Senin, 01 April 2013

Deforestasi di Indonesia Sepintas Kilas



Hutan kita telah mengalami beberapa kali pergantian rezim pengelolaan. Dahulu (pra 1602), hutan dipandang sakral sehingga pemanfaatannya masih sangat terbatas. Namun dari dunia pewayangan tersisa wacana bahwa para bupati pada masa itu memberikan upeti kepada raja dalam rupa glondhong pengareng-areng (balok kayu). Pada masa itu pun sudah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Setelah usaha dagang multinasional Belanda VOC/Vereenigde Oost Indische Compagnie masuk dan menjajah Indonesia (tahun 1602-1799), hutan dipandang sebagai aset ekonomi. Mulailah fase eksploitasi, terutama atas hutan jati di pulau Jawa, untuk memenuhi kebutuhan bahan perkapalan, kayu tong dan peti, bahan senjata, arang, mesiu, kayu bakar, kayu tukang serta kayu mebel di negeri Belanda/Eropa. Akibat eksploitasi itu, hutan di Pulau Jawa mengalami kerusakan.

Karena pasokan kayu jati dari Pulau Jawa semakin seret, VOC melakukan rintisan rehabilitasi. VOC dibubarkan pada tahun 1796, semua asetnya, termasuk tanah jajahan Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda. Selama masa kolonial pemerintah Belanda (1799-1942), kerusakan hutan makin parah karena beban tambahan memenuhi kebutuhan kayu bakar pabrik-pabrik gula yang didirikan di Pulau Jawa

Mulailah pemerintah Belanda membuat berbagai aturan agar kerusakan hutan tidak meluas.
Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu  dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865.Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati. Koesnadi HHHardjasoemantri mengemukakan bahwa, konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dimulai dengan peraturan mengenai kehutanan di Jawa dan Madura, yaitu dengan ditetapkannya Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Pada tahun 1897 diganti lagi dengan Reglement voor het beheer der bosschen op Java en Madoera, keduanya berlaku sampai tahun 1913. Adapun yang dipakai sebagai landasan kerja Jawatan Kehutanan adalah yang ditetapkan pada tahun 1927, yaitu Reglement voor de beheer de boscchen van den Lande op java en Madoera, yang dikenal juga sebagai Boschordonantie voor Java en Madoera 1927

Berdasarkan reglemen 1865 atas ada beberapa hal yang dapat dikemukakan, yaitu: Pertama. Reglemen Hutan 1865 tersebut  merupakan awal adanya instrumen hukum tertulis yang secara juridis formal telah meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya. Sekalipun reglemen tersebut mulanya hanya berlaku untuk wilayah sebagian besar daerah di Pulau Jawa, tetapi pola penguasaan seperti ini yang menghilangkan keberadaan hutan desa gemeente, menjadi model untuk merampas kekuasaan masyarakat adat atas hak ulayat terhadap hutan adatnya.
Kedua, Kekayaan hutan kita telah menjadi komoditi penting dan potensi ekonomi strategis, yang mengundang minat kaum kapitalis dan imperalis untuk melakukan penjajahan. Apalagi kemampuan sumber daya manusia dan kekuatan persenjataan rakyat Jawa pada masa itu berada jauh di bawah kemampuan imperalis dari Eropah, sehingga pada masa itu tak ada perlawanan gigih yang dilakukan oleh raja-raja dan kaula kerajaan Jawa untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah hutan yang dimilikinya.

Setelah diberlakukan selama sembilan tahun, ternyata Reglemen Hutan 1865 ditemukan beberapa kelemahan yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya. Ada dua masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan Reglemen Hutan 1865, yaitu: (1) musnahnya hutan yang dikelola secara tidak teratur, disebabkan adanya pemisahan hutan jati yang dikelola secara teratur dan tidak teratur, dan (2) banyaknya keluhan mengenai pembabatan hutan guna pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan, bahan bakar, dan lain-lain.

Berdasarkan dua masalah di atas, Pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Reglemen Hutan 1865, dan kemudian diganti dengan Reglemen 1874 tentang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura. Reglemen ini diundangkan pada tanggal 14 April 1874.

Reglemen hutan 1874 pada perkembangan berikutnya diubah dengan reglemen 26 Mei 1882 dan reglemen 21 Nopember 1894, tetapi kemudian diganti sama sekali berdasarkan reglemen tanggal 9 Februari 1897 yaitu tentang Pengelolaan Hutan-hutan Negara di Jawa dan Madura 1897. Kemudian, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 21 tanggal 9 Februari 1897 ditetapkan pula peraturan pelaksanaannya, yaitu Reglemen untuk Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura (dienstreglement). Reglemen ini berisikan ketentuan-ketentuan tentang organisasi Jawatan Kehutanan dan ketentuan pelaksanaan Boschreglemen.
Reglemen Hutan 1897 berlaku selama kurang lebih 16 tahun. Kemudian, dengan diundangkannya reglemen baru tentang hutan Jawa dan Madura pada Tanggal 30 Juli 1913, maka reglemen hutan 1897 tidak berlaku lagi. Reglemen baru ini dikenal dengan nama Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1914.

