Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics and Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana
(Catatan: Artikel
ini semula adalah sebuah makalah yang dipresentasikan oleh penulis pada Diskusi
Terbuka dengan tema “Bersahabat Dengan Alam Melalui Pertanian Organik” yang
diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Jawa Tengah
bekerjasama dengan para pegiat, kelompok tani, elemen pemuda dan mahasiswa
pecinta pertanian dan lingkungan Kabupaten Wonosobo yang diselenggarakan di
Restoran Ongklok Kota Wonosobo, pada Rabo, 11 April 2012. Untuk blogspot ini,
telah dilakukan sedikit update dan alterasi.)
Pendahuluan
Gempa bertubi-tubi di kawasan Dieng pada April 2013 (kini mereda),
mengingkatkan penulis akan kunjungannya ke kawasan itu beberapa puluh tahun
yang lalu. Tepatnya pada akhir tahun 1976, sekitar 36 tahun lalu ketika penulis
masih terbilang pemuda remaja, selama satu minggu, bersama 5 kawan, ketika
satu-satunya kendaraan ke Dieng adalah truk kecil sayur, ketika jalan masih
berbatu, ketika kami harus jalan kaki berkilometer per hari, kami berkemah
berpindah-pindah dari Gua Semar, Telaga Pengilon, Telaga Mardigda, sampai di
atas Tuk Bimasuci di hutan cemara yang dingin berangin bukan kepalang. Maka
ketika kami mendengar dari berita dan gambar, kawah Sinila mengeluarkan gas
beracun dan membunuh banyak penduduk beberapa dua dekade yang lalu, rasa miris
dan tergetar menusuk sanubari. Salah satu Lagu Ebiet G. Ade, ‘Berita pada
kawan’ adalah saksi yang mengabadi. Pada awal tahun 2001 – 2004, sekitar 7
tahun yang lalu, penulis berkesempatan untuk berinteraksi dengan manusia dan
alam Kabupaten Wonosobo dalam wadah dua proyek kegiatan, yakni: (1) diskusi di
tingkat rakyat pengolah eks hutan dan wakil-wakil rakyat tingkat Kabupaten
mengenai apa yang kemudian dikenal dan membuat terkenal Wonosobo untuk tingkat
nasional yakni “Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat”, atau menurut versi
Perum Perhutani diistilahkan “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat”,
yang antara lain juga kini mengantarkan San Afri Awang menjadi Staf Ahli Menteri
Kehutanan yang cukup kawentar di antara para penggerak masyarakat sipil; (2)
program konservasi lingkungan khususnya keanekaragaman hayati yang disponsori
oleh General Environmental Facility/
Small Grant Program dari United Nations Delelopment Program (UNDP) yang
dikelola oleh Yayasan Bina Lingkungan Hidup, Jakarta, yang melibatkan
masyarakat Sikunang dan Tambi. Kami, di bawah payung Yayasan Cindelaras
Paritrana, diundang oleh kawan-kawan LSM dari Wonosobo dan Yogyakarta serta
dipercaya oleh GEF/SGP sebagai kawan seperjalanan mereka dan masyarakat, tak
lupa dijadikan mitra diskusi dari Bupati dan khususnya Wakil Bupati dan para
Anggota DPRD ketika itu.
Menurut data statistik Wonosobo
dalam Angka, 2011, dari landscap
alam dari 15 Kecamatan yang ada di Kabupaten Wonosobo, yang ketinggian tanahnya
dari permukaan air laut lebih dari 800 m hampir separoh dari jumlah yang ada.
