk juga menolak produk-produk hasil GMO/GE diperdagangkan di Indonesia. Seperti diketahui, banyak benih jagung, kedelai, hortikultura yang beredar di Indonesia adalah hasil GMO/GE. Pemerintah harus memberi tahu rakyat bahaya produk-produk GMO/GE, dan mengharuskan produk-produk GMO/GE diberi label untuk menyadarkan pilihan masyarakat. Atau, seperti dilakukan oleh banyak negara lain, sama sekali melarang peredaran produk GMO/GE di Indonesia.