Trainer, Consultor, Researcher, Capacity Development Expert
Jumat, 26 April 2013
Peraturan Impor Hortikultura 2013
Catatan Bambang Kussriyanto
Pembatasan impor melalui kuota produk hortikultura beberapa waktu yang lalu menimbulkan dampak kenaikan harga yang mendorong peningkatan inflasi. Kenaikan harga tidak mempengaruhi peningkatan penerimaan petani produsen, melainkan lebih dinikmati rantai perdagangan off-farm, maka tetap tidak menguntungkan petani lokal seperti yang diharapkan dalam penetapan kuota impor. Kecilnya kontribusi hortikultura dalam perekonomian nasional tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung secara nasional setelah pembatasan kuota impor menimbulkan gejolak harga yang mendorong inflasi umum.
Tampaknya situasi itu mendorong Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tanggal 22 April 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Permendag No. 30/M-DAG/PER/6/2012 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan No. 60/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dengan demikian tidak berlaku lagi.
Permendag yang baru mengatur impor 39 jenis produk hortikultura. Terdapat pengurangan 18 jenis produk hortikultura yang diatur dalam Permendag sebelumnya. Jenis produk hortikultura yang dikeluarkan dari Peraturan Menteri Perdagangan sebelumnya adalah Bawang Putih, Bawang Putih bubuk, Cabe bubuk, Kubis, Bunga Krisan, Bunga Heliconia, Bunga Anggrek, dan beberapa produk hortikultura olahan.
Selasa, 23 April 2013
APA ITU CREDIT UNION?
Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia
1.1.
Apa itu Credit Union?
Ada beberapa definisi mengenai Credit Union. Tiga diantaranya kita
tampilkan di sini.
Credit Union Counselling Office (CUCO) atau, kemudian dikenal sebagai Badan Koordinasi Koperasi Kredit
Indonesia (BK3I), dan sekarang disebut sebagai Induk Koperasi Kredit (Inkodit),
di Jakarta, mendefinisikan Credit Union atau disebut juga Usaha Bersama Simpan
Pinjam, sebagai:
“...sekumpulan orang yang telah bersepakat
untuk bersama-sama menabungkan uang mereka. Kemudian uang tersebut dipinjamkan
diantara mereka sendiri dengan bunga yang ringan, untuk maksud produktip
(membeli alat, perkakas atau membuka warung) dan kesejahteraan (keperluan
kesehatan dan pendidikan). Dengan demikian, pinjaman tersebut akan mengutungkan
anggota.” (CUCO, 1973: 1).
CREDIT UNION BASIS KOMUNITAS (C.U. BasKom): Belajar dari Philosophy Kerbau (Water Buffaloes)
dikembangkan oleh SEMAI, Yogyakarta
Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia
Belajar dari Kerbau
Pada tahun 1984 penulis mengunjungi Sumba pertama kali. Dan di Wewiwa
(baca: Waidjiwa) melihat serta mengagumi bagaimana sekumpulan kerbau (20 kerbau)
menginjak-injak sawah, sambil makan singgang (sisa jerami tebasan parang) yang
menghijau. Mereka serempak menginjak, seolah berirama, kecipak kecipuk bunyi
air bercampur lumpur terpecik ke atas dan ketubuh yang panas kering, tersiram
sedikit basah, melumatkan tanah dibawahnya. Pada tahun 1990, penulis sempat
pula mengunjungi Timor Timur (waktu itu masih di bawah kuasa pemerintah
Indonesia), melalui darat, dari Atambua menyusuri savana sabana di antara
beberapa kali yang hampir mongering harus disebrangi. Masuk ke wilayah Bumi
Lorosae, mampir di kota kecil Dili sebentar, kemudian meluncur ke selatan,
setelah mendaki dan menuruni bukit penuh tanaman kopi, menyebarangi beberapa
kali, akhirnya sampai di Ailiu. Di sana pemandangan yang menakjubkan, sebagaimana
di Sumba, terjadi lagi. Serombongan kerbau (15 ekor) me-rancah atau
menginjak-injak sawah. Sama, sambil makan, mengerjakan hingga lumat lumpur
untuk menanam padi.