Hal itu menunjukkan hampir separoh Wonosobo adalah daerah dataran tinggi. Maka
cekungan dan ereng-ereng (slope) dari
sedang ke terjal menjadi ciri khasnya. Hal itu menyebabkan bila manajemen
tananam dan penanaman kurang bijak akan sangat rentan terhadap longsor dan
erosi, degradasi dan diforestasi. Karena alam dari sononya sudah bijak, maka
bila semua bencana itu terjadi yang disalahkan adalah manusianya. Dikatakan manusia
kurang bijak, bila manusia melawan kebijakan alam. Jalan keluarnya adalah
bagaimana manusia, bukannya melawan, tetapi berkawan dengan alam. Ilmu wawasan,
manajemen, teknologi berkawan dengan alam itulah yang hendak kita bahas dalam
makalah ini. Untuk itu, sebagaimana mau menikahi seorang perjaka atau gadis,
calon pasangan harus berusaha untuk mengenal dengan baik sifat-sifat, kelemahan
dan kekuatannya, demikian dengan alam. Tentang pertanian organik (a la Pastor
Agato, Indonesia) maupun lebih tinggi lagi pertanian alami (a la Dr. Cho Han
Kyu, Korea Selatan), atau lebih heboh lagi pertanian lestari model ‘revolusi
sebatang jerami’ (Fukuoka, Jepang) dan model ‘permaculture’ (permanent
agriculture a la Bill Mollison, Australia), keempatnya adalah ‘ilmu berkawan
dengan alam’. Ilmu berkawan dengan alam, secara pemikiran besar ekonomi
berlandas pada ‘Buddhist Economics’- nya E.F ‘small is beautiful’ Schumacher.
Ia mendasarkan lebih jauh ekonominya pada warisan Ekonomi Rumah Tangga Petani
dari A.V. Chayanov, Ekonom Kerakyatan Baru
dari Russia yang dibunuh Stalin karena melawan kapitalisasi (baca:
modernisasi) pertanian kolektif dipimpin oleh kader partai komunis. Versi
kapitalisasi pertanian aliran Kapitalisme Individualis adalah
lahan-pertanian-luas lengkap dengan mekanisme pertanian besar seperti
dicontohkan oleh pertanian-korporatif di
Canada, USA, dan Australia, sampai tahap tertentu di Eropa. Keduanya, baik di
negara sosialis komunis Soviet (ketika itu, kini Russia) maupun negara
kapitalis USA dan kawan-kawannya, adalah pertanian ‘konvensional’ dalam arti
modernisasi pertanian, korporisasi pertanian. Negara-negara itu bercirikan
penguasaan lahan garapan yang besar-besar di daerah pertanian dan
industrialisasi tingkat tinggi dan menengah di daerah-daerah perkotaan. Petani
bukan lagi buruh tani, mereka yang bakat buruh serta anak-anaknya sudah pindah
ke perkotaan sebagai buruh pabrik dan pegawai, sementara yang tinggal di desa
adalah para kapitalis-petani atau petani-kapitalis. Itulah pertanian
agribusiness. Kendati di sela-sela mereka masih ada petani-skala-kecil, seperti
di Perancis, Australia, Inggris, Belanda, dlsb, namun jumlahnya amat kecil dan
tidak sampai menjadi petani-gurem (di bawah 0.35 hektare) seperti di Jawa dan
Madura, Bali dan Lombok, sekarang juga sudah merambah Lampung. Revolusi Hijau
(Modernisasi pertanian, dengan mengaplikasikan bibit unggul, pupuk kimia
anorganik, mekanisasi pertanian) yang disebar luaskan di Jawa, Sulawesi
Tenggara dan pulau-pulau yang lain adalah sebuah sesat pikir. Mengapa sesat
pikir, karena sifat lahan dan penguasaan tanah oleh petani, bukan seperti malah
bertolak belakang dengan di negara-negara adidaya, tetapi sempit bahkan
pemburuh tani dan oleh rumah tangga. Syarat dari agribusiness atau pertanian
korporasi adalah lahan hampir tak terbatas dan penguasaan oleh wirausahawan
produk. Sementara lawannya adalah agriculture atau pertanian berbasis rumah
tangga yang mengedepankan ‘seni berkawan dengan alam’, berstrategi kultural
terhadap alam, lebih tepat untuk sifat petani dan penguasaan lahan sempit,
subur, seperti di Jawa dan pulau-pulau lain. Ekonomi rumah tangga petani dengan
semangat Buddhist adalah kanvas bagi agriculture dalam bertani. Agriculture
itulah yang kini dikenal sebagai pertanian organik, pertanian alami, dan
pertanian lestari, tergantung degradasi dan intensitas ke-alami-nya.
Marilah kita mengenal lebih jauh alam Wonosobo, apakah seperti yang
digambarkan USA dan kawan-kawan sebagai lahan luas tak terbatas dengan pelaku
bisnis pertanian a la korporasi, atau sebagaimana yang digambarkan A.V.
