Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11
April 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 5,75%. Tingkat BI
Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan
2014, sebesar 4,5% ± 1%. Mencermati meningkatnya tekanan inflasi jangka pendek
harga bahan pangan (volatile foods) akhir-akhir ini dan masih berlanjutnya
tekanan terhadap keseimbangan eksternal, Bank Indonesia akan memperkuat operasi
moneter melalui penyerapan ekses likuiditas yang lebih besar ke tenor yang
lebih jangka panjang. Bank Indonesia juga tetap mewaspadai sejumlah risiko
terhadap tekanan inflasi tersebut dan akan menyesuaikan respons kebijakan
moneter sesuai kebutuhan. Kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai
dengan kondisi fundamental yang selama ini dilakukan akan dilanjutkan,
diperkuat dengan percepatan upaya-upaya pendalaman pasar valuta asing. Bank
Indonesia juga memperkuat koordinasi bersama Pemerintah dengan fokus pada upaya
menekan defisit transaksi berjalan dan meminimalkan potensi tekanan inflasi
dari sisi volatile foods, termasuk kebijakan impor hortikultura.
Trainer, Consultor, Researcher, Capacity Development Expert
Jumat, 19 April 2013
Kamis, 18 April 2013
Pembangunan Pertanian Tinjauan Situasi 1990-2000 Sepuluh Tahun yang Lalu (2002)
Pembangunan pertanian sangat penting bagi Indonesia karena pertanian
merupakan cara hidup mayoritas penduduk. Sektor pertanian (di luar kehutanan)
memberikan kontribusi sebesar 15,75 persen dari GDP di tahun 2000 dan
menyediakan lapangan pekerjaan bagi 45 persen penduduk. Namun, kebijakan
pembangunan Indonesia lebih menekankan pada pembangunan industri, seperti terlihat
dari menurunnya alokasi anggaran. Alokasi anggaran pemerintah untuk pertanian
selama tahun 1969-1974 adalah sekitar 22,6 persen dari pengeluaran nasional,
tapi di tahun 1994/1995 alokasi anggaran hanya sebesar 11 persen, dan mencatat
rekor terendah 9,8 persen di tahun 1999/2000 (BPS, 2001).
Hal menonjol dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah program
Revolusi Hijau untuk padi (diperkenalkannya varietas unggul, pestisida dan
pupuk kimia serta irigasi), sehingga Indonesia mencapai swasembada beras di
tahun 1984. Namun keberhasilan ini terbukti tidak berlangsung lama ketika di
tahun 1990 Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras, dengan impor
sebanyak 3 juta ton di tahun 1998. Ditambah lagi, pertanian di Indonesia
didominasi oleh petani-petani kecil, dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,25 -
0,5 hektar per rumah tangga petani.
Hal ini menyulitkan petani-petani untuk bersaing dengan
perusahaan-perusahaan pertanian besar, dan pada kenyataannya rumah tangga
petani mendapatkan penghasilan terendah dibanding kelompok masyarakat lain di
Indonesia. Keprihatinan lain adalah cepatnya laju konversi lahan pertanian yang
subur (biasanya persawahan) yaitu sekitar 30.000 hektar per tahun (Kompas, 10 Oktober
2001; BPS, 2001).
Agenda 21 Indonesia Sektor Kehutanan Catatan Posisi Sepuluh Tahun Lalu 2002
Sektor kehutanan memainkan peranan penting dalam ekonomi Indonesia terutama
melalui produksi dan ekspor kayu dan produk-produk berbahan baku kayu. Dari
tahun 1989 hingga 1999, industri perkayuan memberi kontribusi sebesar 20 persen
dari total pendapatan Indonesia dalam mata uang asing (Suara Pembaruan, 13
Oktober 1999). Indonesia memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia, dengan
luas mencapai 108,5 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2001). Oleh karena itu proyek-proyek
pembangunan seperti perkebunan komersil, waduk, program transmigrasi dan pertambangan
bergantung pada konversi kawasan hutan. Banyak masyarakat lokal dan adat di Indonesia,
khususnya di luar Jawa, bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan
sosial budaya mereka. Tambahan lagi, hutan diketahui mempunyai fungsi ekologis baik
di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Selama lebih dari tiga dekade yang dimulai pada tahun 1967, berbagai fungsi
hutan ini belum dikelola dengan baik dan pemerintah lebih menekankan pada
pemanfaatan kayu dibanding manajemen hutan berbasis ekosistem. Hal ini telah
menyebabkan eksploitasi hutan besar-besaran dan konversi kawasan hutan untuk
tujuan-tujuan komersil yang akhirnya mengakibatkan penipisan sumber daya hutan.
