Semangat
pertanian organik tidak sekedar bertani dengan mengutamakan
penggunaan asupan-asupan pertanian non pabrikan atau buatan semata
dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksinya. Di
balik itu terkandung sebuah semangat perlawanan atas kebijakan yang
sebenarnya tidak menguntungkan petani. Para petani
kecil berupaya keras tanpa lelah untuk melepaskan diri dari
jerat rantai ketergantungan yang sudah terlanjur menjerat hidup
mereka dari segala aspek. Melalui dialog-dialog kritis yang
menghunjam hati nurani mereka para petani binaan LSM
Cindelaras Paritrana, akhirnya terwujud sebuah refleksi yang
membentuk suatu keyakinan yang tertanam dalam kesadaran kritis bahwa
jerat ketergantungan itu tak mampu mereka lepaskan tanpa diawali
upaya membangun sebuah kemandirian. Kemandirian itulah menjadi
tonggak awal mereka meraih kedaulatannya dari hulu hingga hilir,
sejak tahap produksi hingga pemasaran yang didasari oleh roh bertani
organik atau alami sebagai pengejawantahan iman mereka.
Harmonisasi
hidup manusia khususnya petani menyatu dalam harmonisasi alamnya yang
lestari. Penderitaan salah satu manusia memanggil kepekaan
solidaritas yang lain untuk turut meringankan beban hidup sesamanya,
baik itu dalam permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar pangan maupun
ekonomi keluarga sebagai sebuah komunitas sosial masyarakat. Diawali
oleh sebuah dialog panjang dengan pemikiran yang dalam serta
pertimbangan yang matang, mereka hendak membangun sebuah konstruksi
kelembagaan lokal yang mampu menjadi kerangka sistemnya. Pada
akhirnya dengan segala kearifan lokal yang ada, mereka hendak
menghidupkan kembali lumbung sebagai warisan nenek moyang yang
diyakini mampu menjadi sarana mewujudkan cita-cita kesejahteraan
bersama. Pendidikan penyadaran a la PERPEC II
yang mewadahi dialog tersebut diselenggarakan oleh CINDELARAS
PARITRANA pada bulan Februari-Maret 2011 di enam titik komunitas
dampingan, yaitu di Payak Cilik, Praon, Jetis, Lo-Rejo, Kleben (DIY)
dan Balak (Jawa Tengah). Pendidikan berbasis komunitas ini mencoba
menggali kekuatan dan kemandirian masyarakat desa, dalam hal ini
berkaitan dengan kedaulatan pangan dan sosial ekonomi mereka. Dalam
pertemuan tersebut, lahirlah inisiatif warga untuk menghidupkan
kembali lumbung paceklik yang sebenarnya sudah pernah ada. Lumbung
inilah yang digunakan sebagai sarana untuk memperkuat kedaulatan
pangan mereka. Selanjutnya, bila terjadi ekses produksi maupun
tabungan pangan di lumbung, untuk meningkatkan pendapatan dalam
bentuk cash, ekses tersebut dapat dijual melalui sistem fair-trade,
melalui koperasi Cindefood maupun langsung kepada konsumen yang
membutuhkan. Cerita selanjutnya adalah perintisan kami mengenai
lumbung fair trade.
Dari
Lumbung Paceklik ke Lumbung “Fair Trade”
Bagi
para petani, lumbung difungsikan sebagai sebuah lembaga atau
paguyuban komunitas lokal, yang mengawal sistem pengendalian resiko
paceklik bagi anggotanya melalui partisipasi awal secara adil.
Material yang akan dilumbungkan bisa gabah (padi) atau hasil bumi
lainnya yang bersifat tahan lama. Pada awalnya anggota pasok
gabah, misalnya 5 kg atau 10 kg sebagai simpanan pokok anggota,
tergantung musyawarah warga. Siapapun anggota komunitas yang
tergabung dalam paguyuban lumbung ini berhak memperoleh akses
pinjaman gabah, misalnya untuk memenuhi kebutuhan pangannya di kala
cadangan pangan rumah tangganya tidak tersedia lagi alias menipis.
Balas jasa pinjaman ditetapkan dengan besaran yang terjangkau melalui
musyawarah bersama, misalnya ada istilah “ngrolasi” (dari
kata “rolas” atau duabelas), artinya pinjam 10 kg gabah, nanti
pada waktu panen mengembalikan 12 kg gabah. Modal lumbung terus
dipupuk dengan menerapkan simpanan wajib bagi anggotanya sehingga ke
depan memberi peluang bagi lumbung untuk memperkuat modalnya.