Chayanov sebagai pertanian berbasis rumah tangga pada lahan-lahan sempit yang
dimiliki sebagian besar oleh petani gurem. Atau berada di campuran keduanya,
yakni, saling beriringan, kadang menyalib di tingkungan, terjadi kompetisi,
persaingan antara pembisnis pertanian bersifat korporasi vs petani gurem pada
bentangan alam yang sama dan lahan yang bisa-bisa tak hanya beriring tetapi
tumpang tindih. Yang terakhir ini akan menelorkan kerentanan terhadap
konflik-agraria, yang umumnya dimenangkan oleh yang kuat uangnya, sejauh
penegah hukum mudah disuapi uang, bukan berdiri di atas kebenaran mengambil
keputusan lewat timbangan keadilan.
Mengenal Alam Wonosobo
Kita mulai saja dari sumber penghidupan rakyat, yakni kecenderung tata
guna lahan, baik yang berupa sawah (lahan basah) maupun non-sawah (lahan
kering) di Kabupaten Wonosobo. Luas lahan di Kabupaten Wonosobo, sesuai dengan
kondisi geografisnya, luas sawah sangatlah sempit yakni hanya 19 % (18,564
hektar) dari total lahan dan itu menghasilkan padi kering sawah 135,899 ton
pada tahun 2010. Sementara itu luas lahan keringnya adalah 81 % nya (79,904
hektar) dari total lahan, dengan hasil sangat banyak, pada tahun 2010, yang
antara lain berupa: dari yang terkecil hasilnya yakni teh 149.48 ton, kopi
689.00 ton; yang cukup besar yakni buah-buahan 106,925 ton, dan yang sangat
besar adalah sayuran termasuk kenthang 191,238 ton serta palawija termasuk
ketela dan jagung adalah 195,812 ton. Sedang,
pada tahun 2009, tanaman primadona, disamping sayuran termasuk kenthang, adalah
tembakau, yang jumlah pohonnya ada 19,767,000 batang pada luas lahan 988.40
hektar yang menghasilkan 419.3 ton daun tembakau kranjang.
Secara traditional wilayah yang menghasilkan paling banyak primadona tembakau
adalah Anggrang-gondok utamanya di desa-desa Reco, Kapencar, Butuh dan
Candiyasan, sementara di wilayah Dieng, secara lebih sedikit ada di antara lain
desa-desa Krinjing dan Serang, dan di wilayah Sigedang ada di desa-desa
Surengede dan Buntu. Untuk primadona kenthang adalah di wilayah Dieng, utamanya
di desa-desa Dieng Wetan dan Sikunang. Sedikit di bawahnya ada di desa-desa
Parikesit dan Patak Banteng. Kenthang juga, dalam jumlah lebh sedikit ditanam
di wilayah Sigedang, yakni di desa-desa Surengede, Kejajar, Sigedang dan Tambi.
Kalau dilihat dari penguasaan/ kepemilikan lahan, dari seluas 79,904.15
hektare lahan kering, maka yang paling mini adalah padang rumput (5.8 ha), yang
lumayan kolam ikan (219.7 ha), yang cukup luas adalah waduk (1,497.6 ha) dan
perkebunan (2,681.4 ha), yang luas
pekarangan/bangunan (7,460.7 ha), dan yang sangat luas adalah hutan negara
(18,888.1 ha) diungguli secara lipat dua oleh tegalan/kebun (46,221.5 ha), yang
separoh kurang darinya berupa hutan rakyat (19,481.6 ha). Dari hutan negara tersebut
terbagi sebagai berikut: hutan suaka alam 3,953.6 ha, hutan wisata 43.7 ha,
hutan produksi tetap 11,148.98 ha, dan hutan produksi terbatas 4,546.08 ha.
Hasil produksi hutan antara lain adalah kayu bulat, kayu gergajian, kayu
olahan, dan hasil ikutan seperti gondorukem dan terpentin (dari getah pinus).
Semua tanaman yang bermacam sifat tersebut berinteraksi dengan tataguna
dan pola kepenguasaan lahan.
Memahami dan memperlakukan tanaman dengan bijak sesuai dengan tanah dan air
serta iklim adalah perbuatan manusia. Sementara itu tataguna dan penguasaan
lahan menentukan tanggungjawab yang dituntut oleh manusia terhadap alamnya.
