UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41
TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan
kepada
Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara,
memberikan
manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus,
dan
dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar
kemakmuran
rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
b. bahwa
hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran
rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya
harus
dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus
dengan
akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta
bertanggung-gugat;
c. bahwa
pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus
menampung
dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata
nilai
masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
d. bahwa
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan
prinsip
penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan,
sehingga
perlu diganti;
e. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d
perlu
ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.
Mengingat :
1. Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik
Indonesia;
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
4.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara
Nomor 3419);
5.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara
Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Dengan
Persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK
INDONESIA,
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG
TENTANG KEHUTANAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Bagian
Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a.
Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan
hutan, dan
hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
b. Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.
c. Kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
d. Hutan
negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
e. Hutan
hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
f. Hutan
adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
g. Hutan
produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan.
h. Hutan
lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
i. Hutan
konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi
pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
j. Kawasan
hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi
pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya,
yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
k. Kawasan
hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai
fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam
hayati dan ekosistemnya.
l. Taman
buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
m. Hasil
hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang
berasal
dari hutan.
n.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
o. Menteri
adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Bagian
Kedua
Asas dan
Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan.
Pasal 3
Penyelenggaraan
kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang
berkeadilan
dan berkelanjutan dengan:
a. menjamin
keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b.
mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan
fungsi
produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang
seimbang
dan lestari;
c.
meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d.
meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat
secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu
menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan
eksternal; dan
e. menjamin
distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Bagian
Ketiga
Penguasaan
Hutan
Pasal 4
(1) Semua
hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2)
Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi
wewenang
kepada Pemerintah untuk:
a. mengatur
dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil
hutan;
b.
menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai
bukan
kawasan hutan; dan
c. mengatur
dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan,
serta
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3)
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan
kepentingan nasional.
BAB II
STATUS DAN
FUNGSI HUTAN
Pasal 5
(1) Hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan
negara, dan
b. hutan
hak.
(2) Hutan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan
adat.
(3)
Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2); dan
hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum
adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila
dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak
ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal 6
(1) Hutan
mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi
konservasi,
b. fungsi
lindung, dan
c. fungsi
produksi.
(2)
Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan
konservasi,
b. hutan
lindung, dan
c. hutan
produksi.
Pasal 7
Hutan
konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari :
a. kawasan
hutan suaka alam,
b. kawasan
hutan pelestarian alam, dan
c. taman
buru.
Pasal 8
(1)
Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2)
Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
diperlukan untuk kepentingan umum seperti:
a.
penelitian dan pengembangan,
b.
pendidikan dan latihan, dan
c. religi
dan budaya.
(3) Kawasan
hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
mengubah
fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 9
(1) Untuk
kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota
ditetapkan
kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
BAB III
PENGURUSAN
HUTAN
Pasal 10
(1)
Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan
untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk
kemakmuran
rakyat.
(2)
Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan
penyelenggaraan:
a.
perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan
hutan,
c.
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan,
dan
d.
pengawasan.
BAB IV
PERENCANAAN
KEHUTANAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 11
(1)
Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang
menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(2)
Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat,
partisipatif,
terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal 12
Perencanaan
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
a.
inventarisasi hutan,
b.
pengukuhan kawasan hutan,
c.
penatagunaan kawasan hutan,
d.
pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
e.
penyusunan rencana kehutanan.
Bagian
Kedua
Inventarisasi
Hutan
Pasal 13
(1)
Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan
informasi
tentang
sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2)
Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei
mengenai
status dan
keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial
masyarakat
di dalam dan di sekitar hutan.
(3)
Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. inventarisasi
hutan tingkat nasional,
b.
inventarisasi hutan tingkat wilayah,
c.
inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan
d.
inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
(4) Hasil
inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
antara
lain
dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber
daya
hutan,
penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pengukuhan
Kawasan Hutan
Pasal 14
(1)
Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah
menyelenggarakan
pengukuhan kawasan hutan.
(2)
Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
untuk
memberikan
kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15
(1)
Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui
proses
sebagai berikut:
a.
penunjukan kawasan hutan,
b. penataan
batas kawasan hutan,
c. pemetaan
kawasan hutan, dan
d.
penetapan kawasan hutan.
(2)
Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan
rencana tata ruang wilayah.