Sesuai dengan prinsip kemutakhiran tentu saja substansi pengaturan dalam Reglemen Hutan 1913 lebih lengkap dibandingkan dengan tiga reglemen hutan terdahulu. Tetapi karena ditemukan berbagai hambatan dalam implementasinya, maka reglemen tersebut kemudian dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan Ordonansi Hutan 1927.

Ordonansi Hutan  1927 ini sebenarnya bernama Reglemen voor het Beheer der Bossen van den lande op Java en Madura 1927, yang secara singkat dan lebih populer dengan Bosordanntie voor Java en Madura. Ordonansi ini diundangkan dalam Lembaran Negara 1927 Nomor 221, dan terakhir diubah dan ditambah dengan Lembaran Negara  1940 Nomor 3.

Hak-hak masyarakat setempat untuk memperoleh manfaat dari hutan dalam Boschodonantie meliputi hak mengambil kayu dan hasil hutan lainnya, menggembala dan mengambil rumput. Kayu-kayu yang boleh diambil oleh penduduk setempat adalah sisa-sisa kayu yang tidak dipungut oleh Jawatan Kehutanan, kayu mati ataupun pohon-pohon yang rebah di hutan rimba sepanjang untuk keperluan sendiri, bukan untuk diperdagangkan.

Adapun peraturan pelaksana dari Ordonansi Hutan 1927 ini adalah Reglemen voor de Dienst van het Boshwezen voor Java en Madoera yang disingkat dengan Boschdienstreglement voor Java en Madoera, yang kemudian diganti dengan Bepalingen met Betrekking tot s’land Boschbeheer op Java en Madoera (Ketentuan tentang Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura)  yang disingkat menjadi Boschverordening voor Java en Madoera 1932. Peraturan ini kemudian diperbaiki lagi pada tahun 1935, 1937, dan 1939.

Kebijakan dan pengaturan ini berhasil memerbaiki kondisi hutan hingga Jepang datang menggantikan Belanda menjajah Indonesia (1942). Selama penjajahan Jepang, hutan dijadikan modal untuk membiayai perang. Eksploitasi hutan ditingkatkan hingga 200% dari tebangan normal. Diperkirakan, setiap tahun dibuat 500 kapal kayu ukuran 150-200 ton dan sejumlah perahu kecil berukuran 40-60 ton (Suhendang, 2002).

Setelah Indonesia merdeka, pada masa Orde Lama (1950-1965), praktis pemerintah hanya mewarisi kerusakan hutan dari penjajah tanpa ada upaya pengelolaan berarti. Labilnya kondisi politik, konfrontasi dengan negara lain (Malaysia, Belanda, dan Amerika), serta kesibukan memadamkan berbagai pemberontakan di dalam negeri (DI/TII, PRRI, Permesta, dan yang lainnya) membuat hutan kurang diperhatikan. 

Pemerintahan Orde Baru (1966) membuka babak baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Hutan dipandang sebagai aset yang mudah, murah, tinggal panen, dan mampu menarik investasi untuk membiayai pembangunan. Mulailah diberlakukan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dan sejak itu terjadilah penebangan hutan besar-besaran. 


Sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah salah satu sistem pengusahaanhutan di Indonesia dengan para pemegang HPH sebagai pelaksana utama, diatur dalamPeraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 dan ditujukan untuk pengusahaan hutan alam. Sedangkan manajemen hutan adalah upaya teknis terhadap sekelompok hutan dalam peningkatan manfaat dari fungsi hutan secara lestari. Walaupun pada saat ini banyak anggapan bahwa manajemen hutan seolah-olah tidak dapat dipisahkan dari sistem HPH, tetapi melalui suatu pengaturan dalam mekanismenya kedua hal itu dapat berjalan secara terpisah. 
Pada dasarnya sistem HPH merupakan bentuk antisipasi pemerintah setelah dibukanya kran penanaman modal dengan telah dikeluarkannya Undang-undang No. 1/1967 tentang Penanaman modal Asing dan Undang-undang No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, melalui pengaturan pemberian konsesi HPH. Dengan adanya penanaman modal besar (asing dan nasional) untuk eksploitasi hutan, sebagian besar areal hutan akan dipungut hasilnya oleh perusahaan besar. Untuk menjaga pengusaha kecil dan menengah tidak dimatikan usahanya, Dirjen Kehutanan menetapkan kebijaksanaan dalam pemberian konsesi HPH, bahwa luas areal hhutan yang dieksploitasi di setiap propinsi 70-80% diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi, dan 20-30% diberikan kepada pengusaha kecil dengan ijin tebang dan persil tebangan (Departemen Kehutanan RI, 1988). 
Dalam perkembangannya pengusaha kecil di daerah tidak dapat bertahan lama,di pihak lain perusahaan besar mulai mendominasi areal konsesi hutan produksi.Sistem Konglomerasi Hak Pengusahaan Hutan. Permasalahan pengusahaan HPH tidak hanya terletak pada arah konglomerasi pengusahaan hutan Indonesia, namun cara pemberian HPH dinilai banyak pihak kurang transparan karena tidak melalui sistem lelang (tender) terbuka. Akibatnya muncul konglomerasi bisnis hutan, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Konglomerasi akan mengarah pada bentuk oligopoli pasar hasil hutan. Oligopoli adalah suatu situasi pasar yang mana produksi didominasi sebagian atau seluruhnya oleh sejumlah kecil perusahaan. 
Sampai saat ini kepemilikan HPH di Indonesia didominasi oleh 9 group perusahaan. Ke-9 group perusahaan tersebut telah menguasai 34,50% dari total luas areal HPH yang ada di Indonesia (53.550.000 ha) dengan persentase tertinggi adalah Burhan Uray dengan dua group HPH yaitu Jayanti dan Budi Nusa (7,46%) kemudian Barito Pasific Group milik Prayogo Pangestu (6,6%) disusul Kayu Lapis Indonesia (KLI) yang dimiliki oleh Andi Susanto (5,87%), Alas Kusumah yang dimiliki oleh PO. Suwandi (5,26%), Korindo milik In Young Sun (2,79%), Mohamad Bob Hasan dengan group Kalimanis (2,52%), surya Damai milik Martias (2,07%) dan  Satya Jaya Group milik Asbet Lyman (1,92%) serta sisanya dimiliki oleh perusahaan
lain.

Awang (2009) menjelaskan bahwa jumlah kayu ditebang pada periode 1960-1965 sebanyak 2,5 juta m3, tahun 1970 sudah berlipat menjadi 10 juta m3, dan pada tahun 1987 sebanyak 26 juta m3. Sampai tahun 2000, jumlah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mencapai 600 unit HPH dengan areal hutan produksi seluas 64 juta hektar. Awang (2009) menyatakan, akibat kegiatan eksploitasi HPH tersebut, pada 1985 besaran kerusakan hutan (deforestasi) tercatat sebesar antara 600.000 ha – 1,2 juta ha pertahun, dan pada periode 1985-1987 mencapai 1,7 juta ha pertahun. Selanjutnya, pada periode tahun 1990-1997 besaran deforestasi diperkirakan 1,6 – 2 juta ha pertahun, dan pada tahun 1997-2000 untuk lima pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Papua 2,83 juta ha pertahun (Pratiwi, 2006). Forest Watch Indonesia-Global Forest Watch (2001) memberikan data bahwa sejak tahun 1900-1997, terutama periode 1985-1997, pulau Sumatera telah kehilangan 61% hutan daratannya atau setara dengan 3.391.400 ha, Kalimantan 58%, dan Sulawesi 89%. Namun setelah usaha-usaha pencegahan, menurut laporan resmi Kementerian Kehutanan, laju deforestasi dalam tiga tahun terakhir (2007-2010) disebutkan mengalami penurunan menjadi 1,08 juta hektar pertahun (Kemenhut, 2010).

Pemerintah membuat beberapa kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi keterbukaan lahan. Salah satunya dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Lokakarya Pembangunan Timber Estate yang dilaksanakan tanggal 29 – 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto “Kini Menanam Esok Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman Industri” karena padanan bahasa Indonesia dari “Timber Estate” pada Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”. Lokakarya Pembangunan Timber Estate menghasilkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan (Indrawan, 2008). Akhirnya, pada tahun 1990 pembangunan HTI dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), yang kegiatannya terdiri dari : penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan, dan pemasaran. HTI hanya boleh dibangun pada kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.

Luasnya lahan tidak produktif akibat deforestasi merupakan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pembangunan HTI. Sriharso (1986) menyebutkan bahwa pembangunan HTI akan melaju dengan kecepatan 400.000 ha pertahun. Adapun Atmawijaya (1986) menyebutkan angka 230.000 dan 250.000 ha pertahun dengan sasaran luas pencapaian sampai Pelita VI 4,4 juta ha pertahun. Namun kenyataannya, program pembangunan HTI mulai tahun 1984 sampai 1996 baru mampu membangun hutan tanaman sekitar 1,2 juta ha dari total target seluas 6,25 juta hektar yang ditetapkan untuk dibangun sampai dengan tahun 2000 (Handadhari et.al., 2005). Estimasi resmi terakhir, perkembangan tanaman HTI sampai tahun 2009 baru sebesar 4,52 juta hektar (Kemenhut, 2010b).