Sebagai contoh akan hubungan manusia dan alam, kawan atau lawan, atas
tanaman tembakau, salah satu primadona hasil bumi Wonosobo, tataguna dan
penguasaan lahan kering dan berlereng yang sepenuhnya diserahkan pada kuasa
juragan tembakau yang berani berspekulasi menyewa lahan di depan sementara
petani yang semula pemilik menjadi buruh, akan dengan mudah mengejar perolehan
bisnis, dus ber-agribisnis, daripada agriculture. Sifatnya ekstensif daripada
intensif. Maka menghemat tenaga kerja menjadi ciri khasnya, dan boros air,
serta berlimpah ruah pupuk buatan (fertilizer), pestisida, herbisida dan
fungisida. Benih pun dipilih yang paling cepat menghasilkan, maka benih-benih
hibrida kalau bukan malah benih transgenik, yang tidak bisa dijadikan benih
lagi. Benih lokal yang kendati sifatnya menonjol pada sifat tertentu dan sudah
adaptable pada ekosistemnya, tetapi kadang hasilnya tidak menarik mata, misal
terlalu kecil atau terlalu besar hingga sulit distandardisasi oleh kemasan
untuk pasar, atau warnanya kurang nge-jreng hijau atau merah atau kuning. Olah
yang agribnisnis, yang tak tahan telaten, yang serba ingin cepat, dan serba
jadi uang, kerapkali berentangan dengan alam, bahkan merusak dan mengkotorinya,
hingga alam berbalik menyerang karena tidak tahan lagi daya penyesuaiannya.
Misalnya seperti kasus tomcat yang merupakan predator wereng coklat, justru
meledak kalau fungsi predator diganti oleh pestisida, hingga pekerjaan tomcat
terdesak, maka ia cari obyek baru termasuk meganggu manusia.
Penyelesaian memakai pertanian organik dan alami, yang pada dasarnya
melestarikan ekosistem, dari tanah dengan microbanya sampai benih dan pohon
pelindungnya, tidaklah cukup. Sebab reforma agraria yang mengatur tata laksana
penguasaan lahan yang adil, hingga tidak terjadi dominasi atas pelaku
konservasi, namanya petani, oleh pemegang modal besar, adalah pula keharusan.
Penyelesaian ekologis harus dikawal dengan penyelesaian struktur sosial
ekonomi.
Kasus contoh ke dua adalah primadona kenthang. Kenthang yang ditanam
adalah berasal dari bibit ‘unggul’, artinya juga hasil rekayasa genetika yang
rentan terhadap musuk alam tertentu tetapi resisten/ tahan terhadap yang lain.
Masalahnya musuh alam itu bisa dilawan dengan pestisida buatan, namun akan
mengalami saturasi, titik jenuh, hingga justru bakterinya meningkat daya
tahannya terhadap pestisida tertentu. Kenthang ditanam di cekungan dataran
tinggi Dieng bekas kaldera, hingga kecenderungan air tirisan residue pestisida
tidak gampang tapis pergi mengalir ke bawah. Tanah terkontaminasi residue
pestisida cukup tinggi. Dan selain merusakkan bangunan petilasan candi, juga
mengancam manusia petani penanamnya dan konsumennya. Pada kemiringan atau
lereng, atau ereng-ereng, slope, cara salah mengelola tanah, juga akan
berakibat erosi yang tinggi. Hara berkurang, tanah rusak dan kenyal, hingga
lama-lama hasil kenthang menurun. Satu-satunya jalan-gelap bagi para petani
penggarap adalah ditumpahkan lebih banyak lagi pestisida. Memang compost dan
telethong dari dataran rendah seperti Bantul dan Sleman telah dibawa naik ke
kebun-kebun kenthang untuk pemupukan, tetapi urea, posfat, di derah yang sudah
banyak mineralnya, dimanjakan juga tanahnya. Belum hasil kenthang yang sarat
residue kimia anorganik, akan masuk perut konsumen, dan bertiwikrama jadi racun
ke dalam tubuh, yang mengurangi daya tahannya.
Selain itu, interaksi dengan tanah plus hara-nya yang semakin berkurang dan
air-nya yang semakin mengering serta iklim yang semakin tidak menentu, juga menciptakan
perseteruan horizontal antar alam, dan perseteruan vertical antara alam dengan
manusia. Akhirnya manusia yang memetik kerugiannya, maka juga yang di satu sisi
harus mengerem proses perusakan di sisi lain melestarikannya.
