Sektor kehutanan memainkan peranan penting dalam ekonomi Indonesia terutama
melalui produksi dan ekspor kayu dan produk-produk berbahan baku kayu. Dari
tahun 1989 hingga 1999, industri perkayuan memberi kontribusi sebesar 20 persen
dari total pendapatan Indonesia dalam mata uang asing (Suara Pembaruan, 13
Oktober 1999). Indonesia memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia, dengan
luas mencapai 108,5 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2001). Oleh karena itu proyek-proyek
pembangunan seperti perkebunan komersil, waduk, program transmigrasi dan pertambangan
bergantung pada konversi kawasan hutan. Banyak masyarakat lokal dan adat di Indonesia,
khususnya di luar Jawa, bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan
sosial budaya mereka. Tambahan lagi, hutan diketahui mempunyai fungsi ekologis baik
di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Selama lebih dari tiga dekade yang dimulai pada tahun 1967, berbagai fungsi
hutan ini belum dikelola dengan baik dan pemerintah lebih menekankan pada
pemanfaatan kayu dibanding manajemen hutan berbasis ekosistem. Hal ini telah
menyebabkan eksploitasi hutan besar-besaran dan konversi kawasan hutan untuk
tujuan-tujuan komersil yang akhirnya mengakibatkan penipisan sumber daya hutan.
Laju penebangan hutan di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia
dengan kisaran antara 1,6 hingga 2,1 juta hektar per tahun (Departemen
Kehutanan, 2001).
Sumber lain menghitung bahwa laju berkurangnya bentang hutan dalam hutan
produksi antara tahun 1984 dan 1997 adalah 2.528.500 hektar per tahun
(Kartodihardjo dan Supriono, 1999). Angka tersebut tidak termasuk kerusakan
hutan di kawasan lindung dan konservasi atau kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran
hutan di tahun 1997/1998 dan penebangan liar. Kerusakan hutan akibat kebakaran
diperkirakan antara 200.000 dan 5 juta hektar (Bappenas, 1999). Sekitar 43 juta
hektar hutan telah terdegradasi di Indonesia dan akibatnya 294 spesies flora
dan fauna terancam. Situasi ini telah mengakibatkan kelangkaan sumber daya dan
kompetisi antar pihak-pihak yang berkepentingan, yang sering kali berakhir
dengan kerusuhan sosial. Pada kenyataannya sector kehutanan merupakan contoh
terbaik untuk menggambarkan dampak pembangunan yang tidak berkelanjutan dimana
penekanan diletakkan hanya pada faktor ekonomi, dengan mengorbankan kepentingan
sosial dan ekologis.
Hal ini bukan berarti bahwa belum dilakukan usaha-usaha untuk melaksanakan
manajemen hutan yang berkelanjutan. Sebagai contoh adalah rencana tata ruang
untuk kawasan hutan pernah dibuat di tahun 1984 dimana hutan digolongkan
menjadi hutan produksi permanen, hutan konversi dan kawasan konservasi. Rencana
ini tidak dapat diterapkan dengan baik di lapangan karena tidak adanya peta
yang layak dan penegakan peraturan. Sebagai akibatnya, konversi lahan hutan
besar-besaran untuk perkebunan komersil terus berlanjut di kawasan hutan
produksi dan konservasi. Di tahun 1997, ada usaha untuk mengintegrasi rencana
tata ruang hutan dengan Rencana Tata Ruang Provinsi dan UU No. 29/1992 tentang
Rencana Tata Ruang, berdasarkan program inventarisasi hutan nasinal yang sedang
berlangsung. Namun lagi-lagi usaha ini terhambat oleh konflik kepentingan
antara pihak-pihak yang ingin memanfaatkan rencana tata ruang lahan hutan
sebagai alat untuk manajemen hutan yang berkelanjutan dengan pihak-pihak yang
menginginkan konversi hutan besar-besaran untuk tujuan-tujuan komersil. Usaha
tersebut juga belum menyinggung isu yang paling penting yaitu hak masyarakat
atas kawasan dan sumber daya hutan.
Salah satu isu yang paling sering diperdebatkan dalam manajemen hutan
adalah hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya hutan dan pembagian yang
adil di antara pihak-pihak yang terkait atas eksploitasi hutan secara komersil.
Di masa lampau, hak adat atas kawasan dan sumber daya hutan tidak diakui dan
masyarakat lokal tidak memperoleh banyak keuntungan dari operasi penebangan
kayu komersil. Baru-baru ini pemerintah mengganti UU Hutan tahun 1967 (yang
tidak mengakui hukum adat) dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 dan
5 dari UU No. 41/1999 menetapkan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang
terletak dalam kawasan suatu masyarakat di bawah hukum adat sepanjang terdapat
masyarakat adat di sana dan diakui.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 677/1998 tentang Hutan Masyarakat juga
memberikan dasar hukum untuk hutan yang dikelola oleh masyarakat. Hal ini
merupakan usaha untuk memperoleh pembagian sumber daya hutan yang adil. Kedua
kebijakan tersebut tidak sempurna, dan mungkin tidak bisa menyelesaikan semua
masalah dalam waktu dekat, tapi setidaknya merupakan langkah awal untuk tercapainya
manajemen hutan berbasis masyarakat.
Dalam hal konservasi, Indonesia telah menyisihkan sekitar 17,9 juta hektar
hutan sebagai kawasan lindung dan konservasi dalam bentuk cagar alam, taman
nasional, taman perburuan dan taman wisata (Departemen Kehutanan, 2001).