Kekuatan ini memungkinkan lumbung membuka peluang usaha berbasis
lokal yang memberi lapangan kerja bagi anggotanya, sehinggga dapat
meningkatkan kesejahteraan warga sekitar.
Proses
transformasi pemahaman lumbung melalui pendidikan PERPEC II di enam
titik komunitas, dari rencana 5 lumbung selain satu yang sudah
beroperasi lama di Jetis, hingga saat tulisan ini dibuat sudah dapat
direalisasikan dua buah paguyuban lumbung baru. Di Dusun Praon,
Gunungkidul, DIY berdiri Lumbung “Boga Mulia” sejak tanggal 20
April 2011 dengan 98 orang anggota berbasis kepala keluarga dan di
Dusun Payak Cilik, Bantul, DIY tanggal 30 April 2011 berdiri Lumbung
“Margomulyo” dengan 27 orang anggota. Pada awal perintisannya
kedua lumbung masih fokus pada fungsi lumbung paceklik. Ke depan
seiring dengan meredanya serangan hama tikus dan wereng di wilayah
Jateng-DIY akan disusul berdirinya lumbung-lumbung di komunitas lain:
Lorejo, Kleben dan Balak. Jetis sendiri telah lama mengusahakan
lumbung paceklik dan sudah teruji oleh waktu mampu menghindarkan
masyarakatnya dari resiko kelaparan tanpa harus menunggu uluran
tangan dari pemerintah. Dari komunitas inilah lahir tokoh-tokoh
perubahan atau aktivis lumbung yang bisa dijadikan sumber informasi
dan referensi bagi komunitas lain yang ingin mengusahakan lumbung
paceklik.
Selanjutnya,
lumbung-lumbung dari komunitas-komunitas ini akan saling berjejaring
dalam rangka membangun kekuatan bersama sekaligus saling bertransaksi
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing anggotanya. Melalui lumbung
ini pula terbangun relasi saling memahami dan menghargai antara
produsen dan konsumen. Kepercayaan yang terbangun dari kedua belah
pihak lebih substantif, sehingga tidak terjebak pada kepercayaan semu
seperti halnya kepercayaan melalui sertifikasi. Kepekaan, kebersamaan
dan solidaritas konsumen terhadap produsen diwujudkan dalam status
keanggotaannya sehingga secara tersistem mereka saling membutuhkan
dan menguntungkan. Bagi petani sebagai produsen pangan yang tergabung
dalam lumbung, konsumen ini menjadi pasar alternatif yang
penetapan-penetapan harga transaksinya berbasis kemanusiaan. Orang
Kleben menyebut “harga kemanusiaan” atau adil karena berdasar
kesepakatan bersama dan tidak menekan salah satu pihak. Bentuk inilah
yang disebut sebagai “dagang semanak”, dagang adil atau “fair
trade”.
Karenanya lumbung yang telah kami desain dan rintisi disebut lumbung
“fair
trade”.
Bentuk lumbung seperti ini memiliki sesanti, “rugi
satak bathi sanak, ndeder siji tuwuh sakethi”,
yang artinya pada awalnya agak rugi sedikit (atau rekasa
sithik),
tetapi kaya akan relasi dan nantinya bisa tumbuh berkembang dari
kecil menjadi besar, yang murakabi
(memberkati rejeki) bagi semua. Ke depan, mungkin tidak hanya gabah
atau palawija yang bisa dilumbungkan, tetapi bisa juga kompos dari
pengolahan kotoran ternak yang bisa didayagunakan, itulah yang sudah
dirintis oleh komunitas Jetis dan Balak.
Teman-teman dapat menelusuri pengalaman ini dalam buku "MANAJEMEN DAN PRAKTEK GERAKAN SOSIAL BARU". Silakan hubungi CINDE BOOKs Telp 0274 889611, atau berkunjung ke jl Pangkur 19, Ganjuran, Manukan, Condongcatur, Jogja.
BalasHapusBetul sekali, sistem Lumbung adalah budaya asli yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dalam membangun prekonomian yang berdasarkan atas azaz kekeluargaan. Hal ini lah yang sudah dilupakan oleh para elite Negri ini, begitu juga dengan Sistem Tanah Adat, Musyawarah untuk Mufakat, Gotong Royong, dan Kepemimpinan atau Kreativisme yang dilupakan oleh para elite negri dan kaum muda masakini. Maju terus!!! mari bersama-sama kita pertahankan dan tingkatkan tatanan sistem asli Bangsa Indonesia yang mulai rapuh ini.
BalasHapus