Manusia sebagai Kawan Alam
Berbicara mengenai manusia sebagai kawan alam adalah berbicara mengenai
manajemen. Terhadap dan bersama alam, dari titik pangkal alam, manajemen atau
pengelolaan, terdiri dari 8 tahap secara gradasi dari yang tidak akur sampai
yang sedikit berkawan, cukup berkawan, sangat berkawan, dan paling sempurna
total berkawan dengan alam:
(1) Manajemen Teknik Kimia Anorganik dan Rekayasa Biologi atau ‘modern
farming’, atau secara salah kaprah ‘pertanian konvensional’;
(2) Manajemen Siklus flora dan fauna atau ‘mixed farming’ (pertanian
campuran);
(3) Manajemen waktu atau pertanian memakai ‘Pranata Mangsa’.
(4) Manajemen Penanaman atau teknik penanaman atau ‘ecofarming’ (pertanian
ramah lingkungan);
(5) Manajemen Tanah, agronomis, atau ‘pertanian organis’, (aplikasi kimia organik
dan biologi) dari yang semi organis atau ‘Lower External Inputs of Sustainable
Agriculture’ (LEISA) sampai yang penuh sampai air tipis residue kimia anorganis;
(6) Manajemen Tanaman atau ‘natural farming’ (pertanian alami);
(7) Manajemen Lahan atau ‘permaculture’ (permanent agriculture);
(8) Manajemen Berkelanjutan Menyeluruh atau ‘Holistic Sustainable Agriculture’,
yakni pertanian yang mengaplikasikan manajemen no.2 sampai 7 secara serempak
dilengkapi dengan pilihan pola berbudaya dan berkeyakinan yang menjubuhkan
antara kegiatan produsen dan konsumen.
Maka bila mengikuti tema dari diskusi terbuka ini, yakni tentang
pertanian organis, kita hanya menjalankan manajemen berkawan dengan alam no.5
saja. Dari situ dapat disimpulkan betapa luas dan dalam usaha manusia berkawan
dengan alam. Marilah kita ekplorasi ringkas satu per satu. Karena dengan waktu
yang amat singkat dan tanpa praktek di lahan, hampir tidak mungkin kita
menyecap pengetahuan dan praktek berkawan dengan alam ini. Yang bisa kita
diskusikan di sini sekedar sebuah pengantar dari ilmu berkawan dengan alam yang
sangat komplit.
Add 1. Manajemen
Aplikasi Teknik Kimia Anorganis dan Rekayasa Biologi.
Manajemen Aplikasi Kimia Anorganis dan Rekayasa Biologi (Genetika)
adalah yang dilakukan Modernisasi Pertanian atau Revolusi Hijau jilid 1 (bibit
hibrida) maupun ke-2 (produk transgenik). Untuk tanaman padi, seperti
Indonesia, selain aplikasi pupuk buatan, pestisida, herbisida, fungisida ke
dalam tanah, juga bibit hibrida dari jaman PB 5 sampai Cisadane dan IR, sampai
Ciherang, semuanya cenderung boros air dan rentan pada hama tertentu, yang
cocok dibasmi dengan pestisida tertentu. Alur logika bisnisnya dari pabrik
kembali ke pabrik dengan keuntungan yang lebih besar. Pada Revolusi Hijau
jilid-2, produk transgenik diperkenalkan. Yang semakin bisnis tinggi dari
produk transgenik ini adalah diciptakannya benih terminator, yakni benih ini
selain dimodifikasi dengan sifat bawaan (gen) tertentu – misal gemuk seperti
Babi, juga dengan dimuati pestisida tertentu, lantas pula dibuat satu kali
tanam mancet untuk ditanam kembali turuannya, jadi dibuat mandul. Dari situlah
pabrik akan selalu dibutuhkan untuk memproduksi bibit baru, karena petani tidak
bisa memproduksinya sendiri. Pabrik semakin berlipat untungnya, petani semakin
tak berdaulat bahkan memproduksi bibitnya sendiri. Belum kalau kita
memperhitungkan, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh derasnya residue
kimia anorganik yang tidak terurai ke dalam tanah. Selain membuat tanah menjadi
miskin, termasuk miskin hara atau tinggi keasamannya, juga residue tersebut
berbahaya bagi para petani dan pemakan produknya. Selain itu residue kimia
anorganik tersebut juga membunuh jasad renik, cacing tanah, dan predator untuk
hama tanaman. Gerakan Pengendalian Hama Terpadu dengan Sekolah Lapangannya yang
pada tahun 1990-an sampai awal 2000-an disponsori oleh FAO adalah gerakan
memperlambat dampak negatif dari Revolusi Hijau. Murid-murid dari Sekolah
Lapangan yang aktif berkisar 10,000 orang tersebar di seluruh penjuru tanah air
inilah sekarang menjadi penggerak pertanian organik di mana-mana.
