Kamis, 04 April 2013

Konservasi tanah dan air di Lahan Kering


Lahan kering di Indonesia sekitar 75 juta ha. Lahan kering tidak begitu produktif oleh karena lemahnya teknologi pengelolaan lahan kering. Malahan dikhawatirkan situasi lahan2 kering memburuk semakin kritis. Erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara adalah masalah yang paling serius di daerah lahan kering.

Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional masih diandalkan untuk menanggulangi masalah di atas. Tiga metode lain untuk konservasi tanah dan air meliputi metode fisik dengan pengolahan tanah, metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman yang dapat menangkal erosi dan menahan air, serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan-bahan kimia untuk mengawetkan tanah.

Rabu, 03 April 2013

Agenda 21 Chapter 13 MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS SUSTAINABLE MOUNTAIN DEVELOPMENT



Berikut disampaikan dokumen Agenda 21/1992 Bab 13 mengenai Tatakelola ekosistem yang ringkih, khususnya di kawasan gunung-gunung. Karena gunung-gunung disadari sebagai sumber yang penting bagi air, energi dan bio-diversitas, maka perlu mendapat perhatian khusus. Bagi Indonesia yang mempunyai sangat banyak kawasan gunung-gunung bagian ini adalah sungguh penting. Pada Agenda 21/1992 dibahas dua hal, yaitu penjabaran dan penyebaran pengetahuan mengenai ekosistem gunung, dan pemeliharan dan pengembagangan daerah tangkapan air. 


Agenda 21 – Chapter 13
MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS: SUSTAINABLE MOUNTAIN
DEVELOPMENT

13.1. Mountains are an important source of water, energy and biological diversity. Furthermore, they are a source of such key resources as minerals, forest products and agricultural products and of recreation. As a major ecosystem representing the complex and interrelated ecology of our planet, mountain environments are essential to the survival of the global ecosystem. Mountain ecosystems are, however, rapidly changing. They are susceptible to accelerated soil erosion, landslides and rapid loss of habitat and genetic diversity. On the human side, there is widespread poverty among mountain inhabitants and loss of indigenous knowledge. As a result, most global mountain areas are experiencing environmental degradation. Hence, the proper management of mountain resources and socio-economic development of the people deserves immediate action.

13.2. About 10 per cent of the world's population depends on mountain resources. A much larger percentage draws on other mountain resources, including and especially water. Mountains are a storehouse of biological diversity and endangered species.

13.3. Two programme areas are included in this chapter to further elaborate the problem of fragile ecosystems with regard to all mountains of the world. These are:
a. Generating and strengthening knowledge about the ecology and sustainable development of mountain ecosystems;
b. Promoting integrated watershed development and alternative livelihood opportunities.

Agenda 21 Chapter 12 MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS: COMBATING DESERTIFICATION AND DROUGHT



Berikut ini disampaikan dokumentasi Agenda 21 Bab 12 tentang Tatakekola Ekosistem yang ringkih, dalam artian melawan perluasan kawasan kering dan kekeringan. Walau perhatian pada umumnya tertuju pada Afrika, namun banyak daerah di benua lain juga terancam kekeringan dan perluasan kawasan kering. Indonesia khususnya, walaupun juga memiliki lahan kritis, lahan kering, namun karena prioritas perhatian lebih tertuju kepada daerah-daerah hutan dan pertanian subur dalam usaha meningkatkan produktivitas, hanya sedikit saja memerhatikan bab 12 Agenda 21 ini, terutama untuk kerja sama internasional.
 
MANAGING FRAGILE ECOSYSTEMS: COMBATING DESERTIFICATION AND DROUGHT

12.1. Fragile ecosystems are important ecosystems, with unique features and resources.
Fragile ecosystems include deserts, semiarid lands, mountains, wetlands, small islands and certain coastal areas. Most of these ecosystems are regional in scope, as they transcend national boundaries. This chapter addresses land resource issues in deserts, as well as arid, semiarid and dry sub-humid areas. Sustainable mountain development is addressed in chapter 13; small islands and coastal areas are discussed  in chapter 17.