Andai Kita tak Abai dengan Bung Hatta, UUD 1945, dan Koperasi, Bangsa Indonesia sudah Makmur dan Sejahtera
artikel penulis, diambil dari Kuliah Akhbar-nya, Seri
1, menyambut HUT RI-67, Hari Tani, Hari
Pangan Sedunia dan Hari Ibu, tanggal 10 Agustus s.d. 9 November 2012 yang diselenggarakan
di CINDENEST, Jln. Pangkur no.19,
Ganjuran-Manukan, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta.
Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia
Berandai
Apabila akhir-akhir ini Anda membaca surat kabar, Anda akan berjumpa dengan
persoalan-persoalan besar sosial ekonomi yang menyangkut harkat hidup orang
banyak yang akan mengusik pikiran, bisakah itu akan lebih bagus kalau dikelola
secara kooperasi. Beberapa dari antara persoalan tersebut adalah: reforma
agrarian termasuk kepemilikan hutan dan tambang, kedaulatan dan ketahanan
pangan nasional, sistem jaminan sosial, industry kreatif masyarakat adat maupun
ekonomi rumah tangga rakyat jelata, bahkan sekolah dan rumah sakit di daerah
terpencil, pembangunan sarana-sarana publik di daerah-daerah, pengadaan buku
serta perpustakaan dan literature serta sarana komunikasi tingkat desa/dusun
dan kampung, pengelolaan uang bersama-sama untuk rakyat, sarana transportasi rakyat,
pemeliharaan dan pelestarian bermanfaat dari ekosistem dan keseluruhan
lingkungan hidup, menjaga keamanan daerah perbatasan dan penangkapan ikan oleh
pencuri asing di perairan Nusantara, memungkasi dan mereduksi berbagai
diskriminasi serta kekerasan, dlsb. Bayangkan kalau itu semua dikelola oleh
kooperasi, bukan diserah jualkan dengan hampir-hampir sistem lego kepada
perusahaan swasta besar korporasi, bukan pula swasta besar korporasi menyewa
pengamanan sendiri atau memakai tentara dan polisi yang nota bene dibayar oleh
pajak rakyat lewat negara. Bayangkan, pemerataan pekerjaan dan penghasilan
serta kesejahteraan dan keadilan sosial akan lebih terealisasikan. Bila itu
dikelola oleh kooperasi secara kooperatif. Mengapa tidak? Karena dari kooperasi
rakyat, kurupsi lebih sulit dilakukan, bila pun dilakukan biaya akan lebih
besar, karena harus mengumpulkan dari yang kecil-kecil. Beda dengan bila
langsung memelihara yang besar, korporasi, koruptor tinggal berhubungan dengan
satu dua orang, selesai sudah praktek jahatnya, dan jauh lebih murah ongkosnya.
Apalagi semua praktek kotor itu dikelola dan didesain melalui perlindungan
hukum dan administrative, lancarlah. Tapi menderitalah bangsa dan rakyatnya
ini, karena cenderung secara sistematis menjadi sapi perah para elit dan
sebagian besar pemimpinnya.
RUU PERKOPERASIAN YANG DISELUSUPI SEMANGAT KORPORASI
(dimuat dalam Tabloid Dwi
Mingguan, CUReview, vol. 1, 2012)
Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics &
Management Insitute)
Yayasan Cindelaras Paritrana,
Indonesia
Pengantar:
UU no. 17, tahun 2012, tentang
Perkoperasian memang sudah diundangkan 30 Oktober 2012, untuk membandingkan
dengan bagaimana setelah menjadi undang-undang dengan sebelumnya ketika masih
sebagai draft, tulisan berikut yang diambil opera dari CU Review, Vol. 1, tahun
2012 dapat memberikan gambaran. Silakan membaca:
Undang-Undang no. 17/2012
tentang PERKOPERASIAN:
Plus dan Minus-nya dan sebuah Contoh Kolonialisme/ Penjajahan Modern via
Sistem Perundangan/UU.