Add 2. Manajemen Siklus
flora dan fauna atau ‘mixed farming’
Inti dari manajamen siklus hewan dan tumbuhan, yang bersifat simbiotik,
saling mengisi dan saling menghidupi, ini adalah praktek tradisional dari
bertani hampir di seluruh dunia. Sebagai contoh misalnya petani pengolah lahan
juga sekaligus menangkar hewan seperti lembu, kambing dan kerbau. Pupuk kompos
yang menghemburkan dan menyuburkan tanah didapat dari mengeringkan telethong,
kotoran binatang, dicampur sisa-sisa makanan. Jerami atau batang-batang tanaman
yang tidak dimakan manusia dikumpulkan untuk pakan ternak. Begitu seterusnya.
Dan bisa ditambah dengan membuat digester untuk biogas mempergunakan kotoran
ternak. Biogas mensuplai energi untuk rumah tangga, untuk memasak makanan dari
petani, bisa juga dijadikan energi penerangan rumah tangga petani. Memang,
mixed farming tidak harus pertanian organik, tetapi paling baik kalau juga
mengaplikasikan pertanian organik, karena bahan pakan untuk ternak dan makan
untuk manusia akan bebas dari pestisida yang tak terurai.
Add 3. Manajemen Waktu atau
‘Pranata Mangsa’.
Manajemen waktu atau pranata mangsa ini dipergunakan oleh nenek moyang
kita. Kendati perubahan iklim juga menciptakan anomali cuaca (ketidak
konsistenan cuaca, atau salah mangsa), namun sebagai pedoman walaupun harus
digeser beberapa hari, masih dapat dipakai dengan cukup baik.
Perhitungannya berdasarkan ilmu perbintangan, khususnya bintang waluku
atau gubug penceng di ufuk selatan. Ada 12 mangsa yang punya 12 sifat yang
harus diperhitungkan agar masa tanam, masa mengolah, kapan waktu memupuk pas:
mangsa kasa (hujan segar), karo (benih tumbuh), katelu (pohon berdaun/
bersemi), kapat (kapuk berbuah, burung manyar buat sarang), kalima (hujan
deras), kanenem (pohon buah masak buahnya), kapitu (hujan curah tinggi, bisa
banjir), kawolu (hujan mereda, kucing gandhik, apokat dan kepel berbunga),
kasanga (padi mulai berisi ada yang menguning), kasadasa (padi menua, apokat
duku salak berbuah), destha (umbi-umbian dan padi siap dipanen, burung
meloloh-beri makan anaknya), dan sadha (hujan mereda, daun layu, matahari
terik, air berkurang).
Add 4. Manajemen Penanaman atau teknik penanaman
atau ‘ecofarming’
Intinya manajemen tanaman: tanaman tegakan dan lindung, tanaman sela dan
pangan serta pakan, tanaman hasil uang (cash crop), tanaman pupuk endemik,
tanaman obat-obatan dan pestisida, semua difungsikan dan saling mendukung
secara berkelanjutan.
Add 5. Manajemen Tanah, agronomis, atau
‘pertanian organis’ atau LEISA
Intinya manajemen tanah: mengolah tanah, mempupuk tanah, dlsb. Ilmu
tanah atau agronomi menjadi andalan. Alam tanah dan tumbuhan-tumbuhan serta
ternak hewan mempunyai logikanya sendiri, maka sesedikit mungkin asupan
(inputs) dari luar. Istilah LEISA adalah dari situ, artinya Lower External
Inputs for Sustainable Agriculture. Kunci dari penghemburan dan pensuburan
tanah adalah pengolahan tanah yang benar menurut lapis-lapisnya dan ditambah
dengan kompos.
Aplikasi pestisida dan fungisida serta herbisidapun yang bersifat alami.
