Kamis, 11 April 2013

Budidaya Kakao





PENDAHULUAN
Tanaman kakao merupakan tanaman perkebunaan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan stabil, dan prospeknya cukup menjanjikan. Permintaan pasar akan komoditas ini sangat besar. Bagi petani tanaman kakao yang sudah berbuah mendatangkan hasil panen mingguan. Tetapi jika faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta factor pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitas akan rendah.
 
1. Persiapan Lahan
Pada dasarnya, tanaman kakao merupakan tanaman sela. Persiapan lahan dengan demikian disesuaikan dengan bidang tanah yang hendak ditanami. Karena tanaman kakao memerlukan naungan, lahan yang sudah memiliki tanaman pokok produktif namun hendak disulam hendaknya menyisakan tanaman penaung berjajar dari utara ke selatan. Kakao juga dapat ditanam di kebun kelapa. Jika tadinya merupakan tanah kosong, dua tahun sebelum ditanami kakao perlu disiapkan pokok-pokok penaung seperti Lamtoro, Gleresidae dan Albazia.

Gunung sebagai Menara Air Kita





Lebih dari setengah populasi manusia di dunia tergantung oleh air yang berasal dari aliran sungai-sungai yang bersumber dari gunung, baik untuk kebutuhan minum, pengairan tanaman pangan, sumber tenaga listrik dan bagi keberlanjutan berbagai industri. Peran strategis dan vital ekosistem gunung, selain menjadi pusat konsentrasi keragaman hayati serta memiliki budaya dan tradisi yang khas, sesungguhnya yang terutama adalah keberadaannya sebagai sumber air bersih dalam tata air secara keseluruhan.



Maka sustenabilitas ekosistem kawasan gunung sebagai sumber air perlu mendapat perhatian. Juga di Indonesia. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Ekosistem yang baik dapat menangkal bencana alam yang merugikan orang banyak. Banjir yang kronis melanda Jakarta antara lain ditengarai sebagai akibat dari rusaknya ekosistem gunung di kawasan Puncak Cisarua, Bogor, yang tidak mampu lagi menahan air larian sehingga meluncur turun deras menjadi banjir kiriman menggenangi Jakarta. Banjir yang semakin sering terjadi di kota Bandung pun ditengarai disebabkan oleh rusaknya ekosistem kawasan sekitar Hutan Juanda di Lembang. Bukan mustahil pula banjir kronis di kota Semarang bukan saja disebabkan oleh rob air laut, tetapi juga oleh rusaknya ekosistem gunung di bagian selatan kota karena maraknya alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman yang kurang penghijauan. Masalah kita dengan demikian adalah bagaimana membangun ekosistem gunung yang dapat menahan air hujan, meresapkannya ke dalam tanah, dan menjadikannya sumber air lestari bagi daerah-daerah di bawah gunung-gunung. Tatakelola ekosistem (termasuk ekosistem kawasan gunung) meliputi a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum.

Kamis, 04 April 2013

Gunung-gunung kita dan Energi Panas Bumi




Indonesia yang terletak pada jalur gunungapi lingkar Pasifik dan lintas Asia memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 129 di antaranya aktif, sehingga Indonesia merupakan negara yang paling kaya akan gunung di dunia (16%). Pada bulan Maret 2013 Pusat Data Informasi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyebutkan, 18 gunung berstatus waspada yakni Gunung Dieng, Seulawah Agam (Aceh, Sumatera), Papandayan (Garut, Jabar), Dukuno (Pulau Halmahera), Sinabung (Kab Karo, Sumatera Utara), Marapi (Sumatera Barat), Tangkubanparahu (Lembang, Jabar), Soputan (Sulawesi Utara), Semeru (Lumajang, Jatim), Krakatau (Selat Sunda), Gamkonora (Halmahera), Talang (Solok, Sumatera Barat), Bromo (Jatim), Ibu (Halmahera), Kerinci (Jambi, Sumatera), Ili Lewotolo (Pulau Lembata), Sangeangapi (Kepulauan Nusa Tenggara), dan Gamalama (Maluku Utara).

Mikoriza, Tanah dan Tanaman di Lahan Kering

AR Assyakur

Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara (Iskandar, 2002).

Mikoriza merupakan salah satu dari jenis jamur. Jamur merupakan suatu alat yang dapat memantapkan struktur tanah. Menurut Hakim, dkk (1986) faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan struktur adalah organisme, seperti benang-benang jamur yang dapat mengikat satu partikel tanah dan partikel lainnya. Selain akibat dari perpanjangan dari hifa-hifa eksternal pada jamur mikoriza, sekresi dari senyawa-senyawa pilysakarida, asam organik dan lendir yang di produksi juga oleh hifa-hifa eksternal, akan mampu mengikat butir-butir primer/agregat mikro tanah menjadi butir sekunder/agregat makro. Agen organik ini sangat penting dalm menstabilkan agregat mikro dan melalui kekuatan perekat dan pengikatan oleh asam-asam dan hifa tadi akan membentuk agregat makro yang mantap (Subiksa, 2002).