Oleh
Francis Wahono
SEMAI (Social Ecolonomics & Management Institute)
Yayasan Cindelaras Paritrana, Indonesia
Sudah sejak beredar beberapa tahun lalu sebagai RUU, UU no.17/2012 tentang
Perkoperasian yang sebagai UU diundangkan tanggal 30 Oktober 2012 mengundang
kontroversi. Pertanyaan pokok yang menjadi sengketa nalar dan praktek adalah:
apakah UU no.17/2012 tentang Perkoperasian ‘masih koperasi’ atau ‘sudah
liberal’ (untuk tidak mengatakan ‘masih Mohammad Hatta-nomics’ atau ‘sudah
neoliberalis’). Sebagai orang yang mencintai koperasi dan sekaligus belajar
sejarah pemikiran teori-teori berbagai aliran ekonomi (classics, neo-classics,
berbagai sosialisme dan neo-populisme), penulis makfum kalau kontroversi timbul
atas UU no.17/2012 tentang Perkoperasian ini. Nampaknya, dari mengikuti proses
sejak Draft sampai diundangkan, para pembuat Undang-Undang ini, baik dari eksekutif
maupun legislatif, berikut para konsultan dan pembisiknya, selain tidak lepas
dari kepentingan dan bahkan agenda self-interest
sendiri-sendiri, juga tidak faham teori-teori berbagai aliran ekonomi. Oleh
karena itu, juga tidak mampu mengindukkan ‘koperasi’, apalagi sebagai ‘gerakan
sosial’, di bawah payung pilihan nilai-nilai yang pas. Pas artinya, nilai
tersebut minimal sebagaimana diperkenalkan oleh Mohammad Hatta dkk ke Indonesia
pada pertengahan abad-20. Tentu bukan neo-klasik, atau sekarang yang dirasuki
roh ‘neoliberalis’ bertiwikrama menjadi ‘globalisasi didorong oleh korporasi’,
tetapi koperasi yang di bawah induk aliran (baca ‘pilihan nilai’ atau
‘keberpihakan’ –yang tentu bukan ‘self’, tapi ‘common goods’) sosialisme yang
neo-populis. Singkat kata bukan sosialisme komando oleh negara, apalagi dictator proletariatnya Lenin, tetapi koperasi yang ‘berkedaulatan’ oleh rakyat anggotanya,
maka bersifat neo-populis. Mengapa tidak ‘populis’ saja, tetapi harus ditambah
‘neo’, sebab yang ‘populis’ saja antara
lain gampang terpeleset pada aliran ‘anarkhisme’ (anti negara atau sebetulnya
anti dominasi-elit), yang pada beberapa kesempatan tergoda mempergunakan
‘kekerasan’. Populisme yang neo atau neo-populisme tidak mempergunakan dan
bahkan anti kekerasan. Sebagai contoh mereka yang termasuk aliran pemiiiran
‘neo-populis’, yang tidak amat jauh dari sejarah jaman ini, yakni
tokoh-tokohnya Mahatma Gandhi, E.F. Schumacker (ekonom terkenal penulis buku ‘small is beautiful’ yang sampai jaman
sadar pemanasan global masih sangat relevan), dan tentunya A.V. Chayanov
(ekonomi pertanian berbasis rumah tangga petani) yang karena keyakinan dan ilmu
berpihaknya dibunuh oleh Stalin, jaman USSR (kini Russia).
Pertanian Organik
Di
masyarakat banyak kita mengenal beberapa jenis pertanian namun klasifikasi
tersebuat hanya terdiri dari tiga jenis bentuk pertanian:
1.
Pertanian
kimiawi
2.
Pertanian
tradisioanal
3.
Pertanian
alami
Dalam
bentuk pertanian yang banyak digeluti oleh petani saat ini lebih banyak pada
jenis pertanian kimiawi, karena semua samgatlanh praktis dan sangat sedikit
memakai tenaga manuisia. Pupuk dan insektisida serta peralatan yang lain telah
disediakan oleh pabrik sehingga petani lebih bergantung pada pabrik. Sedangkan
petani sudah tidak tahu lagi tingkat kesuburan tanah. Semakin hari semakin
banyak kebutuhan pupuk dan obat obatan yang dipakai petani guna meningkatkan hasil
produksi.