Dari daun nimba sampai tembakau, sampai jahe, pun dapat dipergunakan. Untuk
membasmi rumput waderan, memakai daun bambu. Untuk membasmi yuyu memakai daun
dan batang pohon pepaya yang getaknya bisa membuat rontok kaki-kaki yuyu. Untuk
mengenyahkan tikus, pematang disetrip, dan ditembok tanggul lagi, hingga lobang
liang persembunyian tikus musnah, juga jarak antar tanaman diperlebar biar
cukup terang.
Add 6. Manajemen Tanaman atau ‘natural farming’
Intinya manajemen penanaman: sistem surjan (hemat lahan), sistem
tupangsari (hemat air), dan dari alam ke alam dipakai sebagai prinsip. EM-4
bisa dibikin sendiri dari buah-buahan yang membusuk, gula/ tetes, dan bahan
alami yang lain. Sebagaimana pertanian organik, tetapi sama sekali
mempergunakan alam, termasuk rerumputan dan binatang seperti semut mempunyai
fungsinya.
Add 7. Manajemen Permaculture.
Intinya adalah manajemen lahan, sistem tanggul, sistem penahan,
terasering, sistem penyimpanan air, dan design landscap menjadi andalan. Metode
pekarangan luas di desa-desa atau kalau di negara Barat, farm, itulah contoh
permaculture. Metode ini sepenuhnya juga mengaplikasikan pertanian organik dan
mix farming, lengkap, idealnya, dengan biogas. Bila di Wonosobo dilakukan
gerakan ini, kami yakin Brand Wonosobo pewaris kerajaan Mataram Syailendra
abad-7 yang makmur, beradab, indah, nyaman, dan damai akan terwujud.
Add 8. Manajemen
berkelanjutan holistik.
Manajemen ini mengaplikasikan manajemen no.2 sampai 7, dengan tambahan
beberapa unsur. Pada manajemen berkelanjutan menyeluruh unsur penghayatan
budaya maupun keyakinan yang transendental, seperti religiusitas bisa masuk
menjadi bagian. Manajemen berkelanjutan holistik. Termasuk juga ke dalam
keyakinan kultural tersebut adalah pola pengaturan hidup, pilihan pangan,
pilihan pakaian, pilihan tempat tinggal, pilihan ambience yang menyangkut yang
kasat mata dan telinga serta alat-alat peraba, pilihan pengaturan tata ruang,
pilihan hiasan, pilihan rekreasi, pilihan bacaan dan pengkayaan ilmu, dan pilihan
agama,dst. ‘Deep farming’, USA, pertanian yang dipraktekan oleh AWI, Jepang,
maupun Schumacher Society, Inggris, bisa masuk wilayah manajemen berkelanjutan
holistik ini. Untuk memastikan bahwa akan ‘berkelanjutan’ tidak harus tidak
reforma agraria pro petani harus terselenggara.
Penutup
Organic farming atau tingkat lebih tinggi sedikit dan menyeluruh
permaculture dan holistic agriculture adalah rumus perkawanan manusia dan alam
yang mensyaratkan tidak hanya penguasaan teknologi alami, tetapi juga wawasan
dan struktur kepenguasaan lahan yang pro rakyat pelaku utama yakni produsen
tanaman, petani/ pekebun, peng-hutan, dan konsumen hasil, rakyat jelata.
Wawasan mengisyaratkan pentingnya pendidikan penyadaran dan massa. Sementara
struktur kepenguasaan lahan mengandaikan berjalannya reforma agraria yang
dijamin kepastian hukum terutama dari para penegakknya. Penguasaan teknologi
alami mengharuskan pelaku menjalankan pelatihan, utamanya yang berbasis praktek
atau sekolah lapangan. Ketiga agenda itu harus dilaksanakan serempak dan dalam
kurang waktu yang cukup panjang, sekitar 5 tahun. Peran pemerintah dan wakil
rakyat adalah memastikan ke-3 agenda berjalan, dari sisi aturan hukum, semangat
memberikan contoh, kreatifitas promosi, dan alokasi anggaran maupun para
pendamping yang sudah mempraktekannya dengan sukses. Selain itu, peran swasta
juga harus diatur dan didorong, agar mereka menjadi contoh dan semi ing pamrih,
karena keuntungan akan dinikmati bersama-sama, dan jangan sampai menjadi
penghalang khususnya soal penguasaan lahan, dimana Swasta cenderung serakah
sementara rakyat tani kadang mudah tersulut, jalan damai dan adil harus
dikedepankan.