Bagian
Keempat
Penatagunaan
Kawasan Hutan
Pasal 16
(1)
Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dan
Pasal 15,
Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2)
Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan
kawasan
hutan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Kelima
Pembentukan
Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
(1)
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:
a.
propinsi,
b. kabupaten/kota,
dan
c. unit
pengelolaan.
(2)
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan
dengan
mempertimbangkan
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai,
sosial
budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
dan batas
administrasi Pemerintahan.
(3)
Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi
Pemerintahan
karena
kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus
oleh
Menteri.
Pasal 18
(1)
Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan
hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi
manfaat
lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas
kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
minimal 30
% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan
sebaran
yang
proporsional.
Pasal 19
(1)
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan
didasarkan
pada hasil penelitian terpadu.
(2)
Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berdampak
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh
Pemerintah
dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan
fungsi
kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Keenam
Penyusunan
Rencana Kehutanan
Pasal 20
(1)
Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan
mempertimbangkan
faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, Pemerintah
menyusun
rencana kehutanan.
(2) Rencana
kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menurut jangka waktu
perencanaan,
skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN
HUTAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 21
Pengelolaan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
a. tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b.
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c.
rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d.
perlindungan hutan dan konservasi alam.
Bagian
Kedua
Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 22
(1) Tata
hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih
intensif
untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
(2) Tata
hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan
ekosistem,
tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
(3)
Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak
berdasarkan
intensitas
dan efisiensi pengelolaan.
(4)
Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
disusun
rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
(5)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4)
diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 23
Pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk
memperoleh
manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan
dengan
tetap menjaga kelestariannya.
Pasal 24
Pemanfaatan
kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam
serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Pasal 25
Pemanfaatan
kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru
diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
(1)
Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan
hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan
bukan kayu.
Pasal 27
(1) Izin
usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
dapat
diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi.
(2) Izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(2), dapat
diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi,
c. badan
usaha milik swasta Indonesia,
d. badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(2), dapat
diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi.
Pasal 28
(1)
Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil
hutan kayu
dan bukan kayu.
(2)
Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan
hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin
pemungutan
hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 29
(1) Izin
usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dapat
diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi.
(2) Izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2) dapat
diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi,
c. badan
usaha milik swasta Indonesia,
d. badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin
usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (2)
dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi,
c. badan
usaha milik swasta Indonesia,
d. badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(4) Izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2)
dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi,
c. badan
usaha milik swasta Indonesia,
d. badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(5) Izin
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28
ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi.
Pasal 30
Dalam
rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan
usaha milik
daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha
pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
diwajibkan
bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
Pasal 31
(1) Untuk
menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha
pemanfaatan
hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan
aspek
kepastian usaha.
(2)
Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 32
Pemegang
izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga,
memelihara,
dan melestarikan hutan tempat usahanya.
Pasal 33
(1) Usaha
pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
pengolahan,
dan pemasaran hasil hutan.
(2)
Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh
melebihi
daya dukung hutan secara lestari.
(3)
Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana
dimaksud
pada ayat
(2) diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan
kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat
diberikan
kepada:
a.
masyarakat hukum adat,
b. lembaga
pendidikan,
c. lembaga
penelitian,
d. lembaga
sosial dan keagamaan.
Pasal 35
(1) Setiap
pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27
dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana
jaminan
kinerja.
(2) Setiap
pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27
dan Pasal 29 wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3) Setiap
pemegang izin pemungutan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 dan
Pasal 29 hanya dikenakan provisi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3)
diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1)
Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan,
sesuai dengan fungsinya.
(2)
Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan
sepanjang
tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 37
(1)
Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
sesuai
dengan fungsinya.
(2)
Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan
sepanjang
tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 38
(1)
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan
hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan
lindung.
(2)
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3)
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui
pemberian
izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan
jangka
waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada
kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola
pertambangan
terbuka.
(5)
Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak
penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas
persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 39
Ketentuan
pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38
diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Rehabilitasi
dan Reklamasi Hutan
Pasal 40
Rehabilitasi
hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatkan
fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya
dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Pasal 41
(1)
Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:
a.
reboisasi,
b.
penghijauan,
c.
pemeliharaan,
d.
pengayaan tanaman, atau
e.
penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada
lahan
kritis dan tidak produktif.
(2)
Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua
hutan
dan kawasan
hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Pasal 42
(1)
Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik
biofisik.