12.2. Desertification is land degradation in arid, semi arid and dry sub-humid areas resulting from various factors, including climatic variations and human activities. Desertification affects about one sixth of the world's population, 70 per cent of all drylands, amounting to 3.6 billion hectares, and one quarter of the total land area of the world. The most obvious impact of desertification, in addition to widespread poverty, is the degradation of 3.3 billion hectares of the total area of rangeland,constituting 73 per cent of the rangeland with a low potential for human and animal carrying capacity; decline in soil fertility and soil structure on about 47 per cent of the dryland areas constituting marginal rainfed cropland; and the degradation of irrigated cropland, amounting to 30 per cent of the dryland areas with a high population density and agricultural potential.

Selasa, 02 April 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan
kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara,
memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus,
dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya
harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus
dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;
c. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus
menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata
nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan
prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan,
sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d
perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Senin, 01 April 2013

Pemantaban Kawasan Hutan





Dikeluarkannya Inpres No.10/2011 diharapkan mendukung percepatan perbaikan tata kelola hutan. Termasuk soal pemantapan kawasan hutan. Keluarnya Instruksi Presiden No.10/2011 kontan menyulut kehebohan. Inpres yang populer sebagai sebagai inpres moratorium itu langsung menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menilai inpres 20 Mei 2011 itu akan menahan laju pertumbuhan Indonesia. Meski demikian, banyak juga yang menyatakan inpres tersebut adalah sebuah terobosan untuk mendorong pengelolaan hutan Indonesia ke arah yang lebih baik. Inpres itu sejatinya bukan melulu soal suspensi penerbitan izin baru. Namun juga menyangkut penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Tajuk inpres adalah tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Hanya saja penundaan pemberian izin baru hanya berlaku 2 tahun, dan Mei tahun 2013 penundaan itu selesai. Inpres memang bermaksud membuat jeda “ambil napas” dalam hal pembangunan kehutanan.

Pembangunan Kehutanan





Pembangunan kehutanan Indonesia diselenggarakan berlandaskan pada mandat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 yaitu pengurusan sumberdaya alam hutan sebagai satu kesatuan ekosistem. Terdapat tiga dimensi utama dalam penyelenggaraan pengurusan sumberdaya hutan, yaitu, pertama adalah keberadaan lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan dalam luasan yang cukup dan sebaran spasial yang proporsional. Entitas yang mencirikan dimensi kawasan adalah mantapnya status hokum kawasan hutan serta tersedianya data dan informasi kondisi serta potensi sumberdaya hutan yang menjadi prasyarat dalam pengelolaan hutan lestari.

Deforestasi di Indonesia Sepintas Kilas



Hutan kita telah mengalami beberapa kali pergantian rezim pengelolaan. Dahulu (pra 1602), hutan dipandang sakral sehingga pemanfaatannya masih sangat terbatas. Namun dari dunia pewayangan tersisa wacana bahwa para bupati pada masa itu memberikan upeti kepada raja dalam rupa glondhong pengareng-areng (balok kayu). Pada masa itu pun sudah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Setelah usaha dagang multinasional Belanda VOC/Vereenigde Oost Indische Compagnie masuk dan menjajah Indonesia (tahun 1602-1799), hutan dipandang sebagai aset ekonomi. Mulailah fase eksploitasi, terutama atas hutan jati di pulau Jawa, untuk memenuhi kebutuhan bahan perkapalan, kayu tong dan peti, bahan senjata, arang, mesiu, kayu bakar, kayu tukang serta kayu mebel di negeri Belanda/Eropa. Akibat eksploitasi itu, hutan di Pulau Jawa mengalami kerusakan.

Karena pasokan kayu jati dari Pulau Jawa semakin seret, VOC melakukan rintisan rehabilitasi. VOC dibubarkan pada tahun 1796, semua asetnya, termasuk tanah jajahan Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda. Selama masa kolonial pemerintah Belanda (1799-1942), kerusakan hutan makin parah karena beban tambahan memenuhi kebutuhan kayu bakar pabrik-pabrik gula yang didirikan di Pulau Jawa