Mbah Gatot: Benih itu Milik Tuhan
Guido S Purwanto
Usia tiga perempat abad tak
menghalangi Gatot Surono untuk tetap gesit menjalani kegiatan pertanian alami
yang mulai digelutinya sejak tahun 1989. Rumah sederhananya di Desa Kembangan,
Kecamatan Bukateja, Purbalingga menjadi jujugan banyak orang dari berbagai
kalangan. Sebagian mereka datang untuk meminjam benih padi yang akan mereka
kembalikan lagi pada panen berikutnya. Sebagian lain datang untuk mendalami
spirit maupun teknik pertanian alami, mulai dari lumbung benih, pengolahan
lahan, pembenihan, pengolahan lahan, penyemaian, cara penanaman, pembuatan
pupuk, pestisida, dan insektisida alami, hingga obrolan ringan mengatasi hama
tikus. Benih adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan.
Gatot Surono, Pejuang pertanian alami. |
Ciptaan Tuhan tidak boleh
dipunahkan, begitu keyakinan mbah Gatot, panggilan akrab Gatot Surono,
terungkap di awal-awal perbincangan tentang pertanian alami. Dari keyakinan
itu, tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi mbah Gatot demi mendapatkan
benih. Peraturan, undang-undang, semua otoritas buatan manusia bukan hal
penting lagi. Bagi mbah Gatot, semua cara halal. “Kalau ndak punya ya minta.
Ndak boleh minta, ya minta pada Yang Maha Kuasa, gimana caranya,” tutur pria
kelahiran Klaten 1933 ini.Pada tahun 2000, suami Christina Swastuti ini ditunjuk menjadi salah satu
delegasi petani Indonesia yang diutus ke Thailand. Konon di negeri itu, warga
asing dilarang membawa benih apapun keluar batas teritorialnya. Dalam sebuah
kesempatan kunjungan di lahan pertanian, ia mendapati hamparan sawah yang
ditanami salah satu jenis padi terbaik di Negeri Gajah Putih itu. Padi itu
dikenal dengan nama Jasmine. Rupanya, ia tak bisa menahan hatinya untuk mencoba
menangkarkan salah satu jenis terbaik ini di tanah kelahirannya. Karena upaya
membeli atau meminta benih dengan cara baik-baik tidak mungkin, “Satu-satunya
jalan ya saya ngurut semalai, lalu saya masukkan saku,” kenang bapak tiga anak
ini. Terpaksa ia melanggar peraturan, mengambil benih tanpa ijin.
Sesampai di tanah air, ia membuka “oleh-oleh” dari negeri yang pernah tercatat sebagai pengekspor beras terbesar Asia ini. “Setelah saya hitung ada sekitar 40 bulir. Saya semai hingga berumur 7-15 hari, lalu saya tanam di lahan seluas 20 meter persegi. Cara menanamnya memakai sistem Madagaskar, ditanam satu-satu dengan jarak tanam 25 cm—di Indonesia belakangan dikenal dengan nama SRI – System Rice Intensification). Saat panen saya mendapat 20 Kg,” tutur alumni Sospol UGM (1958-1962) dan Peking University (1962-1965) ini.
Sesampai di tanah air, ia membuka “oleh-oleh” dari negeri yang pernah tercatat sebagai pengekspor beras terbesar Asia ini. “Setelah saya hitung ada sekitar 40 bulir. Saya semai hingga berumur 7-15 hari, lalu saya tanam di lahan seluas 20 meter persegi. Cara menanamnya memakai sistem Madagaskar, ditanam satu-satu dengan jarak tanam 25 cm—di Indonesia belakangan dikenal dengan nama SRI – System Rice Intensification). Saat panen saya mendapat 20 Kg,” tutur alumni Sospol UGM (1958-1962) dan Peking University (1962-1965) ini.
Senin, 22 April 2013
Hari Bumi
Selamat Hari Bumi!
Happy Earth Day 22 April 2013!
Mengenangkan awal Hari Bumi yang diperingati sejak 22 April 1970, ketika ratusan ribu orang tumpah ruah turun ke jalan menyatakan keprihatinan, menunjukkan kecintaan pada bumi: tanah, air, udara yang menopang hidup sehari-hari dengan rasa syukur dan berbuat sesuatu untuk memerbaiki mutu lingkungan hidup dan kehidupan di atas bumi....