Deforestasi yang terjadi di negara-negara tropis hingga era 1990-an, telah melahirkan gerakan lingkungan secara internasional. Setelah KTT Bumi tahun 1992, peran penting hutan bagi kehidupan manusia secara global menjadi lebih mendunia dan mendapat pengakuan, karena dalam KTT tersebut dihasilkan dokumen Prinsip-Prinsip Kehutanan (Forestry Principles). Prinsip-Prinsip Kehutanan tersebut memuat beberapa prinsip/norma pokok yang di antaranya adalah pengakuan atas kedaulatan negara untuk mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Dari sinilah konsep pengelolaan hutan secara lestari/PHL (Sustainable Forest Management/SFM) dikembangkan di berbagai negara.
Pelaksanaan praktek pengelolaan hutan secara lestari secara konsisten sudah sangat mendesak untuk direalisasikan secara nyata di lapangan. Selain karena faktor keberadaan hutan tropis bagi keseimbangan ekosistem global, kondisi tersebut juga dilatar belakangi oleh berbagai realitas. Pertama, dari sisi kondisi hutan tropis itu sendiri baik kualitas maupun kuantitasnya yang kini terus mengalami laju deforestasi dan degradasi. Realitas yang berkembang atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam hutan tropis Indonesia adalah disamping telah memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, ternyata dibarengi dengan degradasi fungsi lingkungan yang luar biasa serta tereduksinya fungsi sosial bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan. Kedua, kesadaran dan kepedulian masyarakat internasional selaku konsumen produk-produk hasil hutan Indonesia terhadap praktek-praktek pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dari waktu ke waktu semakin meningkat. Bahkan konsumen dari beberapa negara Eropa dan Amerika Utara telah menyatakan tidak akan mengkonsumsi produk-produk kayu tropis Indonesia apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara lestari.

Bersamaan dengan itu, deforestasi yang terjadi di negara-negara tropis hingga era 1990-an, telah melahirkan gerakan lingkungan secara internasional. Dalam resolusi GA 44/228 Agenda 21 (tahun 1992) dimuat masalah perdagangan internasional dan pengintegrasian lingkungan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Salah satu alat perlindungan lingkungan yang trend waktu itu adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sejak dirintis pertama kali oleh National Environmental Policy Act (NEPA) tahun 1969 di Amerika, AMDAL lambat laun menyebar di negara-negara Eropa dan Amerika. Menurut laporan Sadler, hingga tahun 1996, diperkirakan telah lebih dari 100 negara yang telah memiliki sistem analisis lingkungan dan memberlakukannya secara wajib (mandatory). AMDAL memberikan jaminan kelayakan lingkungan dari studi kelayakan suatu usaha/kegiatan.

Di sisi lain, pada tahun 1989, Friends of Earth (FoE) dan beberapa LSM lainnya, didukung pemerintah Inggris mengusulkan agar The International Tropical Timber Organization (ITTO) melaksanakan proyek untuk mempelajari kemungkinan pelabelan kayu dari hutan tropis untuk mengindikasikan apakah satu produk berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Ancaman pemboikotan kayu yang tidak berlabel mulai banyak disuarakan oleh beberapa LSM. Setelah beberapa saat tertunda, pada tahun 1992 ITTO akhirnya melakukan studi besar. Hasil studi menyatakan bahwa perdagangan kayu tropika bukan penyebab utama terjadinya deforestasi. Perlu insentif ekonomi yang positif dimana sertifikasi diusulkan sebagai sarana yang akan memfasilitasi perdagangan kayu yang diproduksi secara lestari (Nussbaum dan Simula, 2005).

Merespon hal tersebut, Pemerintah (Kementerian Kehutanan) mengeluarkan sejumlah kebijakan dan/atau alat (tools) yang ‘pro-lingkungan’ dalam mendukung pengelolaan hutan lestari. Pendekatan yang dilakukan ada yang implementasinya pada skala kawasan ataupun unit manajemen. Baik dalam tahap perencanaan ataupun operasional. AMDAL dan sertifikasi pengelolaan hutan lestari adalah dua kebijakan/alat pengelolaan lingkungan yang diterapkan dalam skala unit manajemen yang saat ini telah diberlakukan secara wajib (mandatory). Yang pertama adalah dalam tahap perencanaan, yang kedua dalam tahap operasional. Satu unit manajemen HTI pasti melakukan kajian AMDAL pada saat awal perencanaan, dan akan dinilai kinerja pengelolaan hutannya melalui proses sertifikasi pengelolaan hutan lestari pada tahapan operasional.

1 komentar:

  1. Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D






    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D







    Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D


    BalasHapus