Sejak dini baik di sekolah formal, maupun informal, maupun keluarga,
pertanian alami syukur menuju permaculture dan pertanian holistik yang
berkelanjutan harus menjadi kurikulum yang dipraktekkan. Semua didukung dengan
budget yang cukup serta perencanaan partisipatif oleh pemerintah dan rakyat,
hingga bertemulah kepentingan petani produsen dan rakyat konsumen.
Wonosobo yang subur lahannya, kaya sumber airnya, cuaca mendukung untuk
tanaman gunung, harus menjadikan primadona pertanian alami holistik, mewarisi
peninggalan-peninggalan jaman kuno budaya tinggi Kerajaan Mataram Kuno dinasti
Syailendra. Itu semua kalau dikemas dengan jeli akan menjadi mendorong kerja
ekologi ekonomi yang akhirnya menyejahterakan rakyat. Jangan sampai alam yang
indah dan subur dirusak oleh keserakahan agribisnis, yang hanya uang sesaat
yang dilihat di pelupuk mata, sementara uang dari hasil bertani selaras alam
holistik yang akan berkelanjutan tidak dikerjakan. Ekonomi, budaya, sosial,
religiositas, people’s forestry, ecotourism serta ecotrade dalam kerangka
membangun Wonosobo selaras alam harus dipadukan dan dijalankan. Hingga suatu
hari tak jauh ke depan Branding
Wonosobo bukan daerah pegunungan gundhul dan buthak, tetapi daerah pegunungan
nyaman dan tenteram, yang dicintai para dewa dan disayangi manusia. Semoga.
Yogyakarta, 10 April 2012
Update, 27 April 2013
Daftar Kepustakaan
Batara, Lily Noviani dan Ika N. Krishnayanti. 2010. Natural Farming: Rahasia Sukses Bertani Masa Kini. Jakarta: Bina
Desa.
Batara, Lily Noviani dan Ika N. Krishnayanti. 2010. 19 Kiat Sukses Bertani Alami. Jakarta: Bina Desa.
Batara, Lily Noviani dan Ika N. Krishnayanti. 2010. Berbagi Pengalaman Sukses Bertani Alami. Jakarta: Bina Desa.
Fukuoka, Masanobu (transl. Frederic P. Metreaud). 1985. The Natural Way of Farming: The Theory and
Practice of Green Philosophy. Tokyo: Japan Publications.
Gershuny, Grace. 1993. Start with
the Soil. Emmaus: Rodale Press.
Indrowurjatno, AL. 1997. Pranata
Mangsa: Kajian Bertani Berdasarkan Penanggalan Jawa. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Metzner, Joachim & N. Daldjoeni. Eds. 1987. Ekofarming: Bertani Selaras Alam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
McKibben, Bill. 2007. Deep
Economy: The Wealth of Communities and The Durable Future. New York: Holt
Paperbacks.
Mollison, Bill. 1988. Permaculture:
A Designers’ Manual. Tyalgum: Tagari Publications.
Perlas, Nicanor and Renee Vellve. 1997. Oryza Nirvana? An NGO Review of the International Rice Research
Institute in Southeast Asia. Quezon City: SEARICE.
Pracaya. 2008. Pengendalian Hama
& Penyakit Tanaman Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Rodale, Maria. 2010. Organic
Manifesto. New York: Rodale.
Rosset, Peter and Medea Benjamin. Eds. 1994. The Greening of the Revolution: Cuba’s Experiment with Organic
Agriculture. Melbourne: Ocean Press.
SPTN-HPS, Lesman, Mitra Tani. 2003. Belajar
Pertanian Organik. Yogyakarta: Oxfam GB.
Sutanto, Rachman. 2002. Pertanian
Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Veeresh, G.K., K. Shivashankar, and M.A. Singlachar. Eds. 1997. Organic Farming and Sustainable Agriculture.
Bangalore: Association For Promotion of Organic Farming.
Tjahjadi, Riza V. Ed. 1993. Nature
and Farming: Biodynamic Agriculture and Communal Resources Adaptation Systems:
Selected Cases in Indonesia. Jakarta: PAN-Indonesia.
Tokuno, Gajin. 1986. Let Nature Do
the Growing: The Fertilizer-free Vegetable Garden. Tokyo: Japan
Publications.
Winangun, S.J., Wartaya. ed. 2005. Membangun
Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
BalasHapusTerimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D