Kita melanjutkan gerakan yang serupa setiap tahun sesuai dengan situasi dan kondisi setempat : sedih sekali menyanyinyikan lagu lama tanpa daya "Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati, air matanya berlinang, sawah ladang terkenang...." Kita ingin gambaran yang lebih ceria, sekarang, di masa depan dan selamanya.... Go Green, Pals!
http://www.earthday.org/blog/2013/04/20/earth-day-lessons
Minggu, 21 April 2013
RENCANA STRATEGIS PERTANIAN 2010-2014
Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai
keberlanjutan RPJM ke-1 (2005-2009), RPJM ke-2 (2010-2014) ditujukan untuk
lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang. Sasaran utama
pembangunan nasional RPJMN 2010-2014 mencakup kesejahteraan rakyat. Lebih
lanjut, sasaran pembangunan kesejahteraan rakyat meliputi: (1) ekonomi, (2)
pendidikan, (3) kesehatan, (4) pangan, (5) energi, dan (6) infrastruktur. Selanjutnya,
sasaran pembangunan pangan adalah pertumbuhan komoditas pangan utama: (1)
produksi padi 3,22 persen per tahun, (2) produksi jagung 10,02 persen per
tahun, (3) kedelai 20,05 persen per tahun, (4) gula 12,55 persen per tahun, dan
(5) daging sapi 7,40 persen per tahun.
Dari antara 11 Prioritas Nasional, yang terkait
langsung dengan Kementerian Pertanian yang utamanya adalah Prioritas ke-5,
yaitu Ketahanan Pangan. Tema Prioritas Ketahanan Pangan adalah Peningkatan
ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk mewujudkan
kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan
pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% dan Indeks Nilai Tukar Petani (NTP)
sebesar 115-120 pada tahun 2014.
Substansi inti program aksi ketahanan pangan adalah:
1. Lahan, Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang
Pertanian: Penataan regulasi untuk menjamin kepastian hukum atas lahan
pertanian, pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar, penertiban serta
optimalisasi penggunaan lahan terlantar;
2. Infrastruktur: Pembangunan dan pemeliharaan sarana
transportasi dan angkutan, pengairan, jaringan listrik, serta teknologi
komunikasi dan sistem informasi nasional yang melayani daerah-daerah sentra produksi
pertanian demi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta kemampuan
pemasarannya;
3. Penelitian dan Pengembangan: Peningkatan upaya
penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul
dan hasil penelitian lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian
nasional yang tinggi;
4. Investasi, Pembiayaan, dan Subsidi: Dorongan untuk
investasi pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh
pelaku usaha dan pemerintah, penyediaan pembiayaan yang terjangkau, serta
sistem subsidi yang menjamin ketersediaan benih varietas unggul yang teruji,
pupuk, teknologi dan sarana pasca panen yang sesuai secara tepat waktu, tepat
jumlah, dan terjangkau;
5. Pangan dan Gizi: Peningkatan kualitas gizi dan
keanekaragaman pangan melalui peningkatan pola pangan harapan;
6. Adaptasi Perubahan Iklim: Pengambilan
langkah-langkah kongkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan
pertanian terhadap perubahan iklim.
Sabtu, 20 April 2013
Muhammad Yunus : Wirausaha Sosial Bangladesh, Pendiri Grameen Bank, Menerima Medali Emas Congress Amerika Serikat
Medali itu merupakan pengakuan dan penghargaan atas
karyanya dalam “pengentasan kemiskinan di dunia”. Lembaga keuangan mikro
Grameen Bank yang didirikannya telah melayani lebih dari 200 juta orang di
dunia, terutama perempuan, dengan memberikan kredit kecil tanpa agunan untuk
mengembangkan usaha kecil, termasuk di Indonesia.
“Mencari untung, laba, adalah perangsang. Tetapi
membahagiakan orang lain adalah perangsang yang super,” kata Yunus mengenai
kewirausahaan sosial.