(2)
Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui
pendekatan
partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan
masyarakat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Setiap
orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis
atau tidak
produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan
konservasi.
(2) Dalam
pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang
dapat
meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya
masyarakat,
pihak lain atau Pemerintah.
Pasal 44
(1)
Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha
untuk
memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar
dapat
berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
(2)
Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi
lokasi,
penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1)
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang
mengakibatkan
kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai
dengan pola
yang ditetapkan Pemerintah.
(2)
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh
pemegang
izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
(3)
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan
kehutanan
yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib
membayar
dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3)
diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 46
Penyelenggaraan
perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan
hutan dan
lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
tercapai
secara
optimal dan lestari.
Pasal 47
Perlindungan
hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a. mencegah
dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
disebabkan
oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta
penyakit;
dan
b.
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas
hutan,
kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan
hutan.
Pasal 48
(1)
Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan
hutan.
(2)
Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah.
(3)
Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
dan Pasal
29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal
kerjanya.
(4)
Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
(5) Untuk
menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat
diikutsertakan
dalam upaya perlindungan hutan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat
(4), dan
ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pemegang
hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya.
Pasal 50
(1) Setiap
orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap
orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
serta izin
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan
yang
menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap
orang dilarang:
a.
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak
sah;
b. merambah
kawasan hutan;
c.
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai
dengan:
1. 500
(lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua
ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di
daerah
rawa;
3. 100
(seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima
puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua)
kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130
(seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah
dari tepi pantai.
d. membakar
hutan;
e. menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki
hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f.
menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
atau
memiliki
hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang
diambil
atau dipungut secara tidak sah;
g.
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang
di dalam
kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h.
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama-sama
dengan
surat keterangan sahnya hasil hutan;
i.
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus
untuk
maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa
alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan
untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat
yang
berwenang;
k. membawa
alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah
pohon di
dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l. membuang
benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta
membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan;
dan
m.
mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak
dilindungi
undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.
(4)
Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan
atau satwa
yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 51
(1) Untuk
menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat
kehutanan
tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian
khusus.
(2) Pejabat
yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berwenang untuk:
a.
mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b.
memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil
hutan
di dalam
kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. menerima
laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan
hutan, dan hasil hutan;
d. mencari
keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan
hutan, dan hasil hutan;
e. dalam
hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang
berwenang;
dan
f. membuat
laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang
menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
BAB VI
PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN
LATIHAN
SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 52
(1) Dalam
pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas
yang
bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman
dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan,
pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang
berkesinambungan.
(2) Dalam
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta
penyuluhan
kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan
tradisional
serta kondisi sosial budaya masyarakat.
(3) Dalam
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan
kehutanan, Pemerintah wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas
Indonesia
dari pencurian.
Bagian
Kedua
Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan
Pasal 53
(1) Penelitian
dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan
nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan
hutan.
(2)
Penelitian dan pengembangan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
pengurusan
hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan
nilai
tambah hasil hutan.
(3)
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan dilakukan oleh
Pemerintah
dan dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan
masyarakat.
(4) Pemerintah
mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan
kemampuan
untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan
dan
teknologi kehutanan.
Pasal 54
(1)
Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat mempublikasikan
hasil
penelitian dan pengembangan kehutanan serta mengembangkan sistem informasi
dan
pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan.
(2)
Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang
kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Izin
melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat diberikan kepada peneliti
asing
dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian
Ketiga
Pendidikan
dan Latihan Kehutanan
Pasal 55
(1)
Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan dan
meningkatkan
kualitas sumber daya manusia kehutanan yang terampil, profesional,
berdedikasi,
jujur serta amanah dan berakhlak mulia.
(2)
Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia
yang
menguasai serta mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dan
teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan
taqwa
kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
(3)
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah,
dunia
usaha, dan masyarakat.
(4)
Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya
pendidikan
dan latihan kehutanan, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas
sumber daya
manusia.
Bagian
Keempat
Penyuluhan
Kehutanan
Pasal 56
(1)
Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
serta
mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung
pembangunan
kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta sadar
akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
(2)
Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha,
dan
masyarakat.
(3)
Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya
kegiatan
penyuluhan kehutanan.