Meskipun hal ini penting untuk konservasi spesies secara in-situ, perlindungan
habitat dan manajemen keanekaragaman hayati, konsep kawasan lindung juga membawa
berbagai masalah. Pertama, kawasan lindung sebagian besar dibentuk dengan mengesampingkan
penduduk lokal, dan oleh karenanya sering terjadi konflik antara pengelola kawasan
lindung dengan masyarakat lokal, yang terkadang malah mengakibatkan kerusakan
hutan bukannya perlindungan. Kedua, penegakan hukum yang lemah sehingga
perambahan, perburuan dan penebangan liar merupakan hal yang sering terjadi di
dalam kawasan lindung di Indonesia.
Ketiga, tanpa perencanaan tata ruang yang holistik dan komprehensif,
beberapa bagian dari kawasan lindung sering dikonversi untuk kepentingan
komersil (seperti perkebunan) akibat tidak adanya garis demarkasi yang layak
dan pengaturan legal untuk konversi hutan.
Pemerintah juga telah menyisihkan sumber dana untuk program regenerasi
hutan atau reboisasi dalam bentuk Dana Reboisasi (DR). Dana ini dikumpulkan
dari para pemegang konsensi dan pada bulan Juni 1998 telah terkumpul sebanyak
Rp. 2.461 milyar. Namun demikian, selama beberapa tahun tidak ada mekanisme
yang jelas untuk mengumpulkan, menggunakan atau mengelola dana tersebut, hingga
baru-baru ini ditetapkan bahwa dana ini harus masuk dalam anggaran negara. Di masa
lampau sejumlah besar dana digunakan untuk tujuan-tujuan di luar sektor
kehutanan sehingga program regenerasi hutan menjadi terhambat. Tambahan lagi,
pada kasus dimana reboisasi benar-benar dilakukan, tingkat keberhasilannya
sangat rendah dan dilakukan secara monokultur, yaitu penanaman satu jenis
spesies sehingga yang terjadi bukan meregenerasi ekologi hutan melainkan menciptakan
berkebunan pohon.
Sektor kehutanan telah sering mendapat bantuan kerjasama internasional,
khususnya dalam manajemen kawasan lindung, pencegahan dan manajemen kebakaran
hutan dan lahan dan dalam menangani masalah penebangan liar. Sebagai contoh,
adanya Consultative Group on Indonesia’s Forests (CGIF, Kelompok Konsultatif
tentang Hutan Indonesia), suatu koalisi dari beberapa lembaga donor yang
bertujuan memfasilitasi kerjasama internasional untuk mengelola hutan di Indonesia.
Lalu ada kerjasama dengan Uni Eropa untuk pencegahan dan penegakan hokum penebangan
liar. Indonesia juga menjadi markas dua organisasi internasional, CIFOR (Center
for International Forestry Research) dan ICRAF (International Center for
Research on Agroforestry).
Sudah jelas bahwa terdapat minat yang besar dari masyarakat internasional
dalam manajemen hutan Indonesia. Sayangnya, hal ini tidak diwujudkan dengan
kordinasi di antara lembaga donor dan banyak kerjasama bilateral yang tumpang
tindih sehingga sumber pendanaan terbuang sia-sia. Dan juga banyak kerjasama
bilateral dan internasional tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam merancang
proyek. Contohnya, CGIF baru mulai melakukan diskusi dengan kelompok-kelompok masyarakat
sipil sejak 1998.
Seperti yang telah disebutkan di atas, sebenarnya sudah banyak dilakukan
usaha untuk memperbaiki manajemen hutan, namun usaha-usaha tersebut tidak
menyeluruh dan terfragmentasi baik dari sisi pemerintah maupun dalam program
kerjasama internasional. Terdapat empat masalah utama yang menghambat manajemen
hutan. Yang pertama adalah tidak adanya reformasi kebijakan yang nyata dan
partisipatif untuk merumuskan peraturan perundangan yang mendukung manajemen
hutan.
Kedua, informasi sebagai dasar dalam pengambilan keputusan tidak tersedia.
Ketiga, manajemen hutan selama ini lebih menekankan pada eksploitasi sumber
daya kayu dari pada menyadari potensi sepenuhnya dari sumber daya hutan untuk
kesejahteraan nasional dan masyarakat. Hal ini mengakibatkan terjadinya masalah
keempat yaitu dikotomi tujuan dan metode manajemen hutan antara masyarakat lokal
dan tradisional di satu pihak, dengan perusahaan dan pemerintah di lain pihak.
Terakhir, penting untuk dicatat bahwa sumber daya hutan Indonesia memiliki
fungsi global dan oleh karenanya diperlukan usaha nasional dan global bersama
untuk mengelola sumber daya hutan secara berkelanjutan.
Rekomendasi
• Pemerintah perlu memfasilitasi suatu proses dimana konsensus nasional dan
lokal dapat dicapai mengenai tujuan, metode dan strategi untuk manajemen hutan
berbasis pembagian hak dan keuntungan yang adil. Proses ini akan melibatkan
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil serta masyarakat.
• Pemerintah perlu melakukan perbaikan terhadap peraturan perundangan
kehutanan, melalui proses yang melibatkan partisipasi nyata publik. Rekomendasi
kebijakan harus disertakan dengan proposal untuk implementasi dan penegakan
yang kuat.
• Memperkuat informasi dasar tentang sumber daya kehutanan dan menyebarkan
informasi tersebut pada masyarakat. Informasi ini harus meliputi kondisi hutan
dan juga nilai-nilai
ekonomi, sosial dan ekologis yang potensial.
• Memperkuat pelibatan masyarakat tradisional dan kelompok-kelompok utama
lainnya dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi kehutanan.
• Lembaga-lembaga internasional harus lebih transparan dan bertanggungjawab
pada masyarakat sipil.
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
BalasHapusTerimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
.Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D