Jumat, 19 April 2013
BPS: EKSPOR INDONESIA FEBRUARI 2013
Ikhtisar
Ø Nilai
ekspor Indonesia Februari 2013 mencapai US$14,99 miliar atau mengalami
penurunan sebesar 2,51 persen dibanding ekspor Januari 2013. Sementara bila
dibanding Februari 2012 mengalami penurunan sebesar 4,50 persen.
;
Ø Ekspor
nonmigas Februari 2013 mencapai US$12,45 miliar, turun 2,14 persen dibanding
Januari 2013, sementara bila dibanding ekspor Februari 2012 naik 0,89 persen.
;
Ø Secara
kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Februari 2013 mencapai US$30,36 miliar
atau menurun 2,88 persen dibanding periode yang sama tahun 2012, sementara
ekspor nonmigas mencapai US$25,17 miliar atau meningkat 1,63 persen.
;
Ø Penurunan
terbesar ekspor nonmigas Februari 2013 terjadi pada lemak dan minyak
hewan/nabati sebesar US$286,9 juta, sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada
mesin/peralatan listrik sebesar US$123,1 juta.
;
Ø Ekspor
nonmigas ke Cina Februari 2013 mencapai angka terbesar, yaitu US$1,81 miliar,
disusul Jepang US$1,37 miliar, dan Amerika Serikat US$1,16 miliar, dengan
kontribusi ketiganya mencapai 34,89 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27
negara) sebesar US$1,39 miliar.
;
Ø Menurut
sektor, ekspor hasil industri periode Januari-Februari 2013 naik sebesar 2,49
persen dibanding periode yang sama tahun 2012, sedangkan ekspor hasil pertanian
turun 1,69 persen, dan ekspor hasil tambang dan lainnya turun sebesar 0,99
persen.
;
Ø Menurut
provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada periode Januari-Desember
2012 berasal dari Kalimantan Timur dengan nilai US$33,87 miliar (17,82 persen),
diikuti Jawa Barat sebesar US$27,46 miliar (14,45 persen), dan Riau sebesar
U$27,28 miliar (14,35 persen).
Bank Indonesia: Kebijakan Moneter Triwulan I, Prospek Triwulan II 2013
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11
April 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 5,75%. Tingkat BI
Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan
2014, sebesar 4,5% ± 1%. Mencermati meningkatnya tekanan inflasi jangka pendek
harga bahan pangan (volatile foods) akhir-akhir ini dan masih berlanjutnya
tekanan terhadap keseimbangan eksternal, Bank Indonesia akan memperkuat operasi
moneter melalui penyerapan ekses likuiditas yang lebih besar ke tenor yang
lebih jangka panjang. Bank Indonesia juga tetap mewaspadai sejumlah risiko
terhadap tekanan inflasi tersebut dan akan menyesuaikan respons kebijakan
moneter sesuai kebutuhan. Kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai
dengan kondisi fundamental yang selama ini dilakukan akan dilanjutkan,
diperkuat dengan percepatan upaya-upaya pendalaman pasar valuta asing. Bank
Indonesia juga memperkuat koordinasi bersama Pemerintah dengan fokus pada upaya
menekan defisit transaksi berjalan dan meminimalkan potensi tekanan inflasi
dari sisi volatile foods, termasuk kebijakan impor hortikultura.
Kamis, 18 April 2013
Pembangunan Pertanian Tinjauan Situasi 1990-2000 Sepuluh Tahun yang Lalu (2002)
Pembangunan pertanian sangat penting bagi Indonesia karena pertanian
merupakan cara hidup mayoritas penduduk. Sektor pertanian (di luar kehutanan)
memberikan kontribusi sebesar 15,75 persen dari GDP di tahun 2000 dan
menyediakan lapangan pekerjaan bagi 45 persen penduduk. Namun, kebijakan
pembangunan Indonesia lebih menekankan pada pembangunan industri, seperti terlihat
dari menurunnya alokasi anggaran. Alokasi anggaran pemerintah untuk pertanian
selama tahun 1969-1974 adalah sekitar 22,6 persen dari pengeluaran nasional,
tapi di tahun 1994/1995 alokasi anggaran hanya sebesar 11 persen, dan mencatat
rekor terendah 9,8 persen di tahun 1999/2000 (BPS, 2001).