Bagian
Kelima
Pendanaan
dan Prasarana
Pasal 57
(1) Dunia
usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk
penelitian
dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
(2)
Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan mendukung kegiatan
penelitian
dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
Pasal 58
Ketentuan
lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan
kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 59
Pengawasan
kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan
pengurusan
hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus
merupakan
umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih
lanjut.
Pasal 60
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.
(2)
Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan.
Pasal 61
Pemerintah
berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang
diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 62
Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
dan atau
pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Pasal 63
Dalam
melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1),
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan,
dan
melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.
Pasal 64
Pemerintah
dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan
yang
berdampak nasional dan internasional.
Pasal 65
Ketentuan
lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENYERAHAN
KEWENANGAN
Pasal 66
(1) Dalam
rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian
kewenangan
kepada Pemerintah Daerah.
(2)
Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka
pengembangan
otonomi daerah.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB IX
MASYARAKAT
HUKUM ADAT
Pasal 67
(1)
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya
berhak:
a.
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b.
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan
c.
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2)
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB X
PERAN SERTA
MASYARAKAT
Pasal 68
(1)
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2) Selain
hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
a.
memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang
berlaku;
b.
mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan
informasi
kehutanan;
c. memberi
informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan
kehutanan;
dan
d.
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik
langsung
maupun tidak langsung.
(3)
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena
hilangnya
akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi
kebutuhan
hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
(4) Setiap
orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah
miliknya sebagai
akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 69
(1)
Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan
dari
gangguan dan perusakan.
(2) Dalam
melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan,
pelayanan,
dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau
Pemerintah.
Pasal 70
(1)
Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan.
(2)
Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di
bidang
kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(3) Dalam
rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah
Daerah
dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XI
GUGATAN
PERWAKILAN
Pasal 71
(1)
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau
melaporkan
ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan
masyarakat.
(2) Hak
mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada
tuntutan
terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang
berlaku.
Pasal 72
Jika
diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan
sedemikian
rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi Pemerintah
atau
instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat
bertindak
untuk kepentingan
masyarakat.
Pasal 73
(1) Dalam
rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang
kehutanan
berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi
hutan.
(2)
Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.
berbentuk badan hukum;
b.
organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan
tujuan
didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
c. telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
BAB XII
PENYELESAIAN
SENGKETA KEHUTANAN
Pasal 74
(1)
Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan
berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan,
maka
gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan
antara para
pihak yang bersengketa.
Pasal 75
(1)
Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap
tindak
pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(2)
Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai
kesepakatan
mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau
mengenai
bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.
(3) Dalam
penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat
(2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak
dan atau
pendampingan organisasi nonPemerintah untuk membantu penyelesaian
sengketa
kehutanan.
Pasal 76
(1)
Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk
memperoleh
putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau
tindakan
tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
(2) Selain
putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan
pelaksanaan
tindakan tertentu tersebut setiap hari.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 77
(1) Selain
Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri
Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan
hutan,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berwenang
untuk:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang
berkenaan
dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil
hutan;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c.
memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan
atau
wilayah hukumnya;
d.
melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang
menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. meminta
keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan
dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil
hutan;
f.
menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum
Acara
Pidana;
g. membuat
dan menandatangani berita acara;
h.
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya
tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
(3) Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada
penuntut
umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB XIV
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 78
(1) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling
lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(3) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4) Barang
siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38
ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling
lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(7) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8) Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3)
huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda
paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12) Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50
ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5),
ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan
tindak
pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) apabila
dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan
dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah
dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
(15) Semua
hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk
alat
angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran
sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
Pasal 79
(1)
Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan
atau
rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78
dilelang untuk Negara.
(2) Bagi
pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang
yang
dimaksud.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB XV
GANTI RUGI
DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 80
(1) Setiap
perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan
tidak
mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan
kepada
penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan
tingkat
kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi,
pemulihan
kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
(2) Setiap
pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan,
izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang
diatur
dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana
sebagaimana
diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 81
Kawasan
hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan
tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 82
Semua
peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan
yang
telah ada,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai
dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.
BAB XVII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 83
Pada saat
mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku:
1. Boschordonnantie
Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221,
sebagaimana
telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah
dengan
Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
(Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).
Pasal 84
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta,
pada
tanggal 30 September 1999
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BACHARUDIN
JUSUF HABIBIE
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 30 September 1999
MENTERI
NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
M U L A D I
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 167
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
BalasHapusTerimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D