Laju penebangan hutan di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia
dengan kisaran antara 1,6 hingga 2,1 juta hektar per tahun (Departemen
Kehutanan, 2001).
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
SUMBER DAYA AIR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa
sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala
bidang;
b. bahwa
dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung
menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib
dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi
secara selaras;
c. bahwa
pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan
keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. bahwa
sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu
diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. bahwa
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e
perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;
Selasa, 16 April 2013
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2005
TENTANG DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 216 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548), perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah Tentang
Desa;
Menyimpan Benih, Pangan Masa Depan
Wawancara dengan Vandana Shiva
Guido
S Purwanto
Dr. Vandana Shiva |
“The world has enough for everyone's need, but
not enough for everyone's greed,” kata Mahatma Gandhi. Bumi ini mampu mencukupi
kebutuhan setiap orang, tapi tidak bagi yang tamak. Ibu Bumi sudah menyediakan
benih-benih terbaik demi keberlanjutan yang harmonis seluruh makhluk dalam
pangkuannya. Namun, ada sementara orang yang merekayasa benih, kemudian dengan
berbekal selembar sertifikat kemudian memperjualbelikan pada petani, tanpa
mengindahkan etika.
Dr Vandana Shiva, salah satu tokoh yang pantas kita kenali. Ia salah
seorang penerus Mahatma Gandhi dalam bidang pertanian. Bij Satyagraha, atau paham
non-kooperativ dalam bidang perbenihan mengambil nafas perjuangan Gandhi ketika
melawan imperialisme.
Dr Vandana Shiva lahir di Dehradun, India. Seorang fisikawan terkenal, kemudian
dilatih menjadi
pecinta lingkungan. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Navdanya (Sembilan Benih), salah satu program dari Yayasan Penelitian Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekologi (RFSTE).
Navdanya secara aktif terlibat dalam peremajaan pengetahuan adat dan budaya, dan aktif
berkampanye untuk hak-hak rakyat. Lembaga ini memiliki 52 bank benih di seluruh India, dan lahan pertanian organik tersebar di area seluas delapan hektar di Uttarakhand,
India utara. Dr Shiva telah menulis 57
penerbitan, di antaranya: Earth Demokrasi: Keadilan, Perdamaian dan
Keberlanjutan (2005), dan Manifesto tentang Masa Depan Pangan dan Benih (2007).
Berikut, petikan wawancara Vandhana Shiva dengan sebuah penerbitan di
India.
Minggu, 14 April 2013
Perang Pangan Organik Alamiah Melawan Pangan Hasil Rekayasa Genetika
Sebenarnya sudah dari tahun 1998, Uni Eropa menerapkan
labeling atas produk-produk hasil dari benih rekayasa genetik. Namun sejak
bulan November 2012, setelah penelitian ilmuwan Perancis atas benih jagung hasil
rekayasa genetik (GMO) yang potensial menyebabkan kanker, berbagai negara di
Asia menghentikan impor benih-benih hasil rekayasa genetika dari Amerika Serikat,
khususnya dari perusahaan Monsanto. Rusia juga menyetop impornya. Jepang,
Australia, New Zealand, China, Saudi Arabia, Thailand, India, Chile dan
Africa Selatan mulanya juga hanya menerapkan GMO-labeling
atas produk-produk hasil benih rekayasa genetik, yang menyebabkan harga jual di
pasar menjadi lebih tinggi, tetapi menyadarkan masyarakat bahwa jika mereka
memilih produk itu, mereka sadar bahwa telah memilih produk yang dapat
menyebabkan kanker. Peru 100% melarang perdagangan produk GMO di negerinya.Sekarang total 49 negara di seluruh dunia melawan produk GMO/GE.
Langganan:
Postingan (Atom)