Hal menonjol dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah program
Revolusi Hijau untuk padi (diperkenalkannya varietas unggul, pestisida dan
pupuk kimia serta irigasi), sehingga Indonesia mencapai swasembada beras di
tahun 1984. Namun keberhasilan ini terbukti tidak berlangsung lama ketika di
tahun 1990 Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras, dengan impor
sebanyak 3 juta ton di tahun 1998. Ditambah lagi, pertanian di Indonesia
didominasi oleh petani-petani kecil, dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,25 -
0,5 hektar per rumah tangga petani.
Hal ini menyulitkan petani-petani untuk bersaing dengan
perusahaan-perusahaan pertanian besar, dan pada kenyataannya rumah tangga
petani mendapatkan penghasilan terendah dibanding kelompok masyarakat lain di
Indonesia. Keprihatinan lain adalah cepatnya laju konversi lahan pertanian yang
subur (biasanya persawahan) yaitu sekitar 30.000 hektar per tahun (Kompas, 10 Oktober
2001; BPS, 2001).
Agenda 21 Indonesia Sektor Kehutanan Catatan Posisi Sepuluh Tahun Lalu 2002
Sektor kehutanan memainkan peranan penting dalam ekonomi Indonesia terutama
melalui produksi dan ekspor kayu dan produk-produk berbahan baku kayu. Dari
tahun 1989 hingga 1999, industri perkayuan memberi kontribusi sebesar 20 persen
dari total pendapatan Indonesia dalam mata uang asing (Suara Pembaruan, 13
Oktober 1999). Indonesia memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia, dengan
luas mencapai 108,5 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2001). Oleh karena itu proyek-proyek
pembangunan seperti perkebunan komersil, waduk, program transmigrasi dan pertambangan
bergantung pada konversi kawasan hutan. Banyak masyarakat lokal dan adat di Indonesia,
khususnya di luar Jawa, bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan
sosial budaya mereka. Tambahan lagi, hutan diketahui mempunyai fungsi ekologis baik
di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Selama lebih dari tiga dekade yang dimulai pada tahun 1967, berbagai fungsi
hutan ini belum dikelola dengan baik dan pemerintah lebih menekankan pada
pemanfaatan kayu dibanding manajemen hutan berbasis ekosistem. Hal ini telah
menyebabkan eksploitasi hutan besar-besaran dan konversi kawasan hutan untuk
tujuan-tujuan komersil yang akhirnya mengakibatkan penipisan sumber daya hutan.
Laju penebangan hutan di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia
dengan kisaran antara 1,6 hingga 2,1 juta hektar per tahun (Departemen
Kehutanan, 2001).
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
SUMBER DAYA AIR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa
sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala
bidang;
b. bahwa
dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung
menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib
dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi
secara selaras;
c. bahwa
pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan
keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. bahwa
sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu
diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. bahwa
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e
perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;
Selasa, 16 April 2013
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2005
TENTANG DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 216 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548), perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah Tentang
Desa;
Menyimpan Benih, Pangan Masa Depan
Wawancara dengan Vandana Shiva
Guido
S Purwanto
Dr. Vandana Shiva |
“The world has enough for everyone's need, but
not enough for everyone's greed,” kata Mahatma Gandhi. Bumi ini mampu mencukupi
kebutuhan setiap orang, tapi tidak bagi yang tamak. Ibu Bumi sudah menyediakan
benih-benih terbaik demi keberlanjutan yang harmonis seluruh makhluk dalam
pangkuannya. Namun, ada sementara orang yang merekayasa benih, kemudian dengan
berbekal selembar sertifikat kemudian memperjualbelikan pada petani, tanpa
mengindahkan etika.
Dr Vandana Shiva, salah satu tokoh yang pantas kita kenali. Ia salah
seorang penerus Mahatma Gandhi dalam bidang pertanian. Bij Satyagraha, atau paham
non-kooperativ dalam bidang perbenihan mengambil nafas perjuangan Gandhi ketika
melawan imperialisme.