Konservasi tanah dan air di Lahan Kering


Lahan kering di Indonesia sekitar 75 juta ha. Lahan kering tidak begitu produktif oleh karena lemahnya teknologi pengelolaan lahan kering. Malahan dikhawatirkan situasi lahan2 kering memburuk semakin kritis. Erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara adalah masalah yang paling serius di daerah lahan kering.

Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional masih diandalkan untuk menanggulangi masalah di atas. Tiga metode lain untuk konservasi tanah dan air meliputi metode fisik dengan pengolahan tanah, metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman yang dapat menangkal erosi dan menahan air, serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan-bahan kimia untuk mengawetkan tanah.

Rabu, 03 April 2013

Agenda 21 Chapter 13 MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS SUSTAINABLE MOUNTAIN DEVELOPMENT



Berikut disampaikan dokumen Agenda 21/1992 Bab 13 mengenai Tatakelola ekosistem yang ringkih, khususnya di kawasan gunung-gunung. Karena gunung-gunung disadari sebagai sumber yang penting bagi air, energi dan bio-diversitas, maka perlu mendapat perhatian khusus. Bagi Indonesia yang mempunyai sangat banyak kawasan gunung-gunung bagian ini adalah sungguh penting. Pada Agenda 21/1992 dibahas dua hal, yaitu penjabaran dan penyebaran pengetahuan mengenai ekosistem gunung, dan pemeliharan dan pengembagangan daerah tangkapan air. 


Agenda 21 – Chapter 13
MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS: SUSTAINABLE MOUNTAIN
DEVELOPMENT

13.1. Mountains are an important source of water, energy and biological diversity. Furthermore, they are a source of such key resources as minerals, forest products and agricultural products and of recreation. As a major ecosystem representing the complex and interrelated ecology of our planet, mountain environments are essential to the survival of the global ecosystem. Mountain ecosystems are, however, rapidly changing. They are susceptible to accelerated soil erosion, landslides and rapid loss of habitat and genetic diversity. On the human side, there is widespread poverty among mountain inhabitants and loss of indigenous knowledge. As a result, most global mountain areas are experiencing environmental degradation. Hence, the proper management of mountain resources and socio-economic development of the people deserves immediate action.

13.2. About 10 per cent of the world's population depends on mountain resources. A much larger percentage draws on other mountain resources, including and especially water. Mountains are a storehouse of biological diversity and endangered species.

13.3. Two programme areas are included in this chapter to further elaborate the problem of fragile ecosystems with regard to all mountains of the world. These are:
a. Generating and strengthening knowledge about the ecology and sustainable development of mountain ecosystems;
b. Promoting integrated watershed development and alternative livelihood opportunities.

Agenda 21 Chapter 12 MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS: COMBATING DESERTIFICATION AND DROUGHT



Berikut ini disampaikan dokumentasi Agenda 21 Bab 12 tentang Tatakekola Ekosistem yang ringkih, dalam artian melawan perluasan kawasan kering dan kekeringan. Walau perhatian pada umumnya tertuju pada Afrika, namun banyak daerah di benua lain juga terancam kekeringan dan perluasan kawasan kering. Indonesia khususnya, walaupun juga memiliki lahan kritis, lahan kering, namun karena prioritas perhatian lebih tertuju kepada daerah-daerah hutan dan pertanian subur dalam usaha meningkatkan produktivitas, hanya sedikit saja memerhatikan bab 12 Agenda 21 ini, terutama untuk kerja sama internasional.
 
MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS: COMBATING DESERTIFICATION AND DROUGHT

12.1. Fragile ecosystems are important ecosystems, with unique features and resources.
Fragile ecosystems include deserts, semiarid lands, mountains, wetlands, small islands and certain coastal areas. Most of these ecosystems are regional in scope, as they transcend national boundaries. This chapter addresses land resource issues in deserts, as well as arid, semiarid and dry sub-humid areas. Sustainable mountain development is addressed in chapter 13; small islands and coastal areas are discussed  in chapter 17.

12.2. Desertification is land degradation in arid, semi arid and dry sub-humid areas resulting from various factors, including climatic variations and human activities. Desertification affects about one sixth of the world's population, 70 per cent of all drylands, amounting to 3.6 billion hectares, and one quarter of the total land area of the world. The most obvious impact of desertification, in addition to widespread poverty, is the degradation of 3.3 billion hectares of the total area of rangeland,constituting 73 per cent of the rangeland with a low potential for human and animal carrying capacity; decline in soil fertility and soil structure on about 47 per cent of the dryland areas constituting marginal rainfed cropland; and the degradation of irrigated cropland, amounting to 30 per cent of the dryland areas with a high population density and agricultural potential.