Dr Vandana Shiva lahir di Dehradun, India. Seorang fisikawan terkenal, kemudian
dilatih menjadi
pecinta lingkungan. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Navdanya (Sembilan Benih), salah satu program dari Yayasan Penelitian Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekologi (RFSTE).
Navdanya secara aktif terlibat dalam peremajaan pengetahuan adat dan budaya, dan aktif
berkampanye untuk hak-hak rakyat. Lembaga ini memiliki 52 bank benih di seluruh India, dan lahan pertanian organik tersebar di area seluas delapan hektar di Uttarakhand,
India utara. Dr Shiva telah menulis 57
penerbitan, di antaranya: Earth Demokrasi: Keadilan, Perdamaian dan
Keberlanjutan (2005), dan Manifesto tentang Masa Depan Pangan dan Benih (2007).
Berikut, petikan wawancara Vandhana Shiva dengan sebuah penerbitan di
India.
Minggu, 14 April 2013
Perang Pangan Organik Alamiah Melawan Pangan Hasil Rekayasa Genetika
Sebenarnya sudah dari tahun 1998, Uni Eropa menerapkan
labeling atas produk-produk hasil dari benih rekayasa genetik. Namun sejak
bulan November 2012, setelah penelitian ilmuwan Perancis atas benih jagung hasil
rekayasa genetik (GMO) yang potensial menyebabkan kanker, berbagai negara di
Asia menghentikan impor benih-benih hasil rekayasa genetika dari Amerika Serikat,
khususnya dari perusahaan Monsanto. Rusia juga menyetop impornya. Jepang,
Australia, New Zealand, China, Saudi Arabia, Thailand, India, Chile dan
Africa Selatan mulanya juga hanya menerapkan GMO-labeling
atas produk-produk hasil benih rekayasa genetik, yang menyebabkan harga jual di
pasar menjadi lebih tinggi, tetapi menyadarkan masyarakat bahwa jika mereka
memilih produk itu, mereka sadar bahwa telah memilih produk yang dapat
menyebabkan kanker. Peru 100% melarang perdagangan produk GMO di negerinya.Sekarang total 49 negara di seluruh dunia melawan produk GMO/GE.
Agenda 21 Chapter 14 Sustainable Agriculture
Berkenaan khusus dengan Pertanian Berkelanjutan.
Program-program
berikut ini termasuk dalam wacana Agenda 21 bab ini:
a.
Kajian kebijakan pertanian, perencanaan dan pemrograman terpadu, dengan mengingat aspek multifungsi
pertanian, khususnya mengenai ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan;
b.
Memastikan partisipasi rakyat dan memajukan pengembangan sumber daya manusia
untuk pertanian berkelanjutan;
c.
Meningkatkan produksi dan sistem-sistem pertanian melalui diversifikasi
pekerjaan dan perkembangan infrastruktur on dan off farm;
d.
Informasi perencanaan tataguna tanah dan pendidikan pertanian;
e.
Konservasi dan rehabilitasi tanah;
f.
Air untuk produksi pangan berkelanjutan dan pembangunan
pedesaan yang berkelanjutan;
g.
Konservasi dan pemanfaatan sumberdaya genetika tanaman baik untuk pangan maupun
pertanian berkelanjutan;
h.
Konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan sumber-sumber genetis hewan untuk
pertanian berkelanjutan;
i.
Pengelolaan pengendalian hama terpadu
dalam pertanian;
j.
Pemupukan tanaman berkelanjutan demi meningkatkan produksi pangan;
k.
Peralihan energi pedesaan untuk
meningkatkan produktivitas;
l.
Penilaian efek-efek radiasi ultraviolet
atas tanaman dan hewan karena penipisan
lapisan ozon stratosfir.
Agenda
21 Chapter 14 Sustainable Agriculture
Introduction
1.
By the year 2025, 83 per cent of
the expected global population of 8.5 billion will be living in developing
countries. Yet the capacity of available resources and technologies to satisfy
the demands of this growing population for food and other agricultural
commodities remains uncertain. Agriculture has to meet this challenge, mainly
by increasing production on land already in use and by avoiding further
encroachment on land that is only marginally suitable for cultivation.
Langganan:
Postingan (Atom)